Senin, 28 Juni 2010

Qawaid Fiqhiyah

BAB I
PENDAHULUAN

Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.
Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.
Dalam makalah ini tidak akan membahas keseluruhan kaidah tersebut, akan tetapi hanya akan membahas enam kaidah saja, diantaranya:
1.الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas)
2.الاصل العدم ( Pada Dasarnya Hak Atas Sesuatu Itu Tidak ada)
3.الاصل فى الكلام الحقيقة (Pada Dasarnya Ucapan Adalah Makna Hakiki).
4.اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجاز (Apabila Suatu Kalimat Tidak Bisa Diartikan Secara Hakiki, Maka Dapat Diartikan Secara Majazi)
5.الاصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمن (Pada Dasarnya Yang Lebih Kuat Dari Tiap-Tiap Kejadian Perkiraan Waktunya Yang Terdekat)
6.اذا تعذر الاصل يصار الى البدل ( Apabila Sukar Menggunakan Hukum Asal Maka Bisa Menjadikan Penggantinya Sebagai Hukum)
Demikian sekedar penjelasan dari makalah kami, semoga dapat diteliti dengan baik dan tanggung jawab juga bermanfaat untuk kita semua amien.


BAB II
PEMBAHASAN
1. Kaidah الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas)
A. Pengertian
kaidah ini menandaskan bahwa, patokan dasar manusia dalam relasi sosial maupun indifidualnya adalah keterlepasannya dari tanggung jawab hak orang lain (dzimmah) ketika hak itu belum pasti. Secara bahasa, dzimmah memiliki beberapa arti perjanjian, jaminan, perlindungan dan sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimmah diartikan sebagai tanggung jawab manusia terhadap suatu barang, atau tanggung jawab berupa hak indifidu dengan hak indifidu lainnya. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa, pada dasarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, bila seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi yang tidak sesuai dengan kondisi asal.
Kontruksi kaidah ini berasal dari hadis Nabi saw, yang berbunyi:
البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه . رواه و مسلم و أبو داود و الترمذى والنسائ و ابن ماجه و أحمد
Mendatangkan bukti wajib atas orang yang mendakwa, sedangkan sumpah wajib atas orang yang didakwa. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).[1]
B. Indikasi Dalil
Dengan hadis ini, menjadi jelas bahwa, tuntutan seorang pendakwa (mudda’i) terhadap terdakwa (mudda’a alaih) tidak dibenarkan selama pendakwa tidak mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi. Karena itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan ucapannya adalah terdakwa beserta sumpahnya. Sebab jika menilik hukum asal, terdakwa adalah pihak yang bebas dari tanggungan apapun.
Sementara kewajiban bersumpah bagi terdakwa didasarkan pada argumen pokok bahwa dia adalah pihak yang “meniadakan” (menafikan tuntutan pendakwa). Sementara orang yang meniadakan suatu hal tidak dapat dituntut untuk mendatangkan saksi ataupun bukti. Karenanya, terdakwa hanya diwajibkan bersumpah saja. Berbeda dengan pihak penuntut, ia harus mendatangkan saksi dan bukti karena ia berposisi sebagai pendakwa yang ingin mendapat legitimasi hukum atas dakwaannya.
Kewajiban mendatangkan saksi bagi pendakwa dan keharusan bersumpah bagi terdakwa diatas, berlaku selama tidak bertentangan denagn kenyataan yang tampak (al-zhahir). Al-zhahir, dalam persoalan ini bisa dilihat atau difahami dari makna eksplisit maupun implisit. Misalkan ada seorang lelaki bernama Zaini yang mendakwa Aisyah yang telah dewasa, bahwa orang tua Aisyah telah menikahkannya dengan Zaini sebelum meminta izin kepada Aisyah. Pada awalnya, Zaini memang telah meminang Aisyah dan pinangan itu diterima oleh orang tua Aisyah, bahkan orang tuanya langsung mengikatnya melalui tali pernikahan. Ketika orang tua Aisyah menyampaikan perihal pernikahannya itu, wanita pemalu ini hanya diam saja. Padahal diamnya Aisyah bukan karena ia menerima pernikahan sepihak itu, melainkan lebih disebabkan oleh karakter pribadinya yang memang pendiam.
Tak lama berselang, datanglah Zaini yang mendakwa kesediaan Aisyah untuk menjadi istrinya. Padahal hati Aisya sama sekali tidak tertarik pada pemuda ini. Karena itulah, Aisyah akhirnya memberanikan diri untuk menjawab sebagai dakwaan atas dakwaan Zaini. Dia secara tegas mengatakan: “Aku menolaknya”. Nah, dalam kasus ini, yang dibenarkan adalah ucapan Aisyah. Sebab, sekalipuin Zaini berpegang pada hukum asal berupa tiadanya penolakan Aisyah, namun karena ucapan Aisyah sesuai dengan realitas yang tampak (zhahir), yakni, bahwa diri Aisyah belum dimiliki oleh siapapun yang juga merupakan hukum asal, maka yang dibenarkan adalah ucapan Aisyah. [2]
2. Kaidah الاصل العدم ( Pada Dasarnya Hak Atas Sesuatu Itu Tidak ada)
Sub-kaidah ini menandaskan, bahwa, pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai tidak memiliki hak apa-apa, sebelum hak tersebut sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini keberadaannya. Banyak persoalan-persoalan fiqhiyyah yang termasuk cakupan kaidah ini, diantaranya adalah:
a.Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada pemilik modal, bahwa ia belum memperoleh keuntungan atau sudah mendapat keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya itu yang dibenarkan karena dari awal adanya ikatan mudlarabah memang belum diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedang keuntungan yang diharap-harapkan itu hal yang belum terjadi (belum ada).
b.Seseorang makan makanan milik orang lain, ia mengatakan bahwa pemiliknya telah mengizinkan, padahal pemilik makanan itu mengingkarinya. Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum yang asal, makan makanan orang lain itu tidak boleh.
c.Usman berhutang kepada Umar dan mengaku telah membayar, sebaliknya Umar mengatakan bahwa, hutang itu belum dilunasi. Dalam hal ini keingkaran Umar yang dibenarkan, sebab menurut asalnya, memang belum adanya pelunasan.  [3]
3. Kaidah الاصل فى الكلام الحقيقة (Pada Dasarnya Ucapan Adalah Makna Hakiki).
Definisi
Dalam bahasa Arab dikenal istilah haqiqah dan majaz, yang memiliki kemiripan dengan makna hakiki dan makna kiasan dalam bahasa Indonesia, walaupun tidak sama persis. Haqiqah adalah sebuah kata yang mempunyai makna sesuai dengan makna aslinya tanpa ada pembiasaan. Sedangkan majaz adalah kata-kata yang mempunyai arti yang sudah membias atau ambigu (makna kedua). Tema ini akan sangat penting untuk dikaji karena berkaitan dengan hukum formal, terutama bagi mereka yang tahu betul tentang bahasa Arab, walaupun tema kita ini tidak berkutat pada orang Arab atau yang berbahasa Arab saja.
Dalam bahasa Arab, kata-kata selamanya tidak akan berubah dari makna haqiqah menjadi makna majaz, selama tidak ada hal-hal yang menuntut kearah perubahan itu. Diantara hal-hal yang mengantarkan sebuah kata pada makna majaz-nya adalah apabila hati seseorang akan lebih cepat menangkap makna majaz dibandingkan makna haqiqahnya. Contoh kemudahan penangkapan makna majaz adalah seperti halnya orang yang bersumpah tidak akan makan pohon. Ucapan seperti ini secara spontan akan dapat dipahami sesuai dengan makna majaz-nya, yakni memakan buah yang dihasilkan oleh pohon itu. Sehingga orang tersebut tidak akan dianggap melanggar sumpah kecuali memakan buahnya.
Sedangkan contoh-contoh pemaknaan kata yang belum membias ke makna majaz (masih dalam lingkup haqiqah) adalah sebagai berikut:
Orang yang besumpah tidak akan membeli dan tidak akan melakukan penjualan apapun. Dengan sumpahnya ini, ia tidak akan dianggap sebagai orang yang melanggar sumpah ketika mewakilkan penjualan dan pembeliannya itu pada orang lain. Menurut Al Suyuthi, hal ini karena ucapan tersebut diberlakukan sesuai dengan makna haqiqah-nya, yaitu penjualan dan pembelian yang hanya dilakukan oleh diri sendiri.
Ungkapan seseorang yang akan mewakafkan hartanya pada orang yang hafal Al Quran, maka ucapan ini tidak memasukkan orang yang hafal Al Quran dan pada akhirnya lupa.karena orang yang pernah hafal Al Quran lalu lupa, tidak termasuk dalam “wilayah kata” orang hafal dalam makna hakikinya, kecuali harus merambah pada tinjauan majaz, dalam hal ini adalah majaz mursal.[4]
4.Kaidah اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجاز (Apabila Suatu Kalimat Tidak Bisa Diartikan Secara Hakiki, Maka Dapat Diartikan Secara Majazi)
Hakikat adalah pendapat mu’tabar yang diunggulkan dan merupakan asal, sedangkan majaz merupakan cabang dari hakikat, dan posisi majaz berada pada urutan kedua setelah hakikat. Sebagai contoh makna hakiki pada lafad nikah menurut Abu Hanifah adalah bersetubuh, bukan bermakna majazi yaitu akad, berdasarkan dalil Al Quran yang berbunyi: “Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. Al Nisa’: 22). namun jika mengalami kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz merupakan alternatif kedua.[5] kaidah ini mempunyai beberapa contoh antara lain:
Seseorang bersumpah tidak makan pohon, sumpah tersebut tidak berarti ia makan batang kayunya, tetapi menurut makna majaz (kiasan) adalah makan buahnya.
Seseorang yang berjanji tidak akan menginjakkan telapak kakinya dirumah itu, maksud dari sumpah itu menurut kebiasaan adalah masuk. Seandainya dia meletakkan telapak kakinya ke dalam rumah itu tanpa memasukkan badannya, maka dia tidak termasuk melanggar sumpah. Dan jika dia masuk kedalam rumah  itu dengan berkendaraan meskipun dia tidak meletakkan telapak kakinya, maka dia dianggap melanggar sumpahnya.[6]
5. Kaidah الاصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمن
(Pada Dasarnya Yang Lebih Kuat Dari Tiap-Tiap Kejadian Perkiraan Waktunya Adalah Waktu Yang Terdekat)
kaidah ini menandaskan, bahwa, apabila terjadi perbedaan waktu pada perkara baru, maka harus ditentukan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa sekarang, yaitu; mengambil masa yang paling dekat, dan tidak memilih masa yang lalu pada suatu peristiwa yang masih diragukan kapan terjadinya. Karena banyak terjadi perbedaan hukum pada suatu peristiwa disebabkan perbedaan tanggal peristiwa itu, ketika terjadi perbedaan pada pada tanggal suatu peristiwa maka harus ditetapkan waktunya yang paling dekat. Mengambil masa yang paling dekat ini disepakati karena dilihat dari dua aspek; pertama, wujudnya peristiwa tersebut, kedua, sangkaan yang kuat peristiwa tersebut baru saja terjadi.[7]
Seorang yang wudlu dari air sumur, kemudian dia sholat, setelah sholat dia melihat bangkai tikus didalam sumur itumak dia tidak wajib mengqodho sholatnya, kecuali dia yakin bahwa dia wudlu dengan air yang najis.
Seseorang melihat air mani dikainnya dan dia tidak ingat kapan dia bermimpi. Maka dia harus mengulangi sholatnya yang telah dilakukan sejak bangun dari tidurnya yang terakhir.
Team dokter berhasil memisahkan bayi kembar siam. Beberapa hari kemudian salah seoprang bayi kembar itu mati, dalam kejadian seperti ini team dokter tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas kematian itu. Karena kemungkinan sekali kematian itu lantaran faktor-faktor lain yang dekat dengan saat kematian.
Seorang pembeli pesawat TV menggugat penjualnya, lantaran setiba dirumah TV rusak tidak hidup. Gugatan pembeli tidak dapat diterima, karena menurut asalnya pesawat TV itu terjual dalam keadaan baik, dan kemungkinan besar, kerusakan terjadi ketika dalam perjalanan kerumahnya.  [8]
6. Kaidah اذا تعذر الاصل يصار الى البدل ( Apabila Sukar Menggunakan Hukum Asal Maka Bisa Menjadikan Penggantinya Sebagai Hukum)

A. Dasar-Dasar Kaidah
Kaidah ini mempunyai beberapa dalil diantaranya :
1.Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 184.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
1.Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 196
فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
apabila kamu Telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu Telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
1.Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 238-239
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ  فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
1.Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.
1.Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 43
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
1.Firman Allah Surat Al Nisa’ ayat 101[9]
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.

B. Indikasi Dalil
Dalil-dalil yang terkandung dalam kaidah ini memberi pengertian bahwa; suatu hukum yang harus dilaksanakan, namun jika menemui jalan buntu dan tidak mungkin untuk melakukannya atau terhalang oleh perkara lain, maka bisa beralih menggunakan hukum lain sebagai pengganti, karena menjadikan hukum lain sebagai pengganti hanya diperbolehkan ketika hukum asal tidak dapat dilakukan.[10] Sebagaimana contoh dibawah ini:
1.Seseorang mengambil barang orang lain, dan ia berniat mengembalikan, namun barang tersebut hilang, maka ia dapat mengembalikan pengganti yang mirip dengan barang yang diambil.
2.Seseorang yang menjalani eksekusi karena memotong telinga kanan orang lain, maka telinga kanannya harus dipotong sebagai padanannya, tetapi jika ia tidak mempunyai telinga kanan, hanya telinga kiri, maka pemotongan telinga kiri sudah dianggap cukup.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Demikianlah, dengan memahami berbagai macam perbedaan yang telah kita paparkan dimuka dapat kami simpulkan:
1.Sebenarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kawajiban melakukan dan tidak melakukan sesuatu.
2.Sebenarnya pada diri manusia tidak hak apa-apa terhadap terhadap sesamanya, dan seseorang tidak dapat menuduh orang lain kecuali ada indikasi kuat dan jelas.
3.Bila suatu ucapan bisa diartikan secara hakiki dan bisa jadi pula diartikan secara majazi, maka arti hakiki yang harus dipegang.
4.Jika mengalami kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz merupakan alternatif kedua
5.Ketika terjadi perbedaan pada pada tanggal suatu peristiwa maka harus ditetapkan waktunya yang paling dekat.
6.Ketika hukum asal tidak bisa difungsikan maka boleh menggunakan hukum pengganti sebagai padanannya.

PENDAHULUAN
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
 
S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
 
            Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.
 
PENGERTIAN
Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
 
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antar manusia.
 
Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
 
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.
 
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
 
Tabel 1. Tabel perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah
’Urf
’Adah
Adat memiliki makna yang lebih sempit
Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid
Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak
Adat mencakup kebiasaan pribadi
 
Adat juga muncul dari sebab alami
 
Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak
  
DALIL KAIDAH
Lafadl al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah:
 
Dalil aI-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
 (QS Al-Araaf[7]:199). Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
  Juga firman-Nya:
 (QS.Al-Baqarah[2]: 180). diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf
 
Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku.
 
Dalil dari as-Sunnah:
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
 
QAWAID FIQHIYAH YANG BERKAITAN
Berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”
Qaidah yang lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash”.
 
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”
 
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.
 
KLASIFIKASI
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1.‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
 
1.‘Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
 
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.
 
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
1.‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
 
Misalnya:
a.       Ada seseorang berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.” Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah, karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan lainnya.
b.      Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
 
1.‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
 
Misalnya:
a.       Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.
 
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
1.‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
 
Misalnya:
a.       Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
 
1.‘Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
 
Misalnya:
a.       Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
 
SYARAT-SYARAT ‘URF
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1.’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
2.Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
 
Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Alloh Azza wa Jalla berfirman:
 
 
 
(QS. athTholaq [65]:6). tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
 
 
 
1.‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
 
Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
 
1.Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
 
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
 
1.‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya bertentangan dengan dalil syar’i.
 
PERBANDINGAN DENGAN METODE LAIN
’Urf lebih kuat dari qiyas karena ’urf adalah dalil yang berlaku umum dan bukti bahwa sesuatu memang dibutuhkan (Ibn Abidin). Contoh: sucinya kotoran merpati sesuai ’urf yang terjadi pada mesjid2 bahkan masjid al-haram. Ini tidak bisa diqiyaskan pada korotan ayam.
 
Perbedaan ’Urf dengan ’Ijma
 Tabel 2. Tabel perbandingan antara ’Ijma dengan ’Urf
’Ijma
’Urf
Dasarnya adalah kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum syar’i setelah Nabi SAW wafat
Tindakan mayoritas individu baik ’awam maupun ulama dan tidak harus dalam bentuk kesepakatan
Harus berdasarkan dalil Syara
Tidak harus berdasarkan dalil Syara
’Ijma ada yang sampai kepada kita dan ada yang tidak
Relatif sama dengan sejarah
Merupakan hujjah yang mesti dilakukan
Tidak menjadi hujjah yang harus dilakukan karena ’urf ada yang shahih dan ada yang bathil
 
PANDANGAN ULAMA
 
 
 
 Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
1.Fiqh Hanafy
a.       Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b.      Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c.       Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
d.      Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para pedagang.
e.       Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya
 
1.Fiqh Maliki
a.       Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b.      Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi perselisihan
 
1.Fiqh Syafi’i
a.       Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b.      Akad sewa atas alat transportasi
c.       Akad sewa atas ternak
d.      Akad istishna
 
1.Fiqh Hanbali
a.       Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
 
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
 
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
 
Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”.
 
Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
 
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
 
Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.
 
CONTOH PRAKTEK ‘URF
 
Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu
1.      Konsep Aqilah dalam asuransi
2.      Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3.      Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.
 
KESIMPULAN
Karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
 
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.
 
Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia – sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
 
Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah.