Jumat, 26 November 2010

Keluarga teladan yang di cintai Allah

Dua ibadah utama yang terjadi pada setiap bulan Dzulhijah-ibadah haji (QS Ali Imran [3]: 97) dan Idul Adha yang disertai penyembelihan hewan kurban pada 10-13 Dzulhijah (hari-hari tasyrik)-merupakan bentuk ketundukan kepada ketentuan Allah SWT dan rasul-Nya serta pengingat terhadap kisah keluarga Nabi Ibrahim AS.

Beliau dengan istrinya, Siti Hajar, dan anaknya (Ismail)-di samping istri yang kedua Siti Sarah dan anaknya Ishaq-adalah contoh keluarga yang berhasil membangun kehidupan atas dasar keyakinan kepada Allah SWT. Mereka juga dapat membangun idealisme dan cita-cita yang sangat tinggi disertai dengan pengorbanan yang tanpa mengenal pamrih, kecuali hanya mengharap ridha Allah SWT.

Pilar-pilar yang dibangun oleh keluarga teladan ini diungkapkan oleh Allah SWT secara perinci pada QS ash-Shaffat [37]: 99-112. Pertama, memiliki visi dan misi yang jelas, yaitu saling menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim sebagai sang ayah pergi berdakwah ke berbagai pelosok untuk menyebarkan risalah Allah SWT. Siti Hajar, sang istri, dengan ikhlas mendukung kegiatan ini sekaligus memberikan dorongan dan doa restunya agar perjalanan suaminya mendapatkan keberkahan Allah SWT.

Kedua, selalu berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan anak dan keturunan yang saleh dan salehah sebagai pewaris dan penerus perjuangan orang tuanya. Tentu, mereka diharapkan juga mampu mendirikan shalat dengan sebaik-baiknya.

Ketiga, membangun keyakinan terhadap turunnya pertolongan Allah SWT yang dilandasi dengan kegigihan berusaha dan berikhtiar. Sebagai contoh, ketika mencari air untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang masih kecil (Ismail), Siti Hajar berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Bukit Marwah. Dengan izin-Nya, akhirnya keluarlah mata air yang tidak pernah diduga sebelumnya, yaitu air zamzam.

Keempat, membudayakan diskusi dan musyawarah antara sesama anggota keluarga sehingga timbul pemahaman dan pengertian yang baik. Sebagai contoh, ketika bermimpi untuk menyembelih anaknya (yang diyakininya sebagai perintah Allah SWT), Nabi Ibrahim dalam implementasinya tetap berdialog dan berkomunikasi dengan anaknya. Lalu, keduanya melaksanakan ketentuan Allah SWT ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Kelima, membangun semangat berkorban untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah SWT dan kecintaan kepada sesama manusia. Inilah beberapa pilar utama dalam membangun keluarga yang kuat yang telah dicontohkan oleh keluarga Nabi Ibrahim AS untuk dijadikan pelajaran dan suri teladan orang-orang yang beriman yang menginginkan keluarganya bahagia dan sejahtera atas dasar ketundukan dan kepatuhan kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam QS al-Mumtahanah [60]: 4, "Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia." Wallahu a'lam.(republika.online)

Do'a pemimpin Adil

Pemimpin yang adil ibarat bayang-bayang Tuhan, sebab pengambilan kata adil sendiri berasal dari salah satu nama Allah SWT, yaitu Al-Adlu (Allah Yang Mahaadil). Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya yang proporsional dan tepat.

Kebalikan adil adalah zalim, yaitu meletakkan sesuatu bukan pada tempat yang tepat. Allah SWT telah mengharamkan sifat dan perilaku zalim atas diri-Nya, dan ia juga diharamkan atas diri hamba-hamba-Nya. Perilaku adil akan menciptakan kesejateraan untuk rakyat. Sebagaimana zalim akan menghadirkan bencana, musibah, dan malapetaka.

Dalam hadis Qudsi-Nya Allah berfirman, "Sesungguhnya aku telah mangharamkan zalim itu atas diri-Ku, dan telah Aku jadikan zalim di antara kalian itu sesuatu yang diharamkan, karena janganlah kalian saling berlaku zalim.''

Dalam sebuah hadis juga diriwayatkan, ada tiga doa yang tidak akan ditolak oleh Allah SWT, yakni: doa orang yang berpuasa hingga ia berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi (hak-haknya)." Mengapa doa pemimpin yang adil itu sangat mudah dikabulkan? Karena di pundaknya terletak berbagai pengharapan hajat hidup orang banyak.

Dikisahkan dalam sebuah riwayat yang masyhur, ketika Umar bin Khattab sedang menjabat sebagai khalifah, saat itu Gubernur Mesir, Amr bin Ash, mengadu tentang musim paceklik hebat dan berkepanjangan yang menimpa kaum Muslimin di negeri itu. Sungai Nil yang menjadi sumber penghidupan rakyat banyak tak lagi mengalirkan air.

Umar lalu memanggil Amr bin Ash untuk datang ke Madinah. Sang Khalifah lalu berkata, "Wahai Amr bin Ash bawalah suratku ini lalu lemparkanlah ia ke Sungai Nil!" Isi surat itu berupa doa Sang Khalifah.

Dalam surat itu, Umar yang dikenal sebagai pemimpin yang adil memanjatkan doa, "Wahai sungai, engkau adalah makhluk Allah yang diciptakan oleh-Nya untuk menolong hamba-Nya yang lain, jika engkau adalah makhluk ciptaan Allah bantulah hamba-hamba Allah dan mengalirlah engkau!" Sejak saat itu Sungai Nil tidak pernah lagi mengalami kekeringan.

Rasulullah SAW bersabda, "Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan perlindungan Allah, pada saat itu (hari Kiamat) tidak ada perlindungan siapa pun kecuali perlindungan-Nya." Di antara tujuh golongan yang kelak akan mendapatkan jaminan perlindungan-Nya adalah "pemimpin yang adil".

Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa pemimpin yang adil kelak akan disandingkan di dalam surga bersama para nabi dan rasul, syuhada, dan siddiqin (orang-orang yang membenarkan ajaran agama Islam), dan orang-orang shaleh.

Lalu bagaimana jika seorang pemimpin berkhianat? Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin suatu urusan rakyatnya, kemudian ia meninggal dunia, di mana saat ia meninggal dunia ia sedang berkhianat kepada rakyatnya, maka tiada lain kecuali telah Allah haramkan baginya masuk surga.(Republika.online)

Pahlawan disisi Allah SWT

Pada zaman Rasulullah, hiduplah seorang lelaki bernama Amir bin Jamuh. Meskipun kakinya pincang, Amir bertekad untuk ikut bertempur dalam Perang Uhud. Sejumlah sahabat mencegahnya. "Engkau sebaiknya tak ikut berperang karena kakimu pincang." Namun, Amir yang didukung istrinya tetap bertekad untuk ikut membela agama Allah SWT.

"Aku tidak percaya mereka telah melarangmu untuk ikut dalam pertempuran itu," tutur sang istri. Mendengar dukungan dari istrinya, Amir segera mengambil senjata, kemudian berdoa, "Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku."

Amir lalu menemui Rasulullah SAW. Dengan gigih, ia meyakinkan Nabi SAW. Sebenarnya, Nabi Muhammad meminta Amir agar tak ikut berperang. Namun, Amir terus mendesak dan akhirnya Rasulullah pun mengizinkannya.

Di medan pertempuran, Amir berteriak, "Demi Allah, aku ini sangat mencintai surga." Amir akhirnya gugur syahid di medan pertempuran. Setelah mendengar kabar kematian suaminya, sang istri segera mengendarai seekor unta untuk membawa pulang jenazahnya.

Ketika jenazah Amir diletakkan di atas unta, hewan itu tak mau berdiri. Berbagai upaya dilakukan, unta itu tetap tak mau berjalan, tapi malah asyik memandang Uhud. Ketika Rasulullah mengetahui kabar itu, beliau bersabda, "Sesungguhnya, unta itu telah diperintahkan untuk berlaku demikian. Adakah Amir mengatakan sesuatu ketika ia akan pergi meninggalkan rumahnya?"

Istrinya memberi tahu Rasulullah. Sebelum meninggalkan rumah untuk bertempur di medan perang, Amir menghadap kiblat sambil berdoa, "Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku." Itulah sebabnya, kata Rasulullah, unta itu tak mau pulang.

Kisah yang tercantum dalam kitab Himpunan Fadilah Amal karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi itu menggambarkan keberanian dan kepahlawanan orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka hanya berharap menjadi pahlawan yang gugur syahid di sisi-Nya.

Dalam surah Ali Imran [3] ayat 169-170, disebutkan bahwa orang yang gugur di jalan Allah sebenarnya tak mati, tetapi hidup di sisi Sang Khalik. Menurut Quraish Shihab, secara jasmani mereka telah mati, namun hidup dalam kehidupan yang berbeda dengan dunia.

Mereka yang gugur di jalan Allah SWT benar-benar hidup di alam yang lain, berbeda dengan alam kita. Mereka tetap bergerak, bahkan mereka lebih leluasa dari manusia di bumi ini. Mereka tahu lebih banyak dari apa yang diketahui oleh yang berdenyut jantungnya.

Di alam sana, orang-orang yang gugur di jalan Allah telah melihat dan mengetahui nomena, bukan fenomena. Mereka juga mendapat rezeki dari Allah yang sesuai dengan kehidupan alam barzah. Maka itu, mereka bergembira karena berada dalam kehidupan yang sebenarnya di sisi Allah.

Mudah-mudahan, para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadi pahlawan yang mendapat gelar yang paling tinggi, yaitu sebagai syuhada di sisi Allah SWT.(republika.online)

Ingatlah saat kematianmu

Di dunia ini, menurut al-Ghazali, tak ada yang pasti, kecuali kematian. Hanya kematian yang pasti, lainnya tak ada yang pasti. Namun, manusia tak pernah siap menghadapi maut dan cenderung lari darinya. "Sesungguhnya, kematian yang kamu lari daripadanya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu." (QS Al-Jumu'ah [62]: 8).

Bagi al-Ghazali, kematian tidak bermakna tiadanya hidup (nafi al-hayah), tetapi perubahan keadaan (taghayyur hal). Dengan kematian, hidup bukan tidak ada, melainkan bertransformasi dalam bentuknya yang lebih sempurna. Diakui, banyak orang semasa hidup mereka tertidur (tak memiliki kesadaran), tetapi justru setelah kematian, meraka bangun (hidup). "Al-Nas niyam, fa idza matu intabihu," demikian kata Imam Ali.

Dalam Alquran, ada beberapa istilah yang dipergunakan Allah SWT untuk mengartikan kematian. Pertama, kata al-maut (kematian) itu sendiri. Kata ini dalam bentuk kata benda diulang sebanyak 35 kali. Al-maut menunjuk pada terlepasnya (berpisah) ruh dari jasad manusia. Kepergian ruh membuat badan tak berdaya dan kemudian hancur-lebur menjadi tanah.

Allah SWT berfirman, "Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain." (QS Thaha [20]: 55).

Kedua, kata al-wafah (wafat). Kata ini dalam bentuk fi`il diulang sebanyak 19 kali. Al-Wafah memiliki beberapa makna, antara lain sempurna atau membayar secara tunai. Jadi, orang mati dinamakan wafat karena ia sesungguhnya sudah sempurna dalam menjalani hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, kita tak perlu berkata, sekiranya tak ada bencana alam si fulan tidak akan mati.

Ketiga, kata al-ajal. Kata ini dalam Alquran diulang sebanyak 21 kali. Kata ajal sering disamakan secara salah kaprah dengan umur. Sesungguhnya, ajal berbeda dengan umur. Umur adalah usia yang kita lalui, sedangkan ajal adalah batas akhir dari usia (perjalanan hidup manusia) di dunia. Usia bertambah setiap hari; ajal tidak. (QS Al-A'raf [7]: 34).

Keempat, kata al-ruju' (raji'). Kata ini dalam bentuk subjek diulang sebanyak empat kali, dan mengandung makna kembali atau pulang. Kematian berarti perjalanan pulang atau kembali kepada asal, yaitu Allah SWT. Karena itu, kalau ada berita kematian, kita baiknya membaca istirja', Inna Lillah wa Inna Ilaihi Raji'un (QS Al-Baqarah [2]: 156).

Sesungguhnya, kematian itu sama dengan mudik, yaitu perjalanan pulang ke kampung kita yang sebenarnya, yaitu negeri akhirat. Mudik itu menyenangkan. Dengan satu syarat, yakni membawa bekal yang cukup, berupa iman dan amal saleh. "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya (dalam perkenan dan rida-Nya), hendaklah ia mengerjakan amal saleh." (QS Al-Kahfi [18]: 110). Wallahu a'lam.(Republika.online.co.id)

Amalan Utama Dzulhijjah

Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini, (yaitu 10 hari pertama bulan Zulhijah)," sabda Nabi SAW.

Para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Rasulullah menjawab, "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya, tetapi tak ada yang kembali satu pun." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Ahmad).

"Ketahuilah, amalan di sepuluh hari awal Zulhijah akan dilipatgandakan," sabda Nabi SAW dalam hadis lainnya. Terlepas perbedaaan pelaksanaaan Idul Adha 1431 H, ada baiknya kita alihkan perhatian pada sesuatu yang lebih utama, yaitu merebut perhatian Allah SWT dengan menghadirkan amalan-amalan yang disukai-Nya.

Pertama, puasa. Dari istri Hunaidah bin Kholid, beberapa istri Nabi SAW mengatakan, "Rasulullah biasa berpuasa pada sembilan hari awal Zulhijah, pada hari Asyura (10 Muharram), dan berpuasa tiga hari setiap bulannya." Di antara sahabat yang mempraktikkan puasa selama sembilan hari awal Zulhijah adalah Ibnu Umar.

Kedua, memperbanyak takbir dan zikir. Termasuk di dalamnya membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, dan doa. Disunahkan untuk mengeraskan suara ketika melewati pasar, jalan-jalan, masjid, dan tempat-tempat lainnya.

Ibnu Abbas berkata, "Berzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang ditentukan, yaitu 10 hari pertama Zulhijah dan juga pada hari-hari tasyrik." Ibnu Umar dan Abu Hurairah pernah ke pasar pada sepuluh hari pertama Zulhijah, mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir.

Ketiga, menunaikan ibadah haji dan umrah. Nabi SAW ditanya, "Amalan apa yang paling afdal?" Beliau menjawab, "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya." Ada yang bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah." Ada yang bertanya kembali, "Kemudian apa lagi?" Nabi SAW menjawab, "Haji mabrur!" (HR Bukhari).

Keempat, memperbanyak amalan saleh, seperti shalat sunah, sedekah, membaca Alquran, dan ber-amar makruf nahi mungkar. Kelima, berkurban. Pada hari nahr (10 Zulhijah) dan hari tasyrik disunahkan untuk berkurban. "Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah." (QS al-Kautsar [108]: 2).

Keenam, bertobat. Jika kita pernah berzina, membunuh tanpa hak, mencandu minuman (khamr), atau sering meninggalkan shalat lima waktu, segeralah bertobat.

"Katakanlah, 'Hai, hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." (QS az-Zumar [39]: 53).

Menurut Ibnu Katsir, ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat, baik kekafiran maupun lainnya, untuk segera bertobat kepada Allah. Sang Khalik pun akan mengampuni seluruh dosa setiap hamba yang bertobat walaupun dosanya sangat banyak. Wallahu a'lam.( sumber republika.online.com)

Jumat, 19 November 2010

solusi terhadap TKI

Dalam kurun waktu terakhir ini, keberadaan tenaga kerja indonesia yang diluar negeri, khususnya di malaysia dan arab saudi, sering mengalami perlakukaan yang kurang dari majikan atau bos dimana tempat mereka bekerja.
memang tidak bisa dipungkiri, bahwa di negara kita ini tidak bisa menyediakan gaji dan fasilitas yang menjanjikan, boro-boro gaji dan fasilitas yang lain, lapangan pekerjaan sulit untuk didapat.lain halnya, di negara yang arab saudi dan malaysia, yang menyediakan gaji yang besar beserta bonus-bonus serta fasiltas yang lainnya pun didapat, belum lagi ketika musiam liburan,

Sabtu, 13 November 2010

Madrasah

akar sejarah atau asal usul lembaga pendidikan Islam misal madrasah adalah
merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Madrasah-madrasah yang
timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat dan
��������������, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah
Hijriyah (Maksum, 1999: 60)
Mengawali asal usul pesantren atau akar sejarah pesantren
sama halnya dengan membahas sejarah madrasah dan sekolah
Islam, karena ketiga lembaga pendidikan ini bernuansa religius atau
dengan kata lain fokus studinya keagamaan di samping studi yang
lain yang mendukung visi misi ketiga lembaga tersebut juga menjadi
program pembelajarannya.
Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal
abad 20, sebagai akibat dari kurang puas terhadap sistem pesantren (
waktu itu ) yang dianggap sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu
fardlu ’ain (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 241) , terdapat dua hal
yang melatar belakangi tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia,
pertama adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua respon terhadap
politik pendidikan Hindia Belanda. Kemunculan dan perkembangan
madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam
dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik
di Jawa , Sumatera maupun Kalimantan. Oleh karena itu pendidikan
dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan
keislaman masyarakat . Dalam kenyataannya , pendidikan yang
terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu agama ubudiyyah, sebagaimana
ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan pesantren,
pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan
perhatian kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan
budaya, untuk melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan
tindakan masyarakat itu langkah strategis yang harus ditempuh
adalah memperbaharui sistem pendidikannya.

Eksistensi Madrasah dan Sekolah Islam
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia
relatif lebih muda dibanding pesantren. Lahir pada abad 20 dengan
munculnya madrasah Manbaul Ulum Kerajaan Surakarta tahun
1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah
Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. Madrasah berdiri atas
inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam
yang telah ada. Menarik untuk diamati mengapa sistem pendidikan
pesantren sendiri justru tidak bersifat statis, tetapi selalu mengalami
pertumbuhan seiring dengan perubahan masyarakat yang terjadi.
Demikian juga madrasah dan sekolah Islam di Indonesia selalu
melakukan terobosan-terobosan guna mempertahankan eksitensinya
(Mas’ud Abdurrahman, 2002: 226) .
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, kini ditempatkan
sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Di
dalam salah satu diktum surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri
(Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri)
disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan
mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah-sekolah umum, dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi (Mastuhu, 1999: 226).

Sistem pendidikan madrasah di masa akan datang, diharapkan
merupakan suatu “industri” dalam arti bahwa pendidikan
memerlukan pengelolaan yang professional agar “rate of returns” dari
industri pendidikan itu sama atau lebih baik dari investasi dalam
sektor ekonomi lainnya.
Untuk memperkuat eksistensi Madrasah, pemerintah
mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Presiden No. 34 Tahun
1972 tentang ”Tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan ”.
Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal sebagai berikut
(Maksum,1999: 146):
1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan
bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan umum dan
kejuruan
2. Menteri Tenaga Kerja betugas dan bertanggung jawab atas
pembinaan latihan keahlian dari kejuruan tenaga kerja bukan
pegawai negeri
3. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung
jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk
pegawai negeri
----------------------------------------------------------------------
H. Agus Salim, Moh. Hatta, Tjokroaminoto, Wahid Hasyim, HAMKA, dan sejumlah pendiri bangsa ini adalah alumni madrasah.

Sejarah madrasah

Madrasah adalah saksi dari perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah (1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.

Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913) yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian.

Belanda tentu saja resah akan perkembangan madrasah, lalu keluarlah peraturan yang menetapkan madrasah sebagai "sekolah liar", kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan yang melarang atau membatasi madrasah. Kalaupun kemudian Pemerintah Belanda memberikan apresiasi pada kepentingan Islam, bantuan diberikan 7.500 gulden untuk 50.000.000 jiwa. Menyimak pidato Oto Iskandardinata pada 1928 di Voolkraad, bantuan itu dianggap penghinaan karena seharusnya yang diberikan Belanda satu juta gulden.

Akan tetapi, madrasah berdiri di mana-mana. Madrasah adalah perjuangan warga republik ini untuk mendapatkan pendidikan. Pada 1915 berdiri madrasah bagi kaum perempuan, yaitu Madrasah Diniyah putri yang didirikan Rangkayo Rahmah Al-Yunisiah. Zaiuniddin Labai ini juga yang pertama kali mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Minangkabau pada 1919.

Sayangnya, madrasah tetap saja tersingkirkan. Saat Indonesia merdeka, madrasah masih dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Pemerintah Indonesia hanya mengeluarkan Maklumat BP KNIP 22 Desember 1945 No. 15 yang menyerukan agar pendidikan di musala dan madrasah berjalan terus dan diperpesat; kemudian diperhatikan melalui keputusan BP KNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah) dan melalui Laporan Panitia Penyelidik Pengarahan RI tanggal 2 Mei 1946 yang menegaskan, pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah dipandang perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi bantuan berupa biaya sesuai dengan keputuan BP KNIP. Perhatian pemerintah negeri ini diwujudkan dengan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950 yang memberikan bantuan kepada madrasah dengan subsidi per siswa @ Rp 60,00.

Baru pada masa reformasi, UU No. 20/2003 tentang UUSPN khususnya Pasal 17 Ayat 2 dan Pasal 18 Ayat 3, madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah umum. Namun, pemerintah masih enggan memberikan bantuan, apalagi pernah beredar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh Ma`ruf, tanggal 21 September 2005 No. 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 yang melarang pemerintah daerah mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal (termasuk terhadap madrasah).

Reformasi kemudian melahirkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada PP ini terdapat Pasal 12 ayat (1) yang menyebutkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Anehnya, PP ini pun masih dianggap angin lalu. Masih banyak pemerintah daerah yang belum memberikan perimbangan dana kepada madrasah. Dana 20% pendidikan di APBD masih menjadikan madrasah sebagai sisipan.

Masa depan madrasah

Saat ini, di Indonesia, terdapat 38 ribu madrasah. Setiap tahunnya, madrasah meluluskan dua ratus ribu siswa, tetapi tak sampai sepuluh persen yang melanjutkan kuliah karena keterbatasan dana; hanya sekitar 20% yang gurunya PNS, sementara yang non-PNS tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah. Apakah 5,5 juta siswa madrasah dan 456.281 guru madrasah ini bukan warga negara Indonesia sehingga mendapatkan perlakuan yang berbeda?

Sebentar lagi pemilihan presiden dan wakil presiden, entah apakah mereka yang terpilih akan memperhatikan nasib madrasah atau akan terus meniru perlakuan penjajah Belanda?
---------------------------------------------
Pada dasarnya timbulnya madarasah didunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan zawiyah-zawiyah tersebut guna menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar secara kuantitas semakin membengkak.
Kata “Madrasah” berasal dari bahasa Arab sebagai keterangan tempat (dzaraf), dari akar kata : “Darasa, Yadrusu, Darsan, dan Madrasatan”. Yang mempunyai arti “Tempat belajar para pelajar” atau diartikan “jalan” (Thariq), misalnya : ِمَعِّن􀑧لا ُة􀑧َسَرْدَم ِهِذ􀑧َهdiartikan : “ini jalan kenikmatan”. Sedangkan kata “Midras” دْرَسُ 􀑧 المِ diartikan “buku yang dipelajari” atau “tempat belajar” dan kata “Midras” dengan alif panjang دْرَا سُ 􀑧 المِ diartikan “rumah untuk mempelajari kitab Taurat”.
Disamping kata “Madrasah” berasal dari kata “Darasa” yang artinya “membaca dan belajar” dalam bahasa Hebrew atau Aramy. Baik dari bahasa Arab atau Aramy mempunyai konotasi arti yang sama yakni “Tempat Belajar”. Padanan madrasah dalam bahasa Indonesia adalah “sekolah”. Pada
umumnya, pemakaian kata “Madrasah” dalam arti sekolah tersebut, mempunyai konotasi khusus yaitu sekolah-sekolah agama Islam. Yang berjenjang dari madrasah ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Namun, kata “Madrasah” pada awal perkembangannya mempunyai beberapa pengertian, diantaranya : berarti aliran atau mazhab, kelompok atau golongan filosuf, dan ahli pikir atau penyelidik tertentu yang berpegang pada metode atau pemikiran yang sama.
Beberapa pengertian di atas, terjadi karena aliran-aliran yang timbul sebagai akibat perkembangan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan ke berbagai bidang saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam dan berusaha untuk mengembangkan aliran atau mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pemikiran, mazhab atau aliran tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagaian besar madrasah yang didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang mashur, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
Jadi kata “madrasah” pada awal perkembangannya, diartikan jalan pemikiran seorang pemikir atau kelompok pemikir dalam suatu bidang ilmu, kemudian diartikan tempat belajar atau lembaga pendidikan dan pengajaran seperti sekolah yang berkonotasi khusus yaitu yang banyak mengajarkan agama Islam atau ilmu-ilmu keIslaman. Kedua arti tersebut masih terasa dilakukan mayoritas umat Islam sampai sekarang, karena madrasah merupakan tempat penyebaran paham aliran atau mazhab yang dianut untuk disosialisasikan ke seluruh umat. Misalnya madrasah NU yang disebut dengan “Al-Ma’arif” menyebarkan misi Syafi’iyahnya, dan madrasah Muhammadiyah yang membawa paham kemuhammadiyahannya, dan seterusnya.
Pertama kali timbul istilah “Madrasah” adalah berkenaan dengan upaya khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid guna menyediakan fasilitas belajar ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu penopang lainnya dilingkungan klinik (Bimaristain) yang dibangunya di Baghdad. Komplek ini dikenal dengan sebutan “Madrasah Baghdad”. Namun kelihatannya pemakaian istilah tersebut cenderung anatema, terutama kalau diperhatikan tidak adanya kelanjutan dari madrasah Baghdad, kecuali munculnya Bait al-Hikmah dimasa Makmun.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang kita kenal seperti sekarang ini. Hasan Ibrahim Hasan berpendapat bahwa, madrasah belum muncul sebelum abad IV Hijriyah (sebelum 10 Masehi), menurutnya madrasah pertama adalah Madrasah al-Baihaqiyah di Naisabur. Al-Baihaqiyah yang didirikan di Naisapur oleh Abu Hasan ali al-Baihaqi (w. 414 H).
Hasil penelitian seseorang peneliti Richard Bulliet pada tahun 1972, mengungkapkan bahwa selama dua abad sebelum madrasah Nidhamiyah di Baghdad sudah berdiri madrasah di Naisapur sebanyak 39 madrasah dengan madrasahnya yang tertua yaitu “Miyan Dahiya” yang mengajarkan fiqh Maliki.
Demikian juga Naji Ma’ruf mengatakan, bahwa 165 tahun sebelum madrasah Nidhamiyah sudah ada madrasah di Maa waraa al-Nahri dan khurrasan. Sebagai bukti ia mengungkapkan data dari Tarikh al-Bukhari yang menjelaskan bahwa Ismail bin Ahmad (w. 295 H) mempunyai madarasah yang dikunjungi oleh para pelajar untuk melanjutkan pelajaran mereka. Madrasah Naisapur pada masa awal ini didirikan oleh seorang ulama fiqh dengan tujuan utama untuk mengembangkan ajaran mazhabnya. Pada umumnya madrasah tersebut mengajarkan satu mazhab fiqh saja dan sebagian besar bermazhab Syafi’i. Dari 39 madrasah yang dikemukakan oleh Bulliet, hanya satu madrasah yang mengajarkan fiqh Maliki, empat madrasah yang mengajarkan fiqh mazhab Hanafi, dan yang lainnya mengajarkan fiqh mazhab Syafi’i.
Pendapat lain mengatakan bahwa madrasah muncul pertama kali di dunia Islam adalah madrasah al-Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham al-Mulk, seorang penguasa dari Bani Saljuk (w. 485 H.) Ibnu Atsir menyebutkan bahwa Nizham al-Mulk seorang wazir sultan Maliksyah Bani Saljuk (465-485) mendirikan dua madrasah yang terkenal dengan nama madrasah al-Nizhamiyah di Baghdad dan di Naisapur, kemudian diberbagai wilayah yang dikuasainya.
Dari berbagai keterangan di atas kirannya jelas bahwa istilah madrasah pernah muncul pada masa Khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid yang disebut dengan “Madrasah Baghdad”, akan tetapi belum populer dan mengalami stagnasi. Madrasah di kawasan Naisapur pada abad ketiga. Para peneliti kebanyakan menyebutkan wilayah yang sama yaitu di Naisapur, namun, berbeda madrasah mana yang dimaksud. Sebagian peneliti menyebutkan madrasah “al-Baihaqiyah”, tetapi ternyata jika dilihat dari masa hidup pendirinya yaitu Abu Hasan Ali al-Baihaqi yang wafat 414 H, pendapat ini kurang tepat. Sebagian lagi berpendapat madrasah “Miyan Dahiya”, mungkin pendapat inilah yang lebih kuat. Sedang madrasah Nizhamiyah di Baghdad adalah madrasah terbesar pertama di dunia Islam yaitu pada abad kelima Hijriyah.