Senin, 20 Desember 2010

Belajar dari Sepak Bola

Kelihatan persepak bolaan di tanah air sudaha mulai tumbuh kembali, bisa kita lihat dari timnas yang dengan mudahnya menjalani laga pertandingan di lapangan hijau. Ini juga dibuktikan dengan tinmas menjadi juara group A. Padahal kita ketahui bersama, bahwa tim uang berada bersama timnas di group buakan tim yang sembarangan. Di sana ada malaysia, laos dan musuh bebuyutan timnas yakni Thailand.
Kenapa saya mengatakan demikian, sebab sejarah mengatakan bahwa timnas kita tidak pernah menang ketika menghadapi thailand. Namun, kenyataan itu terjadi dahulu, beda dengan terjadi sekarang, kenyataan itu telah berubah drastis setelah mendapatkan sentuhan pelatih yang berasal dari negara Austri, Alferd Redl yang telah menunjukkan kebolehannya dengan melumat abis lawan-lawannya, yakni mengalahkan Malaysia dengan 5-1, Laos 6-0 dan Thailand 2-1.
Dibawah asuhan pelatih Alfred Redl dan dilengkapi oleh dua pemain yang naturalisasi, Irfan bachdim asal Indonesia-belanda dan Christian Gonzales asal Uruguay. Dengan kedatangan mereka berdua, tentu saja membawa angin sejuk serta membuat warna tersendiri persepak bolaan yang di tanah air. Ada beberapa hal yang bisa kita ambil dari sepak bola, yang kemudian hal-hal tersbut bisa digunakan sebagai titik acuan dalam mengarungi kehidupan sehari-hari, diantaranya : pertama; displin, memang kedisplinan dalam sepak bola harus dijunjung tinggi, baik oleh pemain, pelatih, wasit dan asisten wasit, bahkan juga yang tidak kalah ketinggalan yakni suporter sendiri. Mengapa? Karena jikalau salah satu saja dari komponen tersebut, melakukan tindakan yang bertentangan dari nilai-nilai kedisiplinan itu. Maka, akan berakibat fatal, misalnya suporteryang melakukan perilaku yang anarkis di dalam stadion kemudian terjadi keributan yang menyebabkan pertandingan tertunda atau pertandingan itu dihentikan. Tentu femomena yang seperti ini sangat merugikan, kerugian bukan dirasakan oleh kedua tim atau klub yang sedang bertanding, tetapi selruh pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut.
Kedua; strategi, setiap klub atau tim sepak bola baik yangh ditanah air maupun yang ada di luar negri sana, harus mempunyai strategi yang jitu dan tepat dalam menghadapi lawanya. Maka, sseorang pelatih harus pandai dalam membaca situasi dan kondisi dari para pemainnya dan pemain lawan sendiri. Apakah dia harus menggunakan formasi 4-4-2, 5-4-1 atau bentuk formasi yang lain. Dengamn formsi tersebut, diharapakan para pemain bermain dengan pola mengutamakan menyerang terlebih dahulu, sehingga dengan cepat dapat merobek gawang, atau dengan formasi yang sifatnya bertahan terlebih dahulu, bertujuan untuk mengetahui irama permainan lawan dan untuk menyimpan tenaga terlebih dahulu, yang kemudian ketika permainan lawan sudah terbaca serta energi yang dimiliki oleh lawan sudah mulai berkurang yang di akibatkan dari genpuran yang mereka lakukan pada menit-menit awal pertandingan. Dengan demikian, pelatih haruis benar-benar cerdik dalam mensiasati hal seperti itu.
ketiga; kerja sama, kerjasama dalam sepak bola merupakan hal yang harus ada serta harus dimiliki oleh semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, lebih-lebih dari pemain itu sendiri. Kerjasama pemain dalam sebuah tim sangat urgen sekali, karena kemenangan yang akan diperoleh dalam melakoni pertandingan tidak akan bisa diraih tanpa adanya kerjasama, seperti ; semua pemain berebut ingin menjadi stiker, tidak ada yang menjaga pertahan, apalagi tidak ada yang mau menjadi penjaga gawang, sebab semua pemain memiliki keinginan menjadi stiker agar bisa mencetak gol ke gawang lawan. Al hasil, bukan gol yang tercipta, tapi kebobolan yang di dapat.
keempat, meletakan sesuatu sesuai dengan posisinya. Maksudnya ialah pelatih harus memposisikan para pemain yang di milikinya sesuai dengan skill yang dimiliki oleh pemain tersebut, mislakn; seorang penjaga gawang diposisikan untuk menjaga gawang, seorang stiker di posisikan sebagai seorang stiker. Bukan malah sebaliknya, posisi seorang stiker digantikan penjaga gawang, padahal dia memilki skill untuk menjaga gawang. Kemudian posisi penjga gawang diganti oleh orang yang memiliki skill untuk mencetak gol. Seandainya ini terjadi, akan terjadi kekacauan, sekali lagi saya katakan, buka kemenangan yang diraih tapi kekalahan tragislah yang diterima.
Kelima, yakni kompetisi, kompetisi dalam sebuah pertandingan, itu merupakan hal yang wajar, bahkan dirasa sangat perlu. Dalam Agama Islam, kita mengenal dengan istilah fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam hal kebaikan). Tentunya dalam berlomba-lomba dalam kebaikan, haruslah di dasari oleh perbuatan yang baik serta diiringi oleh niat yang baik pula, insyaAllah akan melahirkan sesuatu yang baik pula. Oleh karena itu, dalam halam pertandingan, lebih-lebih dalam sepak bola sendiri, dalam rangka mengharumkan nama baik klub tau timnya atau bahkan negaranya sekalipun harus didasari oleh niat dan perbuatan yang baik pula.

Aktualisasi

Nilai-nilai yang terdapat dalam sepak bola tersebut, dapat kita aktualisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya sifat disiplin, sifat yang biasanya diterapkan dalam sepak bola, dapat kita gunakan dalam mengarungi kehidupan kita sehari-hari, seperti; disiplin dalam administrasi di lembaga atau instansi pemerintah, baik yang berada di tingkat daerah maupun yang berada di tingakt pusat sekalipun. Setiap orang pasti sudah menguasai ilmu administrasi(teori dan konsep) dalam sebauah lembaga atau instansi pemerintahan. Akan tetapi, dia belum tentu bisa menjalankanya dengan cara yang baik dan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Sebab sering kita temukan di lembaga atau instansi pemerintah, di mana oknumnya suka mempersulit rakyat dalam mengurus kartu tanda penduduk(KTP), surat ijin mengemudi(SIM), dan lain sebagainya. Fenomena ini bukan hanya terjadi di soloraya saja, tetapi hampir di seluruh daerah yang ada di tanah air.
Mungkin dalam ini kita, rakyatlah yang merasakan dirugikan. Akan tetapi, menurut analisis saya tidaklah demikian, yakni keduanya lah yang sebenarnya di rugikan. Kenapa? Karena bukan hanya rakyatlah yang merasakan di rugikan, tapi secara tidak langsung lembaga atau instansi yang bersangkutan juga di rugikan, karena kepercayaan yang dimiliki oleh rakyat terhadap mereka menjadi berkurang. Kemudian sifat yang selanjutnya ialah kerjasama, sebenarnya perihal kerjasama bukan hanya terdapat dalam sepak bola saja. Akan tetapi, kita bisa temukan di seluruh sendi kehidupan manusia, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, sosial dan budaya, dan lain sebagainya. Bisa dipastikan setiap manusia yang ada di dunia ini, pastilah tidak bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain, dapat dicontohkan kerja sama rakyat dengan pemerintah terhadap pembayaran dan pengelohan dana dari hasil pajak tersebut.
Selanjutnya, selain kerjasama perlu adanya strategi yang jitu dan tepat sasaran dalam rangka menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami oleh bangsa ini. Sebab, negara kita ini, dituntut agar dapat bersaing di kanca Internasional. Menurut hemat saya, dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, terbentang dari sabang sampai marauke, dapat mengantarkan negara indonesia menjadi negara maju sehingga secara tidak langsung bisa bersaing dengan negara-negara yang lain.
Namun, memang masih dirasakan strategi yang digunakan belum tepat sasaran. Sehingga negara kita ini masih tetap menjadi negara terus berkembang. Tentulah dalam melakukan persaingan tersebut harus didasari oleh niat dan perilaku yang baik, karena dari niat dan perilaku yang baik dapat melahirkan hasil yang baik pula. Jangan sampai indonesia melakukan tindakan yang tidak diinginkan, sehingga dapat mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia.
Dalam menghadapi arus globalisasi itu, sudah barang tentu dibutuhkan orang memang benar-benar mumpuni dalam bidang serta dapat menyelesaikan segala bentuk masalah yang sedang alami bangsa ini. Dengan harapan para wakil kita yang sedang duduk di parlemen dapat memperjuangkan aspirasi rakyat dengan maksimal dan jangan sampai mereka meletakkan sesuatu bukan pada posisinya. Dengan demikian, dalam momen yang baik ini, marilah kita membangun bangsa ini supaya menjadi bangsa yang baik lagi. Dan dengan didorong oleh semangat yang menggebu-gebu, layaknya semangat yang tak pernah padam yang dimiliki oleh rakyat indonesia dalam mendukung timnas. InsyaAllah kita bisa!!!.

Kamis, 16 Desember 2010

Dalam pembahasan paham manunggaling kawula gusti terbagi kepada ittihad, hulul dan tauhid (wihdatul wujud). Ketiga istilah dalam tasawuf ini merupakan hal-hal yang yang bertentangan dengan Islam. Satu contoh kasus bahwa al-Hallaj mati dibunuh karena tuduhan mempunyai paham hulul. Dengan trauma tersebut banyak pengarang-pengarang klasik tentang tasawuf yang tidak membahas ittihad, hulul dan tauhid (wihdatul wujud) dalam buku-buku mereka.
Al Ittihad



Ittihad ialah satu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah satu. A. R. al-Badawi, mengatakan bahwa yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dengan uhan “identitas telah hilang, identitas menjadi satu”

Abu Yazid Al Busthamy .w. 261 H mengungkapkan “Suatu kali Allah mengangkatku dan mendirikanku di hadapanNya. Dia berfirman padaku, “wahai Abu Yazid Sesungguhnya makhluk-Ku cinta melihatmu.” Lalu saya berkata, “Hiasilah diriku dengan keesaan-Mu, kenakanlah padaku ego-Mu, dan angkatlah aku kepada ketunggalan-Mu. Sehingga, ketika makhluk-Mu melihatku, mereka berkata “kami melihatmu” Sehingga Engkau ada di sana, dan tiada aku di sini.”

Di sini Abu Yazid telah dekat benar pada Tuhan tetapi persatuan belum tercapai : Akhirnya ittihad tercapai sebagaimana kelihatan dari ucapannya : “Tuhan berkata : Semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-Ku. “Aku pun berkata :” Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau”.



Konsep Hulul (Inkarnasi)



Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ ialah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Tokoh yang terkenal dari paham ini adalah al-Hallaj yang lahir di Persia tahun 858 dan dihukum mati tahun 922, Ia tinggal di Baghdad. Menafsiri surat Al-Baqoroh 34 ia mengatakan bahwa Allah memberi perintah kepada manusia untuk sujud kepada Adam, karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Ia menjelma dalam diri Isa a.s. Menurut al-Hallaj Allah mempunyai dua nature atau sifat dasar : Ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nashut).

Bila disimpulkan maka pendapat al-Hallaj adalah bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi, dan hal inilah yang disebut hulul (mengambil tempat) menurut al-Hallaj.

Tujuan kaum sufi bukanlah sekedar mencari surga dan neraka akan tetapi hendaknya setiap sufi menjadi Tuhan yang mengetahui perkara gaib seperti yang diketahui Allah, dan mengatur alam ini sebagaimana Allah mengatur, serta menghidupkan, mematikan, menjaga, mengangkat, merendahkan, memuliakan dan menghinakan. Ajaran ini disebut juga immanensi Roh Tuhan dalam diri manusia.

Tujuan tasawuf ini adalah mencapai derajat kenabian terlebih dahulu, kemudian meningkat hingga dalam pengakuan mereka bahwa dirinya mencapai derajat ketuhanan.


Konsep Wihdatul Wujud



Terminologi wihdatul wujud dalam aqidah sufistik adalah tidak ada yang maujud kecuali Allah, yang tidak ada selain-Nya dalam alam wujud ini. Realitas-realitas yang kita lihat hanyalah perwujudan dari hakikat yang satu. Ialah hakikat Ketuhanan.

Harun Nasution dalam bukunya (Falsafat dan Mistisisme dalam Islam) menerangkan bahwa wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud, unity of existence, paham ini merupakan lanjutan dari paham hulul.

Muhyiddin Ibnu Arabi w. 638 H berpaham bahwa ia menukil ilmu dan kitabnya dari Rasulullah saw secara langsung; ia menulis dari lauh mahfudh tanpa perantara; merumuskan aqidah wihdatul wujud dengan berani dan tanpa ragu, bahkan dengan sedikit pemalsuan ;mampu membelokkan ayat-ayat Al qur’an sehingga ia berpendapat bahwa kaum Nabi Hud yang kafir itu berada pada jalan yang lurus, sesungguhnya Fir’aun itu mukmin yang sempurna imannya, kaum nabi Nuh itu adalah orang-orang yang beriman sehingga Allah memberi balasan mereka dengan menenggelamkan mereka di “Lautan Keesaan” dan memasukkan kedalam neraka cinta ilahi agar mereka merasakan nikmat di dalamnya, dan sesungguhnya Harun itu bersalah karena melarang Bani Israil untuk menyembah patung anak sapi, sedangkan patung anak sapi itu adalah sesembahan Yang Haq, atau salah satu dari bentuk-bentuk sesembahan Yang Haq.

Dalam paham wihdatul wujud, Ibnu Arabi merubah apa yang ada pada hulul. Ia merubah nasut menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq. Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu dengan khalq menjadi aspek sebelah luar dan haq aspek sebelah dalam. Aspek yang terpenting dari keduanya adalah haq sedangkan khalq merupakan aspek bayangan atau mendatang.

Pemahaman yang muncul sebagai kelanjutan dari hulul, bahwa Allah akan melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan karena itu dijadikan-Nya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin Allah. Sebagaimana orang melihat dirinya pada beberapa cermin maka ia akan melihat jumlah bayangan sebanyak jumlah cermin di sekelilingnya, ia kelihatan banyak padahal sebenarnya satu. Hal ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan dan wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.

Dalam tasawuf penghayatan manunggaling kawula Gusti ini bisa mereka capai melalui memuncaknya penghayatan fana’ hingga fana’ al fana’ dalam dzikir, dan bisa pula dari pendalaman rasa cinta rindu yang memuncak pada mabuk cinta (sakar) di dalam Tuhan, atau dari kedua duanya dari mendalamnya cinta dalam zikir dan fana’ al fana. Penghayatan manunggal dengan Tuhan yang berasal dari gelora rasa cinta bisa dipahami dengan evolusi dalam mengalami sepuluh tangga ahwal, yaitu dari cinta mendalam hingga mencapai syauq (rindu-dendam), dan kemudian meningkat jadi pengalaman uns, yakni kegilaan dalam asyik-maksyuk (intim) dengan Tuhannya.

Mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud, Yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan. Kemudian dari wahdat al syuhud memuncak menjadi wahdat al wujud atau monisme, segala yang ada ini adalah Allah.

Penghayatan al Hallaj yang mendasari dasar pikiran falsafinya diungkap dalam risalah kecilnya Thawasin. Di antara ungkapan-ungkapan ialah :

“Tercampurn Ruh-Mu di dalam ruhku seperti tercampurnya khamer dengan air jernih; Maka apabila menyentuh pada Mu sesuatu, menyentuh aku pula;maka sebenarnya Kamu adalah aku dalam segala keadan.”

Ajaran lain dari al Hallaj adalah tentang Nur Muhammad (Logos,Insan Kamil), bahwa mula pertama yang diciptakan Allah adalah Nur Muhammad terciptanya segala apa yang ada (dalam alam semesta) ini. Nur Muhammad ini bersifat azali dan kadim.

Dalam kancah dakwah Walisongo, terdapat catatan sejarah bahwa Syeikh Siti Jenar dihukum mati oleh wali-wali yang lain karena mempunyai paham al-ittihad. Dengan adanya reaksi yang keras dari tokoh/kaum muslimin terhadap tiga paham ini (al-ittihad, al-hulul dan tauhid/wihdatul wujud) baik pada zaman al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi sampai Siti Jenar maka tidak ada dari kalangan sufi yang berani mengaktualkan ajaran ini, kalaupun ada tentunya secara sembunyi-sembunyi.



DAFTAR BACAAN :

1. Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme dalam islam (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1999 ), cet. Ke-10
2. Simuh, Tasawuf dan perkembangannya dalam islam (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1997) cet. Ke-2
3. Syeikh Abdurrahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-penyimpangan tasawuf,(Jakarta : Robbani Press, 2001) cet. Ke-1
4. Dr. Ihsan Ilahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf (Jakarta: Darul Falah, 1409 H/1980 M), cet Ke-1
5. ------------------,Tasawuf…! Bualan kaum sufi ataukah sebuah konspirasi (Jakarta: Darul Haq, 1422 H/2001 M) cet Ke-1
6. Syaikh Fadhillah Haeri, Belajar mudah tasawuf (Jakarta : PT Lentera Basritama, 1421 H/2001 M) cet Ke-3
7. Prof.Dr.H Aboebakar Atjeh, Pengantar sejarah sufi dan tasawuf (Solo: CV. Ramadhani, 1984) cet. Ke-2
Dalam pembahasan paham manunggaling kawula gusti terbagi kepada ittihad, hulul dan tauhid (wihdatul wujud). Ketiga istilah dalam tasawuf ini merupakan hal-hal yang yang bertentangan dengan Islam. Satu contoh kasus bahwa al-Hallaj mati dibunuh karena tuduhan mempunyai paham hulul. Dengan trauma tersebut banyak pengarang-pengarang klasik tentang tasawuf yang tidak membahas ittihad, hulul dan tauhid (wihdatul wujud) dalam buku-buku mereka.
Al Ittihad



Ittihad ialah satu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah satu. A. R. al-Badawi, mengatakan bahwa yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dengan uhan “identitas telah hilang, identitas menjadi satu”

Abu Yazid Al Busthamy .w. 261 H mengungkapkan “Suatu kali Allah mengangkatku dan mendirikanku di hadapanNya. Dia berfirman padaku, “wahai Abu Yazid Sesungguhnya makhluk-Ku cinta melihatmu.” Lalu saya berkata, “Hiasilah diriku dengan keesaan-Mu, kenakanlah padaku ego-Mu, dan angkatlah aku kepada ketunggalan-Mu. Sehingga, ketika makhluk-Mu melihatku, mereka berkata “kami melihatmu” Sehingga Engkau ada di sana, dan tiada aku di sini.”

Di sini Abu Yazid telah dekat benar pada Tuhan tetapi persatuan belum tercapai : Akhirnya ittihad tercapai sebagaimana kelihatan dari ucapannya : “Tuhan berkata : Semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-Ku. “Aku pun berkata :” Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau”.



Konsep Hulul (Inkarnasi)



Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ ialah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Tokoh yang terkenal dari paham ini adalah al-Hallaj yang lahir di Persia tahun 858 dan dihukum mati tahun 922, Ia tinggal di Baghdad. Menafsiri surat Al-Baqoroh 34 ia mengatakan bahwa Allah memberi perintah kepada manusia untuk sujud kepada Adam, karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Ia menjelma dalam diri Isa a.s. Menurut al-Hallaj Allah mempunyai dua nature atau sifat dasar : Ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nashut).

Bila disimpulkan maka pendapat al-Hallaj adalah bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi, dan hal inilah yang disebut hulul (mengambil tempat) menurut al-Hallaj.

Tujuan kaum sufi bukanlah sekedar mencari surga dan neraka akan tetapi hendaknya setiap sufi menjadi Tuhan yang mengetahui perkara gaib seperti yang diketahui Allah, dan mengatur alam ini sebagaimana Allah mengatur, serta menghidupkan, mematikan, menjaga, mengangkat, merendahkan, memuliakan dan menghinakan. Ajaran ini disebut juga immanensi Roh Tuhan dalam diri manusia.

Tujuan tasawuf ini adalah mencapai derajat kenabian terlebih dahulu, kemudian meningkat hingga dalam pengakuan mereka bahwa dirinya mencapai derajat ketuhanan.


Konsep Wihdatul Wujud



Terminologi wihdatul wujud dalam aqidah sufistik adalah tidak ada yang maujud kecuali Allah, yang tidak ada selain-Nya dalam alam wujud ini. Realitas-realitas yang kita lihat hanyalah perwujudan dari hakikat yang satu. Ialah hakikat Ketuhanan.

Harun Nasution dalam bukunya (Falsafat dan Mistisisme dalam Islam) menerangkan bahwa wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud, unity of existence, paham ini merupakan lanjutan dari paham hulul.

Muhyiddin Ibnu Arabi w. 638 H berpaham bahwa ia menukil ilmu dan kitabnya dari Rasulullah saw secara langsung; ia menulis dari lauh mahfudh tanpa perantara; merumuskan aqidah wihdatul wujud dengan berani dan tanpa ragu, bahkan dengan sedikit pemalsuan ;mampu membelokkan ayat-ayat Al qur’an sehingga ia berpendapat bahwa kaum Nabi Hud yang kafir itu berada pada jalan yang lurus, sesungguhnya Fir’aun itu mukmin yang sempurna imannya, kaum nabi Nuh itu adalah orang-orang yang beriman sehingga Allah memberi balasan mereka dengan menenggelamkan mereka di “Lautan Keesaan” dan memasukkan kedalam neraka cinta ilahi agar mereka merasakan nikmat di dalamnya, dan sesungguhnya Harun itu bersalah karena melarang Bani Israil untuk menyembah patung anak sapi, sedangkan patung anak sapi itu adalah sesembahan Yang Haq, atau salah satu dari bentuk-bentuk sesembahan Yang Haq.

Dalam paham wihdatul wujud, Ibnu Arabi merubah apa yang ada pada hulul. Ia merubah nasut menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq. Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu dengan khalq menjadi aspek sebelah luar dan haq aspek sebelah dalam. Aspek yang terpenting dari keduanya adalah haq sedangkan khalq merupakan aspek bayangan atau mendatang.

Pemahaman yang muncul sebagai kelanjutan dari hulul, bahwa Allah akan melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan karena itu dijadikan-Nya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin Allah. Sebagaimana orang melihat dirinya pada beberapa cermin maka ia akan melihat jumlah bayangan sebanyak jumlah cermin di sekelilingnya, ia kelihatan banyak padahal sebenarnya satu. Hal ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan dan wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.

Dalam tasawuf penghayatan manunggaling kawula Gusti ini bisa mereka capai melalui memuncaknya penghayatan fana’ hingga fana’ al fana’ dalam dzikir, dan bisa pula dari pendalaman rasa cinta rindu yang memuncak pada mabuk cinta (sakar) di dalam Tuhan, atau dari kedua duanya dari mendalamnya cinta dalam zikir dan fana’ al fana. Penghayatan manunggal dengan Tuhan yang berasal dari gelora rasa cinta bisa dipahami dengan evolusi dalam mengalami sepuluh tangga ahwal, yaitu dari cinta mendalam hingga mencapai syauq (rindu-dendam), dan kemudian meningkat jadi pengalaman uns, yakni kegilaan dalam asyik-maksyuk (intim) dengan Tuhannya.

Mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud, Yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan. Kemudian dari wahdat al syuhud memuncak menjadi wahdat al wujud atau monisme, segala yang ada ini adalah Allah.

Penghayatan al Hallaj yang mendasari dasar pikiran falsafinya diungkap dalam risalah kecilnya Thawasin. Di antara ungkapan-ungkapan ialah :

“Tercampurn Ruh-Mu di dalam ruhku seperti tercampurnya khamer dengan air jernih; Maka apabila menyentuh pada Mu sesuatu, menyentuh aku pula;maka sebenarnya Kamu adalah aku dalam segala keadan.”

Ajaran lain dari al Hallaj adalah tentang Nur Muhammad (Logos,Insan Kamil), bahwa mula pertama yang diciptakan Allah adalah Nur Muhammad terciptanya segala apa yang ada (dalam alam semesta) ini. Nur Muhammad ini bersifat azali dan kadim.

Dalam kancah dakwah Walisongo, terdapat catatan sejarah bahwa Syeikh Siti Jenar dihukum mati oleh wali-wali yang lain karena mempunyai paham al-ittihad. Dengan adanya reaksi yang keras dari tokoh/kaum muslimin terhadap tiga paham ini (al-ittihad, al-hulul dan tauhid/wihdatul wujud) baik pada zaman al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi sampai Siti Jenar maka tidak ada dari kalangan sufi yang berani mengaktualkan ajaran ini, kalaupun ada tentunya secara sembunyi-sembunyi.



DAFTAR BACAAN :

1. Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme dalam islam (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1999 ), cet. Ke-10
2. Simuh, Tasawuf dan perkembangannya dalam islam (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1997) cet. Ke-2
3. Syeikh Abdurrahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-penyimpangan tasawuf,(Jakarta : Robbani Press, 2001) cet. Ke-1
4. Dr. Ihsan Ilahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf (Jakarta: Darul Falah, 1409 H/1980 M), cet Ke-1
5. ------------------,Tasawuf…! Bualan kaum sufi ataukah sebuah konspirasi (Jakarta: Darul Haq, 1422 H/2001 M) cet Ke-1
6. Syaikh Fadhillah Haeri, Belajar mudah tasawuf (Jakarta : PT Lentera Basritama, 1421 H/2001 M) cet Ke-3
7. Prof.Dr.H Aboebakar Atjeh, Pengantar sejarah sufi dan tasawuf (Solo: CV. Ramadhani, 1984) cet. Ke-2

Senin, 13 Desember 2010

KONSEP SUFI; FANA’, BAQA’, ITTIHAD DAN HULUL (suatu jalan menuju Tuhan)

Fana’ dan Baqa’
Segolongan penganut tasawuf menyebutkan, bahwa tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf adalah sampai pada zat al-Haqq dan bahkan bersatu dengan tuhan. Jadi semua aktifitas ketasawufan langsung atau tidak langsung pasti berkaitan dengan penghayatan fana’ dan ma’rifat pada zat Allah. Jadi ma’rifat itu bukan tanggapan atau pengalaman kejiwaan (mystical experience) yakni suatu tanggapan atau pangalaman kejiwaan sewaktu mengalami fana’ . Dengan sampainya seseorang sufi ketingkat ma’rifat, ia pada hakekatnya telah dengat benar dengan Tuhan, sehingga akhirnya ia bersatu dengan Tuhan yang disebut dengan istilah Ittihad. Tetapi sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuuhan, ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya, dalam tasawuf disebut dengan istilah fana’.

Pengertian Fana’ dan Baqa’
Fana berasal dari kata fana-yafna-fana yang berarti hilang, hancur, (disappear, perish, annihilate) Yang dimaksud dengan al-fana’ ialah penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan tentang makhluk lain de sekitarnya. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian juga makhluik lain tetap ada, tetapi ia tidak sadar lagi tentang wujud mereka, bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Disini pulalah tercapainya al-ittihad. Jadi al-Baqa’ berarti tetap, terus hidup; to remain, persevere) merupakan kelanjutan wujud yang merupakan satu mata rantai dengan al-fana’ yang senantiasa diikuti oleh al-baqa’, hal ini dapat dilihat dari faham-faham sufi : “Para sufi mensyaratkan dengan kata al-fana’ sebagai hilangnya sifat-sifat tercela dan kata al-baqa’ adalah terbinanya sifat-sifat terpuji.

Ajaran Sufi Tentang al-Fana’ dan al-Baqa’
Bagi Sufi fana’ adalah tidak dikenalinya siifat-sifat seseorang oleh yang bersangkutan sendiri. Dan baqa’ adalah pengenalan hal serupa dengan sifat Tuhan. Di dalam al-fana’ abdi tidak memiliki kesadaran tentang dirinya, artinya bagi dirinya sendiri yang bersangkutan tidak merasa ada, tetapi ia hanya menyadari sekedar sebagai yang mewujudkan, yang diwujudkan dan perwujudan. Dalam fana’, esensi sifat dan tindakan abdi akan menjadi esensi sifat, dan tindakan Tuhan, dan bukan melarut bagaikan gula di dalam air terhadaap esensi, sifat, tindakan tuhan. Abdi tidak memililki kesadaran tentang “sesuatu selain tuhan” (ma siwallah)
“Pada awalnya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah, lantaran telah mulai meyaksikan keindahan zat Allah, kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan ke-fana’-annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah”.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa fana’ itu ada tiga tingkatan yaitu :
a. Perubahan moral, yaitu suatu peralihan moral dari sifat-sifat tercela dengan jalanmengendalikan nafsu-nafsu dan dengan segala keinginannya.
b. Penghayatan kejiwaan, Yaitu lenyapnya kesadaran terhadap segala yang ada di alam sekelilingnya, baik pikiran,perbuatan dan perasaan,lantaran kesadaran telah berpusat dengan pwenghayatan pada Tuhan. Dalam hal ini penghayatan telah tertuju pada sifat-sifat Allah.
c. Lenyapnya kesadaran dirinya lantaran terhisap kepada kesadaran serba tuhan, yaitu lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya. Puncak tertinggi pada fana’ ini terrcapai ketika kesadaran akan ke-fana’-annya itu sendiri telah lenyap.
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w.505 H/1111 M.) membatasi sampai kefana’ tingkat kedua, masih mempertahankan adanya perbedaan yang fundamental antara hamba yang melihat, dengan tuhan yang dilihatnya. Sebaliknya Husain bin mansur al-Hallaj yang menekankan tercapainya fana’ tingkat tiga (puncak penghayatan fana’), cenderung ke faham (lenyapnya kesadaran akan kebenaran diirinya lantaran telah terhisap dan luluh dengan kesatuan dengan Tuhannya). Dalam penghayatan ini manusia merasa mengalami sama seperti tuhan itu sendiri.
Kalau seorang sufi telah mencapai fana’ an al-Nafs, yaitu kalau wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadari lagi) maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu denga tuhan. Dan kelihatannya persatuan dengan tuhan ini terjadi langsung setelah teracapainya fana’ an al-Nafs, tak ubahnya dengan fana’ yang terjadi tentang kejahilan maksiat-maksiat dan kelakuan buruk. Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
Dalam sejarah tasawuf, Abu yasid al-Bustami (w.261 H/874 M.) yang dipandang sebagai sufi yang pertama yang memunculkan fana’ dan baqa’ ini. Faham ini tersimpul dalam kata-katanya : “Aku tahu pada tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu padaNya melalui dirinya, maka akupun hidup”.
Adapun salah satu jalan untuk mencapai fana’ fillah, di samping mendalamnya cinta rindu adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaraan) dengan perantaraan zikir.

Ittihad
Dengan tercapainya orang pada fana’ dan baqa’ maka sampailah ia kepada al-Ittihad. Al-Ittihad berasal dari kata ittahada-yattahidu-ittihad, yaitu penyatuan. Dalam bahasa tasawuf ittihad diartikan sebagai suatu tingkatan dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang cintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “ ya ana” (wahai aku).
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang terpisah satu dari yang lain,karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi yang bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan.
Abu Yasid al-Bustami sebagai tokoh yang memperkenalkan faham al-ittihad (kesatuam antara manusia dengan Tuhan), Mengapa Abu Yasid dinilai mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan, Hal ini lantaran beliau mengungkapkan syatahat yang menunjukkan bahwa Abu Yasid mengalami atau menghayati hal al- wahdah.
Diceritakan, sejak kecil Abu Yasid mempelajari Al-Quran, ketika sampai pada surah Luqman ayat 14 ia segera minta izin ke gurunya dan ibunya untuk mengembara, Ibunya mengizinkannya dan menjawab “pergilah nak, dan jadilah kamu milik Allah” setelah itu Al-Bustami pergi mengembara untuk berguru dan mengalami kehidupan sufi, ia mengunjungi kurang lebih 113 guru dalam masa 30 tahun. Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat Subuh Abu Yasid berkata pada orang-orang yang mengikutinya,
Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa Abu Yasid telah gila. Menurut pandangan para sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu Abu Yasid sedang berada dalam keadaan ittihad.
Abu Yasid mengatakan “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu yasid, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yasid telah bersatu dengan diri Tuhan, Dalam kata lain Abu Yasid dalam Ittihad berbicara dengan nama Tuhan, atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yasid. Oleh karena itu ia mengucapkan kata-kata yang kelihatannya mengandung pengakuan bahwa Abu Yasid adalah Tuhan. Diriwayatkan bahwa “seseorang telah lewat didepan rumah Abu Yasid dan mengetuk pintu, Abu Yasid bertanya:”siapa yang engkau cari ? jawab (orang yang mengetuk pintu itu) “Abu Yasid” lalu Abu Yasid mengatakan “pergilah”, di rumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Tinggi.
Kata-kata seperti di atas, bukan diucapkan oleh Abu Yasid sebagai kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yamnng dicapainya dengan Tuhan, dengan kata lain Abu Yasid tidaklah mengakui dirinya sebagaiTuhan.
Al-Hulul
Sejarah ringkas al-Hallaj
Faham al-hulul dibawa oleh Husain ibn Mansur al-Hallaj yang dikenal dengan nama al-Hallaj, lahir di kota al-Baida’ di Iran selatan (Persia) pada tahun 858 M , ia menerima pendidikan dibawah asuhan gurunya ‘Alim Sahal ibn Abdullah. Setelah menguasai berbagai cabang ilmu agama, ia mengembalikan perhatiannya kepada sufisme dan menimba ilmu pada guru sufinya yaitu Hazrat Abu Husain Nuri, Junaid Baghdadi dan Uamar ibn Utsman. Dari gurunya itu al-Hallaj semakin kuat dalam dirinya, sehingga ia mulai mengudcapkan hal-hal yang bertentangan dengnan syariat-syariat, Gurunya sering kali melarangnya mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan syariat itu, sehingga al-Hallaj akhirnya diperintahkan meninggalkan perguruan itu. Kemudian al-Hallaj memutuskan pindah ke Baghdad , dan menjadi murid-murid dari sufi kenamaan di Baghdad, ia banyak mengadakan perjalanan diantaranya,di mekkah, India, ia dituduh mempunyai hubungan dengan golongan Syi’ah ekstrim, kaum Qaramitah, yang banyak menentang pemerintahan Bani Abbasiyah. Oleh karena itu, hukuman mati atas al-Hallaj bukan semata karena ucapan ana al-Haqq, tapi juga karena soal politik.
Pada suatu hari al-Hallaj benar-benar mencapai api cinta ilahiyah dan mengucapkan ana al-haqq, Gurunya Junaid dan teman-temannya Shibli menasehati al-Hallaj supaya menahan hati, namun tetap tidak mampan, dan dia terus saja mengucapkan ana al-haqq. Lalu bangkitlah kaum syyariat melawan al-Hallaj dengan mendapat dukungan dari Hamid ibn Abbas-perdana menteri wilayah Baghdad pada waktu itu dan akhirnya mengeluarkan fatwa kufur, menyatakan bahwa al-Hallaj secara hukum dapat dihukum mati. Dan pada akhiirnya tanggal 24 Zulqa’dah 309 H. hukuman mati al-Hallaj dilaksanakan.
Konsep Hulul al-Hallaj
Konsep hulul yaitu immanensi roh Tuhan dalam diri manusia. Timbul masalah bagaimana roh tuhan tadi menempati dalam diri manusia dan alam semesta. Hulul berasal dari bahasa Arab yang berarti menempati. Hulul adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia itu betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya. Menurut al-Hallaj Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-Nasut (sifat kemanusiaan) Manusia juga mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu antara tuhan dengan manusia terdapat kesamaan sifat pandangan bahwa Tuhan dan manusia mempunyai sifat dasar yang sama, ini diambil dari sebuah hadis yang berarti “sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuknya” (HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad ibn Hambali) hadis ini mengandung arti bahwa di dalam diri Adam as. Terdapat bentuk tuhan yang disebut al-Lahut, sebaliknya, di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia disebut al-Nasut. Berdasarkan adanya faham kesamaan sifat antara Tuhan dan manusia, maka persatuan antara Tuhan dan manusia itu mungkin terjadi, persatuan tersebut terjadi dalam bentuk hulul. Untuk melenyapkan al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Bila usahanya melenyapkaan sifat ini berhasil maka tinggallah dalam dirinyahanya sifat al-lahut, pada saat itulah sifat al-nasut Tuhanturun dan masuk dalam tubuh seorang sufi hingga terjadi hulul, peristiwa ini hanya terjadi sesaat. Penyatuan roh Tuhan dan Roh manusia dilukiskan oleh al-Hallaj: “JiwaMu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam setiap keadaan Engkau adalah aku”.
Ketika peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi ana al-Haqq, Kata al-Haqq dalam istilah tasawwuf adalah Tuhan. Sebagian orang menganggap al-Hallaj kafir karena ia mengaku dirinya Tuhan, al-Hallaj tidaklah mengaku demikian dan ini terlihat dalam syairnya:
“Aku adalah rahasia yang Maha Benar, dan bukanlah yang maha Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.
Dalam ajaran al-Hallaj dasar pikiran falsafi telah diletakkan yaitu penghayatan kesamaan dan kesatuan antara manusia dengan Tuhan dijadikan titik pangkal untuk mengembangkan pikiran dan pandangan tasawuf tentang dunia dan penciptaan dunia dan manusia. Dasar pemikiran immanensi Tuhan dalam alam semesta dan teori penciptaan secara emanasi tentu mengubah secara fundamental pemikiran Islam tentang tauhid serta kaedah moral tentang baik dan buruk semua jadi relatif. Kalau dihubungkan dengan filsafat serba Tuhan, baik dan buruknya hanya diibaratkan peralihan dari gelap keterang, antara hubungan siang dan malam segalanya jadi relatif, tidak ada yang mutlak, lebih celaka lagi faham serba Tuhan dan ilmu gaib yang telah melekat pada esensi tasawuf menimbulkan logika paradoksal, manusia bisa merasa berkuasa sebagai Tuhan atau pengapung disamudera Ilahi.
Konsep lain yang diperkenalkan oleh al-Hallaj adalah kesatuan segala agama (wahdah al-adyan) diterangkan bahwa al-Hallaj adalah orang yang pertama memperkenalkan konsep kesatuan segala agama dalam kalangan para sufi muslim. Dia memandang bahwa semua agama-agama itu, walaupun beda-beda ungkapan lahiriyahnya (syariatnya) namun sama dalam esensinya, lantaran semua menuju ketujuan (hakekat) Yang sama (Tuhan). Adapun terjadinya perbedaan-perbedaan ini adalah dikehendaki Allah swt. agar ada kelompok- kelompok tertentu dalam agama untuk menyibukkan diri dengan masalah mereka . Jadi macam-macam agama itu, asal (sumbernya) adalah satu (sama) namun budaya umat terrbilang banyak.

Kecaman Ulama Salaf terhadap Aliran Ittihad dan Hulul
Sejak dahulu, para kaum salaf dan Sufi telah mengecam aliran al-Ittihad dan Hulul ini, karena dikhawatirkan akan menghancurkan kekuatan iman kaum muslimin dari dalam tanpa disadari. Namun, bila seorang mengetakan bahwa Ibn Taimiyahlah orang yang pertama mengecam faham ini adalah tidak benar, karena sebelu masa hidupnya, sudah banyak sekali ulama salaf yang berusaha membentengi keimanan umat islam. Ibnu Taimiyah berkata, “Al-Junaid adalah seorang ulama bijaksana yang meladeni jejak para pendahunya yang shaleh. Dia menyayangkan adanya sebagian sufi yang terpengaruh dengan faham ini. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa kaum sufi itu hanya bermazhab pada ajaran sunnah Nabi, bukan faham al-Ittihad dan al-hulul, ia berkata: bahwa kaum sufi adalah sekelompok manusia yang disucikan dari pengaruh ajaran mazhab saat itu, mereka pula kelompok yang sangat menjauhinya, dan selalu memerangi gerakannya. Syaikh Abdur Qadir jailani ditanya oleh seseorang,”apakah ada aliran yang tetap diridhai oleh Allah selain mazhab imam Ahmad ibn Hambal ? Dia menjawab”Tidak” itu tidak ada.
Ini buktinya yang menyatakan kesamaan aqidah kaum sufi dan ahli salaf yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Abu Na’im berkata,”apabila kefasikan telah mencapai kelisan kita dan menghiasi pembicaraan ulama Fiqh, serta para pengikut jejak salaf, maka kekufuran aliran al-Hululiyah yang penuh dusta itupun sudah menembusi dinding segala kebajikan kaum muslimin. Kata-kata ini menunjukksn kebencian Abu Na’im yang amat mendalam terhadap kelompok al-Hululiyah yang tidak mau meladeni jejak ahli salaf sebagaimana yang ditiru oleh kaum sufi dari kitab al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Dia berkata bahwa kecaman yang diarahkan kekelompok sesat ini, bukan hanya dilakukan oleh kaum sufi saja, akan tetapi turut pula didukung oleh ulama-ulama fiqh, ulama hadis dan pemuka umat islam, karena kelompok hululiyah ini telah menjalani jalan mereka dan meninggalkan jejak salaf yang shaleh.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khalik,syeikh Abdurrahman, Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf (terj Jakarta; Robbani Press, 1421 H.)
Al-Kalabadzi, Abu Bakar Muhammad, Al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf (Kairo; Dar al-Nahdhah;tth)
Ensiklopedi Islam (Jakarta;Ichtiar van Hauve, 1977, cet.iv, jilid.ii)
Syeikh Ibrahim, Gazur I-ilahi, Mengungkap misteri sufi besar al-Hallaj ana al-Haqq (terj.Jakarta; Rajawali Press, 1986)
Hilal, Ibrahim, Al-Tasawwuf al-Islam bain al-din wa al-Falsafah (kairo; Al-Nahdhah al-Arabiyah, 1979)
Masignon, Louis, al-Hallaj sang sufi Syahid (terj.Yogyakarta; Pustaka Baru,2000)
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1977)
-----------, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta; Universitas Indonesia Press, 1986) jilid.II. cet.V
Simuh, Tasawwuf dan perkembangannya dalam Islam (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1997

MENGKAJI ULANG FAHAM ITTIHAD ABU YAZID AL-BUSTAMI Oleh: Asmaran As.∗

ABSTRAK
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami
disebut sebagai sufi pertama yang membawa faham ittihad
(persatuan mistik, mystical union) dalam arti seorang telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan, karena kesadarannya telah lebur
bersatu dengan eksistensi Tuhan. Munculnya faham ini telah
menimbulkan sikap dan pandangan pro kontra di kalangan ulama.
Tulisan ini berupaya mengkaji ulang persoalan ini dalam sudut
pandang pemahaman dunia tasawuf. Dunia tasawuf adalah dunia
rasa yang sarat dengan pengalaman spiritual yang seringkali
berada di luar lingkungan rasional. Perlu disadari bahwa sebelum
terjadinya ittihad, seorang sufi telah mengalami fana’ dan baqa’.
Dalam kondisi demikian tentu tidak bisa dipakai ukuran yang bisa
digunakan untuk menilai suatu ekspresi luar biasa (syathahat)
yang keluar dari mulut seseorang yang dalam keadaan sadar.
Hanya sangat disayangkan pengalaman sufistik seperti itu sering
terungkap kepada khalayak hingga dipandang sebagai ucapan yang
menyesatkan karena secara lahiriah melanggar prinsip tanzih
dalam ajaran Islam.
Kata kunci: Fana’, baqa’, ittihad, syathahat.
PENDAHULUAN
Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa
bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H (813 M) di Bustam,
bagian Timur Laut Persia. Di Bustam ini pula ia meninggal dunia pada
tahun 261 H (875 M); dan makamnya masih ada hingga saat ini (Fariduddin
al-Attar, 1979: 100). Makamnya yang terletak di tengah kota menarik

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Tasawuf pada Fakultas Ushuluddin dan
Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin
banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan
denngan kuburan Hujwiri. Nasiri Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M.
didirikan di atanya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan Mongol,
Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah
seoarang keturunan dari Bustam itu (Aboebakar Atjeh, 1984: 259).
Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad
ketiga Hijriyah. Kakeknya Surusyan adalah seorang penganut agama
Zoroaster, yang kemudian masuk Islam. Sedikit sekali orang mengetahui
tentang sejarah hidupnya. Jika tidak ada pengarang seperti at-Attar, orang
tidak mengenalnya sama sekali. Siapa Abu Yazid itu, beberapa catatan
mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka (Fariduddin
al-Attar, 1979: 101-105).
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam
menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu
tauhid dan hakikat, begitu juga tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga
tentang fana’ dari Abu Ali Sindi. Dia tidak meninggalkan tulisan,
tetapi pengikut-pengikutnyalah mengumpulkan ucapan/ajaran-ajarannya
(Aboebakar Atjeh, 1984: 135-136).
Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahaid itu
adalah seoarang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan
dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia,
zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir
ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak
mengingat apa-apa lagi selain Allah.
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran
yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang
dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi
sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak
pengikut yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Pengikut-
pengikutnya menamakannya Taifur. Kata yang diucapkannya seringkali
mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika ditangkap secara lahir
akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan
dengan manusia.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid
dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus
pencetus faham al-ittihād; dan A. J. Arberry menyebutnya sebagai “first of
the ‘intoxicated’ sufis”. (Orang pertama dari kaum sufi yang mabuk
kepayang) (A. J. Arberry, 1979: 54).
Apa yang dimaksud dengan al-fana’, al-baqa’ dan al-ittihād yang
menjadi inti dari ajaran tasawuf Abu Yazid ini akan diuraikan pada bagian
kedua berikut ini, yang disertai dengan beberapa penilaian orang dan analisa
seperlunya. Terakhir, bagaian ketiga, akan dirumuskan beberapa
kesimpulan.
AJARAN TASAWUF ABU YAZID
Irfan Abdul Hamid Fattah Mengatakan bahwa dalam sejarah
perkembnagan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa
arah timbulnya aliran “kesatuan wujud” atau ittihad (Irfan Abdul Hamid
Fattah,1973: 169). Perkembangan ajaran tasawauf ke arah ini digambarkan
oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atheh sebagai berikut:
Lalu sampailah pada abad yang ke-III orang membicarakan
latihan rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya.
Jika pada akhir abad ke-II ajaran sufi merupakan kezuhudan
(asceticisme), dalam abad ke-III ini orang sudah meningkat kepada
wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai
membicarakan tentang lenyap tentang kecintaan, fana fil mahbub,
bersatu dengan kecintaan, ittihād fil mahbub, bertemu dengan
Tuhan, liqa’; dan menjadi satu dengan Dia. ‘ainul jama’ sebagai
yang diucapkan oleh Abu Yazid Bisthami (Aboebakar Atheh, 1984:
169).
Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan
(al-ittihād), ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya melalui
fana’. Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringi
dengan baqa’. Apa yang disebut dengan fana’ dan baqa’ itu ?
1. Al-Fana’ dan Baqa’
Secara logawi, fana’ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang
atau tiada; dan baqa’ berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus (l;awan dari
fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanaya
fana’ menunjukkan adanya baqa’. Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan:
“The complement and consummation of death to self (fana’) is everlasting
life in God (baqa’)” (R. A. Nicholson, 1973: 214). Yakni, “Kelengkapan
dan kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi di
dalam wujud Tuhan (baqa)”. Hal ini memang dapat dilihat dari faham-
faham sufi berikut :
‫- من فنى عن المخالفات بقى فى الموافقات‬
‫- من فنى عن الأوصاف المذمومة بقى بالاوصاف المحمودة‬
‫- من فنى عن أوصافه بقى بأوصاف الحق‬
- Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan
tinggal ialah taqwanya.
- Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk,
tinggal baginya sifat-sifat yang baik.
- Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya
sifat-sifat Tuhan. (Harun Nasution, 1973: 80)
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu
al-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah
hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh
kasarnya dan alam sekitarnya.
Al-Qusyairi tentang ini mengatakan :
‫إحساسه بنفسه‬ ‫فناؤه عن نفسه و عن الخلق بزوال‬
.......‫وهبم‬
‫فنفسه موجودة والخلق موجودون ولكنه لا علم له هبم‬
‫ولابه‬
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu....... Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya
(Al-Qusyairi, t.th: 37).
Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan beberapa definisi
pengertian fana’ ini sebagai berikut :
‫الفناء حالة نفسية تنمحى فيها علائق الانسان بالكون والنفس‬
‫دون ان تنحى بشريته‬
Fana, keadaan jiwa yang menghilangkan hubungan manusia
dengan alam dan raganya, bukan menghilangkan wujud
kemanusiaannya (Ibrahim Basyuni, t.th: 239).
Dalam hal pengertian fana’ ini, di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim
Madkur berarti :
‫نظرية تتلخص فى ذهاب الحس والوعى وانعدام الشعور بالنفس‬
‫و بالعالم الخارجى , وانمحاء العبد فى جلال الرب , فيفنى العبد‬
‫فى شخصه , و يبقى فى ربه , بعد مجاهدة و مجالدة و تصفية‬
‫للنفس‬
Teori yang pada kesimpulannya menjelaskan tentang
hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar,
terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya
seorang hamba terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam
wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta
pembersihan jiwa (Ibrahim Madkur, 1979: 141).
Dan dalam masalah ini pula, Nicholson mengatakan : To Pass
away from self (fana’) is to realize that self does not exist, and that nothing
exista except God (tauhid)” (R. A. Nicholson, 1973: 50).
Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana’ kata
Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat
diringkaskan sebagai berikut :
a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian
nafsu dan keinginan.
b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,
pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian
memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan
memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-
Nya.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang
tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri
juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana”
atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’)
(R. A. Nicholson, 1975: 60-61).
Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah
lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa,
yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61).
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi
manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang
hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan
eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana
the passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves
baqa’, the continuance of his real existence. He who dies to self lives in
God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or
baqa’, or union with the divine life” (Nicholson, 1973: 149). Yakni, “Fana,
sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan
wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup
bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini,
menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”.
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni,
menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang
bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala
yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak
ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan” (Ibrahim Basyuni, t.th: 238).
Abu Yazid al-Bustami, yang dalam sejarah tasawuf dipandang
sebagai sufi pertama yang menimbulkan faham fana dan baqa ini
mengartikan fana sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi
(al-fana’ ‘an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya
sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan
menyatu dengan wujud-Nya (Team Penyusun Naskah, 1981-1982: 72).
Lebih jelas lagi faham ini tersimpul dalam kata-katanya :
‫- أعرفه بى حتى فنيت ثم عرفته به فحييت‬
- Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur,
kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun
hidup.
Dan katanya pula :
‫- جننى بى فمت ثم جننى به فعشت ...... فقلت الجنون‬ ّ
‫بى فناء و الجنون بك بقاء‬
- Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati;
kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup,
...........aku berkata : Gila pada diriku adalah kehancuran
dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup. (Harun Nasution,
1973: 81)
Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai al-fana’ ‘an al-nafs, yaitu
kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau wujud jasmaninya tidak
ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah
wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Dan
kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah
tercapainya al-fana’ ‘an al-nafs.
2. Al-Ittihād
Dilihat dari sudut etimologi, ittihād (al-Ittihād) berarti peratuan,
Dalam kamus sufisme berarti perasatuan antara manusia dengan Tuhan.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihād
kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan
yang dicintai telah menjadi satu (Harun Nasution, 1973: 82).
Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat
tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang
telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,
terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah
dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernbah didengar oleh
telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-
ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat (Ibrahim
Madkur, 1979: 2).
Ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat
menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh
kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya.
Menurut Nicolson, dalam faham ittihād hilangnya kesadaran adalah
permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang sebenarnya dicapai dengan
adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang
disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after
passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’)
yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian
Tuhan kepada seorang sufi (Nicholson, 1973: 218).
Sekarang kalau memang fana yang merupakan prasyarat untuk
mencapai ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan
datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan
kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana
dikemukakan di atas.
Dalam Ittihād, kata A. R. al-Badawi seperti dikutip oleh Harun
Nasution, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua
wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan
hanya satu wujud, maka dalam ittihād bisa terjadi pertukaran peranan antara
sufi dengan Tuhan (Harun Nasution, 1973: 82-83).
Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrîd fana’ fî
al-tauhîd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan
tanpa diantarai sesuatu apapun. Uangkapan Abu Yazid tentang peristiwa
mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan :
‫رفعنى االله مرة فأقامنى بين يديه و قال لى يا ابا يزيد : ان خلقى‬
‫يحبون ان يروك فقلت زينى بوحدانيتك والبسنى انانيتك و ارفعنى‬
‫الى أحدبتك حتى اذا رانى خلقك قالوا رأيناك فتكون أنت ذاك‬
‫ولا أكون أنا هناك‬
Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia
berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku
Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi
jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang
kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata : Telah kami lihat
Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana
(Abdul Qadir Mahmud, t.th: 313).
Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses
terjadinya ittihād. Dalam bagian awal ungkapan itu melukiskan alam
ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada
sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād
ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya :
‫قال : يا ابا يزيد إهنم كلهم خلقى غيرك فقلت : فأنا أنت و‬
‫أنت أنا و أنا أنت‬
Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah
makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah
aku dan aku adalah Engkau (Harun Nasution, 1973: 85).
Selanjutnya Abu Yazid berkata :
‫إنى أنا االله لا اله إلا أنا فاعبدنى‬
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain
Aku, maka sembahlah Aku (Harun Nasution, 1973: 86).
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu
seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian
maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai
gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan,
karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu
Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi
Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid
menjelaskan :
‫لأنه هو الذى يتكلم بنسانى أما أنا فقد فنيت‬
Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri
dalam keadaan fana (Abdul Qadir Mahmud, t.th: 310).
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya
sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid
sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan
ittihād.
TINJAUN
Seperti dikemukan diatas, semenjak masanya Abu Yazid pendapat
sufi condong kepada kepada konsepsi “kesatuan wujud”. Faham ini muncul
sebagai konsepsi lanjut dari pendapat sufi bahwa dunia fenomena ini
hanyalah bayangan dari “realita” yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-
satunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan, sesuatu yang menjadi
dasar bagi adanya segala sesuatu yang ada. Dunia hanyalah bayangan dan
khayal, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan.
Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu, mereka
berpendapat, bahwa alam ini termasuk manusia merupakan refleksi dari
hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur ketuhanan karena ia
merupakan pancaran Nur Ilahi, seperti pancaran cahaya matahari. Oleh
karena itu, jiwa manusia selalu bergerak berusaha untuk bersatu kembali
dengan sumber asalnya.
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi
dengan Tuhan dapat bersatu dengan Tuhan dapat bersatu dengan-Nya
apabila ia mampu melebur eksistensi keberadaannya sebagai suatu pribadi
sehingga ia tidak menyadari pribadinya, fana’ ‘an al-nafs (Team Penyusun
Naskah, 1981/1982: 160). Dengan istilah lain, barang siapa yang mampu
menghapuskan kesadaran pribadinya dan mampu membebaskan diri dari
alam sekelilingnya, ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber
asalnya. Ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan
menyatu padu dengan yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakannya hanya
satu. Keadaan seperti inilah yang disebut ittihād, yang oleh Abu Yazid
disebut tajrîd fanā’ fî al-tauhîd.
Nampaknya kontroversi sekitar faham fana’, baqa’ dan ittihād
dalam tasawuf terus berkembang hingga sekarang. Masalahnya apakah ia
berasal dari ajaran Islam atau import dari luar ?. Ibrahim Madkur melihat
bahwa faham ittihād ini adalah sesuatu yang paling rumit di dalam tasawuf
Islam, sehingga para pengamat tasawuf dalam menilainya bisa dibagi
menjadi dua kelompok: ada yang menerimanya tetapi juga ada yang
menolaknya (Ibrahim Madkur, 1976: 65).
Selanjutnya Madkur dengan tegas mengatakan bahwa faham
ittihād ini sebenarnya tidak bersumber dari Islam. Katanya, al-Qur’an
dengan ungkapan yang tegas, secara mutlak, tidak memberi tempat pada
adanya faham ittihād. Hanya saja, para pendukungnya tidak kehilangan akal
untuk melandasinya dengan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi (Ibrahim
Madkur, 1976: 65). Penilaian serupa juga dikemukakan oleh Aboebakar
Atjeh. Dengan nada yang agak moderat, beliau mengatakan :
Sebenarnya tidak ada sesuatu petunjuk pun dalam Qur’an yang
dengan tegas-tegas menerangkan ada ittihād itu. Ada beberapa ayat
qur’an yang menerangkan keadaan akrabnya Tuhan dengan hamba-
Nya, seperti ayat : “Kami lebih dekat padanya dari pada kedua urat
leharnya” (Qur’an L : 16). ayat : “Ia (Tuhan) selalu bersama
kamu, dimanapun kamu berada” (Qur’an), ....... (Aboebakar Atjeh,
1984: 137).
Selanjutnya ada sebuah hadis qudsi yang berbunyi :
Mutaqqarribun itu tidaklah dapat mendekati Aku dengan
hanya menunaikan segala ibadah yang perlu, yang sudah diwajibkan
kepadanya, tetapi seorang hamba-Ku yang senantiasa mengerjakan
segala ibadat-ibadat sunnat, dapatlah mendekati Daku, sehinga ia
mencintai Daku dan Aku mencintai dia, maka pendengaran-Ku
menjadi pendengarannya dan penglihatan-Ku menjadi matanya
untuk melihatnya. (Aboebakar Atjeh, 1984: 137).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’ dalam tasawuf
Islam ini berasal dari ajaran Buddhaisme tentang faham nirwana, karena
faham nirwana dalam ajaran Buddhaisme ini hampir serupa dengan faham
fana’ dalam tasawuf. Untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan
dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
Dikatakan, ajaran-ajaran non Islam seperti ajaran Buddhaisme ini,
masuk ke dalam ajaran Islam seperti dalam tasawuf, adalah akibat logis dari
perluasan daerah kekuasaan Islam, pertemuan berbagai suku bangsa,
kebudayaan, agama dan kepercayaan di dalam satu wadah pergaulan
pemerintahan Islam pasti akan saling mempengaruhi antara yang satu
dengan lainnya.
Dalam persoalan ini Nicholson mengatakan bahwa konsepsi sufi
tentang kefanaan diri adalah dapat dipastikan berasal dari India.
Penganjurannya seorang ahli mistik Persi, Bayazid dari Bistam mungkin
telah menerima dari gurunya, Abu Ali dari Sind (India). Tambahan lagi
bahwa dalam sejarah, selama ribuan tahun sebelum kemenangan umat Islam
Buddhisme pernah memiliki akar yang kuat di kawasan timur Persia dan
Bactria, sehingga oleh karenanya hampir dapat dipastikan adanya pengaruh
terhadap perkembangan ajaran tasawuf di daerah tersebut (Nicholson,
1975: 17-18, Saiyid Athar Abbas Rizvi, 1978: 44-45).
Demikian pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’, baqa’
dan ittihād ini berasal dari luar Islam (Buddhisme). Namun keterangan-
keterangan yang ada belum memberikan kepastian dalam keputusan kepada
kita, karena analisis yang diberikan hanya berupa pemikiran-pemikiran
belaka. Saya kira, terlepas dari maksud untuk menerima atau menolaknya,
faham ini dapat saja lahir dari ajaran Islam sendiri, baik dari al-Qur’an
ataupun Hadis. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Rahman
ayat 26-27 :
‫ك ُّ من علْيهَا ف َان , وَيْبق َى وجه ر ِّبك ُو ا ْلجلال وَالإكرَام‬
‫َ ُْ َ َ ذ َ َ ِ ِ ْ ِ‬ َ ٍ ‫ ُل َ ْ َ َ‬
Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal
Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
(Al-Rahman/55 : 26-27)
Dan sabda Rasulullah saw. :
‫كنت كترا مخفيا فأحببت أن أعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى‬
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian
Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku
merekapun kenal pada-Ku (Harun Nasution, 1973: 61).
Memang seperti dikatakan oleh mereka yang menolak faham yang
dibawa oleh Abu Yazid ini, bahwa ayat atau hadis digunakan sering
diselewengkan maksudnya. Tetapi kita mungkin bisa bertanya setelah kita
melihat penjelasan kaum sufi, apakah mereka yang menolak faham ini tidak
memaksakan pendapatnya dalam melihat dan menafsirkan ayat atau hadis
yang digunakan kaum sufi, karena ayat atau hadis tersebut dapat
mengandung lebih dari satu arti. Kita mengenal biasanya orang sufi
mengambil arti batin, arti yang tersirat; sementara orang lain mengambil arti
lahir, arti yang tersurat. Mereka menilai tasawuf dengan norma-norma atau
nilai-nilai yang berlaku di kalangan mereka, sehingga berkesimpulan bahwa
ajaran tasawuf tersebut bertentangan dengan Islam atau tidak bersumber dari
ajaran Islam.
Alasan lain dari mereka yang menolak adanya faham ittihād
adalah tidak mungkin terjadi persatuan antara dua subtansi (zat), antara
manusia dengan Tuhan. Dengan tegas Muhammad al-Sadiq Arjun
mengatakan :
‫......الاتحاد فذلك ايضا اظهر بطلانه لان قول القائل ان العبد‬
‫صار هو الرب كلام متناقض فى نفسه بل ينبغى ان يتره الرب‬
‫سبحانه عن ان يحري اللسان فى حقه بأمثال هذه المحالات و‬
‫نقول قولا مطلقا ان قول القائل ان شيئا صار شيئا اخر محال‬
‫الإطلاق‬
........, Demikian juga ittihād, nampak sekali salahnya, karena
perkataan seseorang bahwa seorang hamba dapat menjadi Tuhan
adalah perkataan yang paradoks dalam wujudnya, Padahal
seyogyanya dia mensucikan diri dari segala perkataan yang
mustahil-mustahil ini. Kita dapat berkata dengan tegas (mutlak)
bahwa perkataan seseorang, sesuatu dapat menjadi sesuatu yang lain
adalah mutlak mustahilnya (Muhammad al-Sadiq Arjun,1967: 118).
Jika kita kembali kepeda pengertian ittihād seperti yang terurai di
atas, bukanlah yang dimaksud dengan ittihād itu berpadunya dua subtansi
menjadi satu, tetapi merupakan satu keadaan rohani yang diperoleh melalui
al-fana’ ‘an al-nafs, yakni hilangnya kesadaran seorang sufi akan wujud
dirinya dan yang tinggal dalam kesadarannya hanya wujud Tuhan. Hal ini
dalam ungkapan sufi sebagaimana dikutipkan di atas, tidak ubahnya seperti
hilangnya maksiat dan sifat-sifat buruk. Dengan hancurnya hal-hal ini,
maka yang tinggal ialah taqwa dan kelakuan baik.
Dengan melihat uraian di atas, penolakan terhadap adanya faham
ittihād dalam tasawuf belum memberikan alasan yang meyakinkan. Saya
kira ada dua hal yang mempengaruhi sebagian para pengamat ajaran
tasawuf, khususnya faham ittihād selama ini :
1. Mereka melihat dan menilai tasawuf dengan kacamata yang cocok
untuk dirinya, maksudnya menilai tasawuf menurut norma-norma
yang mereka yakini.
2. Mereka menggunakan batasan ittihād menurut persepsinya.
ITTIHĀD DI PAHAMI SEBAGAI PERSATUAN DUA SUBTANSI,
MANUSIA DENGAN TUHAN, YANG TERJADINYA BERDIRI
SENDIRI-SENDIRI
Tasawuf atau sufisme, sebagaimana halnya dengan mistisisme
diluar agama Islam, mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirad Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di
dalamnya tasawuf, ialah kesadaran akan adanya kemonikasi dan dialog
antara ruh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesaaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil
bentuk ittihād (Harun Nasution, 1973: 56). Tujuan utama yang menjadi inti
ajaran tasawuf, demikian kesimpulan Abdul al-Hakim Hassan, adalah
sampai kesadaran bersatu dengan Allah (Abdul al-Hakim Hassan, 1954: 19).
Menurut Ibrahim Basyuni, tasawuf adalah kesadaran sejatinya manusia
yang mebngarahkan jiwa yang benar untuk selalu berjuang hingga ia dapat
merasakan perjumpaan dengan wujud mutlak (Allah) (Ibrahim Basyuni, t.th:
28).
Dalam konteks ini semua aktivitas ketasawufan, langsung atau
tidak, bekaitan dengan penghayatan dan ma’rifah pada Allah. Hal ini bukan
hasil pengamatan panca indera atau penalaran rasio, tetapi merupakan
penghayatan spiritual atau pengalaman yang bersifat mistik (mystical
experience). Pengalaman kejiwaan seperti ini dalam dunia tasawuf disebut
fana’. Terjadinya kondisi fana’ kerena begitu mendalamnya rasacinta yang
termanifestasi dalam aktivitas sufi sehari-hari. Dalam mabuk cinta itu, sang
sufi akan mengalami penghayatan wahdat al-syuhud, apa saja yang
dipandang tampak sebagai Tuhan. Al-Syibli, misalnya, pernah menyatakan:
“Aku tak pernah melihat sesuatu kecuali Tuhan” (Simuh, 1997: 104).
Aktivitas yang mutlak dilakukan sang sufi adalah zikir. Melalui
konsentrasi dalam zikir, yang oleh sufi disebut dengan menenggelamkan
hati dalam zikir kepada Allah, akan menghantarkannya pada pengalaman
dan prenghayatan fana’ secara total pada Allah. Fana’ adalah proses
beralihnya kesadaran dari alam inderawi atau alam lahir kealam kejiwaan
atau alam batin. Oleh kerena itu kondisi fana’ merupakan bagian yang
esensial dalam tasawuf.
Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad aau menyatu
dengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut:
Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat
peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah
memulai menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah
mulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyap
kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur
menyatu dalam wujud Allah. (Simuh, 1997: 106).
Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad
seorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran akan
alam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan
terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam
tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung
apa yang mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan
ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.
Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ al-
fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah
terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya.
Salam satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam
kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai
berikut:
‫فل َّا سمعت ِبمكرهن َأرسلت ِإ َلْيهن و َأعَتدت َله َّ ُ َّتكأ وءَاَتت‬
ْ َ ‫ َ َم َ ِ َ ْ َ ْ ِ ِ َّ ْ َ َ ْ ِ َّ َ ْ َ ْ ُ ن م َ ً‬
ُ‫كل وَاحدة مْنه َّ س ِّينًا وق َا َلت اخرج علْيهن فل َّا ر َأْيَنهُ َأكَبرَنه‬
ْ‫ ْ‬ َ ‫ ُ َّ ِ َ ٍ ِ ُن ِك َ ِ ْ ُ ْ َ َ ِ َّ َ َم‬
‫وقط َّعن َأْيدَيهُن و ُلن حَاش ِل َّه مَا هذ َا َبشرًا ِإن هذ َا ِإ َّا ملك‬
ٌ ‫َ ل ِ َ َ ْ َ ل َ َ‬ َ ‫َ َ ْ َ ِ َّ َق ْ‬
.‫كريم‬
ٌ ‫ َ ِ‬
Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka,
diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka
tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka
sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata
(kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada
mereka." Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum
kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya
dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia.
Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.
(Yusuf/12: 31).
Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini
baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk
lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati
terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak
mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhlik
sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf
yang ganteng mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari
mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona
melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-
kata.
Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas
patut diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties
of Religion Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman
mistis; dan dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan
mampu menghindari dari perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan.
1. Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan
bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; tidak ada uraian
manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya dalam kata-
kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara
langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang
lain.
2. Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan,
bagi orang yang mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi
berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan
tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek
yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan
dab pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa
dirasakan.
3. Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam
waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang
jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum
kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau
paling lama satu atau dua jam.
4. Kefasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa
tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti
melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau
menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku
panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang
ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk
sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan
dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi (William James,
2004: 506-508).
Dengan mengikuti keterangan jaman diatas , maka situasi ittikad
Abu Yazid harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang
sufi. Sebagai pengalaman kejiwaan yang berdeminsi spiritual tentu sangat
bersifat personal dan unik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri: Sangat sulit,
bahkan mustahil di ungkapkan dengan kata-kata; menimbulkan pencerahan
dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu,
hanya terjadi dalam waktu singkat, dan berlakunya kepasifan total yang di
awali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan diakhiri
dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar bias.
KESIMPULAN
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al- Bustani
dipandang sebagai pencetus tahun fana’, baqa’ dan ittihad, fana ‘ dan baqa’
merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan katalain, ittihad
itu barutercapai setelah melewati fana dan baqa.
Fana’ yang dimaksudkan disini ialah hilangnya kesadaran akan
ujud dirinya (al-fana ‘an nafs ) dan ujud alam sekelilingnya (al-fana ‘an al-
Khaluq) hingga ia (sufi) tidak tahu bahwa dirinya dalam keadan fana’
(al-fana ‘an Allah). Kerena seluruh aktivitas dan kesadarannay
terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam kesadaran Allah (al-fana fi
Allah) dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah
Allah (al-baqa bi Allah). Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah
bersatu dengan Allah (ittihad)
Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks
kejiwaan, ia memiliki beberapa cirri yang harus diperhatikan oleh
pengkajian tasawuf. Pro kontra faham ittihad harus dilihat dari sudut ini.
Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:
1. tidak bisa diungkap kepada orang yang belum mampu atau belum siap
menerimanya.
2. memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang tidak bisa dijelaskan
hanya dengan nalar intelik.
3. pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar, paling lama hanya
berlangsung dua jam.
4. terjadi kepasifan total dimana perasaannya butuh kedalam kesadaran
terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.
Pengalaman misik tertinggi memeng mengahasilkan situasi
kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi’, ekstase itu
sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman
kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman
yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan dlamir
al-sya’n, yaitu kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syahadath
pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka
menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia
yang Maha Ada.
DAFTAR PUSTAKA
Arberry, A. J., Sufism An Account of the Mystics of Islam, Unwin
Paperbacks, London, 1979.
Arjun, Muhammad al-Sadiq, Al-Tasawwuf fi al-Islam Manabi’uhu wa
Atwaruhu, Maktabah al-Kulliyah al-Athariyah, Cairo, 1967.
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Ramadhani, Solo,
1984.
Al-Attar, Fariduddin, Muslim Saints and Mystics, terjemahan A. J. Arberry,
Reutledge & Regan Paul, London, 1979.
Basyuni, Ibrahim, Nasy’atu al-Tasawwuf al-Islamy,Dar al-Ma’arif, Cairo,
t.t.
Irfan Abdul Hamid, Nasy’atu al-Falsafah al-Sufiyah wa
Fattah,
Tatawwuruhu, al-Maktab al-Islamy, Bairut, 1973.
Hassan, Abd al-Hakim, Al-Tasawwuf fi al-Syi’ri al-‘Arabi, Maktabah
al-Anjalu al-Misriyah, Mesir, 1954.
James, William, The Varietiės of Religion Experience, diterjemahkan oleh,
Gunawan Admiranto, Perjumpaan dengan Tuhan, Mizan,
Bandung, 2004.
Madkur, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiquhu, I,
Dar al-Ma’arif, Cairo, 1976.
-------------, al-Mu’jam al-Falsafy, al-Hai’ah al-‘Ammah li Syu’ub
al-Matabi’ al-Amiriyah, Cairo, 1979.
Mahmud, Abdul Qadir, Al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Dar al-Fikri al-
Araby, Cairo, t.t.
Nasution, Harun, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1973.
Nicholson, R. A., Studies in Islamic Mysticism, Cambridge University Press,
London, 1973.
-------------, The Mystics of Islam, Routledge and Kegan Paul, London,
1975.
Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kutub al-‘Arabiyah
al-Kubra, Cairo, t.t.
Rizvi, Saiyid Athar Abbas, A History of Sufisme in India, Munashiram
Manoharlal, New Delhi, 1978.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1997.
Team Penyusun Naskah, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Binperta IAIN
Sumatera Utara, Medan, 1981/1982.

pengertian ittihad

Ittihad merupakan salah satu khasanah spiritual yang dimiliki Islam, sebuah pemaknaan Islam yang bercorak mistis dan sufistik.

Hanya saja, dalam perjalanannya cap stereotip kerap dilekatkan, dikecam banyak orang dan dianggap sesat. Tidak tahu persis apa motif dibalik pengecaman itu, tapi yang jelas, perkembangannya nyaris mengalami jatuh bangun dan pasang surut.

Padahal, bila ajaran-ajaran sufisme ini tumbuh kembang, bukan tidak mungkin akan memberikan kontribusinya bagi terbangunnya tatanan kehidupan yang damai, harmonis, rukun dan bebas konflik. Dan dengan tumbuh kembangnya pemahaman agama yang bercorak sufistik, problem demoralisasi akan terjawab.

Apalagi, di era modernitas dan globalisasi saat ini, masalah moral sudah terasa akut. Moral dalam segala lini dan sektor: politik, sosial, hukum, etika, rumah tangga, gaya hidup dan lain-lain. Sialnya, problem demikian tak kunjung dijawab oleh model beragama yang ada saat ini.

Apa pasal? Bisa jadi, model beragama saat ini lebih menitikberatkan pada praktik-praktik lahiriah, seremonial, formal, dan simbolisme belaka.

Berbeda dengan sufisme, kedalaman spiritual dan ketajaman jiwa yang menjadi karakter beragama sufisme menjadikan nurani, hati, pikiran dan batin lebih terasah dan peka terhadap perbedaan antara baik dan buruk, antara yang tidak patut dan tidak patut dikerjakan.

Syatohad

Bicara pengertian ittihad, bisa juga dimaknai sebagai bentuk dari ajaran-ajaran tasawuf atau sifisme, yakni kesadaran bersatu dengan Tuhan.

Secara sederhana, tasawuf didefinisikan sebagai jalan menemukan kebenaran jiwa dan kesadaran hakiki manusia agar mampu mengalami perjumpaan dengan wujud Allah.

Ittihad berasal dari kata ittahad-yattahid-ittihâd (dari kata wâhid) yang berarti bersatu atau kebersatuan. Ittihad merupakan proses kejiwaan dan cara berkomunikasi antara manusia dengan Tuhan. Amalan-amalan paling dominan adalah berzikir dan mengasingkan diri, disamping juga kontemplasi.

Ittihad bukanlah hasil dari proses-proses yang didapat dari panca indera atau pun akal, tapi produk dari proses perenungan spiritual dan refleksi kebatinan.

Konsep lain yang sepadan dengan ittihad adalah cinta. Ketika sufi larut dalam perjumpaan dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menjadi dwitunggal. Dua dalam satu. Menjadi satu.

Seorang sufi yang dimabuk cinta dengan Tuhan, penglihatan, pendengaran, dan perasaan hati menemukan hakikat yang sebenarnya. Kerap terlontar ujaran-ujaran yang tidak umum, atau yang disitilahkan denga syathohat.

Seperti, “Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku”, “Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku”, aku adalah Engkau. Ungkapan-ungkapan ini dilontarkan sufi saat memasuki pintu ittihad.

Menemukan kondisi ittihad adalah ketidaksadaran. Wujud alam sekitar, termasuk tubuh tidak lagi dikenal. Yang dikenalnya hanyalah dirinya sebagai Tuhan. Kondisi ketidaksadaran yang diberikan Tuhan menuju pintu ittihad.

Untuk merasakan ketidaksadaran sebagai pintu ittihad yang diberikan Tuhan, seorang sufi perlu mengasah jiwanya dengan beribadah dan selalu dekat pada Tuhan dalam kesabaran dan ketekunan.

Seperti disinggung diatas, ciri-ciri ittihad adalah dwi tunggal. Dua dalam satu. Artinya, walau ada dua wujud, tapi yang dirasakan cuma satu. Tuhan adalah sufi, sufi adalah Tuhan. Sosok Tuhan adalah sosok sufi. Begitu sebaliknya. Juga saling berganti peran. Peran sufi dan peran Tuhan adalah satu peran.

Komentar Aboebakar Atheh (1984) terhadap fenomena sufisme Abu Yazid diistilahkan dengan tajrid fana fi tauhid. Mirip dengan pengertian yang disebut diatas, istilah ini dimaksudkan sebagai bersatunya Tuhan dengan manusia. Tidak lagi ada dinding pemisah atau batas antara Tuhan dan manusia.

Bukan Tuhan

Munculnya ungkapan-ungkapan syatohat memang terasa aneh. Sebab, ada semacam pengidentifikasian bahwa seorang yang mengalami ittihad adalah Tuhan, walau sebenarnya tidaklah demikian. Seorang sufi kenamaan Abu Yazid mengatakan bahwa pengalaman ittihad bukanlah berarti menjadi Tuhan.

Memang, seolah-olah yang berbicara adalah Tuhan, tapi sebenarnya adalah sufi itu sendiri. Tuhan berbicara lewat lidah manusia karena dalam kondisi fana. Dalam situasi ittihad-lah ungkapan-ungkapan syatohat muncul, yang, sekali lagi, bukan diucapkan sang sufi, tapi oleh Tuhan dengan menggunakan mulut sang sufi.

Tidak jarang praktik-praktik atau ajaran-ajaran sufisme dipandang sebelah mata dan kerap dituduh menyalahi prosedur memahami Tuhan. Klaim-klaim sesat dan menyesatkan kerap terlontar dari kalangan yang anti terhadap tasawuf atau sifisme.

Karenanya, agar terhindar dari salah pemahaman terhadap ittihad, apa yang ditawarkan William James, seorang pengamat mistisisme dalam bukunya The Varietes of Religion Experience, perlu diperhatikan.

Pertama, melihatnya sebagai fenomena yang tidak bisa diungkapkan. Yakni pengalaman yang tidak mungkin ditransformasikan atau dipindahkan pada orang lain. Atau, sebuah pengalaman yang memang harus dialami sendiri.

Kedua, pengalaman mistis yang kedalaman kebenarannya bukan diperoleh dari aktivitas intelektual atau dalam bangunan diskursus.

Ketiga, kondisi mistis yang tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama.

Keempat, hadirnya keadaan mistis bisa dimungkinkan dengan cara direncanakan dan dipersiapkan. Misal, konsentrasi atau mengamalkan cara-cara yang sudah dibukukan atau disistematisasikan