Senin, 31 Januari 2011

Revolusi Roti Ala Mesir

Hery Sucipto
Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
Alumnus Al-Azhar Mesir

Siapa sangka rezim otoriter dan despotik di Tunisia tumbang secepat kilat. Bahkan, dinas intelijen Prancis-negara yang dulunya menjajah Tunisia-ini sama sekali tak menduga dan merasa kecolongan. Setelah 23 tahun berkuasa, rezim Presiden Zein Abidin Ben Ali pun runtuh oleh gerakan rakyat. Bersama keluarganya, Ben Ali kabur ke Jeddah, Arab Saudi.

Presiden Husni Mubarak yang telah memimpin Mesir selama 30 tahun pun kini tengah menghadapi ancaman itu. Gerakan massa dalam sepekan lebih dan dihadapi secara represif oleh polisi dan tentara, telah merenggut sedikitnya 102 nyawa manusia, ribuan lainnya luka-luka. Revolusi berdarah ini tampaknya akan terus berlanjut sampai tuntutan mundur Mubarak terpenuhi.

Kompleksitas Masalah
Sebenarnya gejolak di Mesir tak jauh-jauh dari urusan perut, yakni bagaimana rakyat bisa makan dengan layak, hidup dengan sandang dan papan yang tak usah bagus, tapi cukup layak. Hanya saja, mungkin karena terlalu lama berkuasa sehingga Mubarak lupa, terninabobokan oleh nikmatnya kekuasaan. Ia layani dan biarkan keluarga dan kroninya memperkaya diri, menguasai sentra-sentra ekonomi. Di sudut lain ia lupakan dan kebiri kepercayaan amanah rakyat. Rakyat yang seharusnya dia sejahterakan dan perhatikan, justru tak diurus dengan semestinya.

Rakyat semakin terhimpit dalam kehidupan mereka. Tingkat kemiskinan dan pengangguran yang sangat tinggi dampak dari melambungnya harga-harga komoditas yang setiap tahun naik. Rakyat semakin susah makan karena tak punya cukup uang membeli roti, makanan utama mereka. Rezim Mubarak gagal menangkap isyarat telanjang ini. Rakyat pun yang sudah lama bersabar (dan terpaksa bersabar karena sistem politik yang despotik, adanya undang-undang security act yang bebas menangkap siapa saja tanpa proses hukum), kini meletupkan amarahnya dalam bentuk aksi jalanan. Revolusi massa berdarah pun tak terelakkan lagi.

Revolusi ini mengingatkan kita pada apa yang disebut 'Revolusi Roti' yang terjadi pada tahun 1977 di era Presiden Anwar Sadat. Masalahnya sepele saja, pemerintah menaikkan harga roti, makanan utama rakyat Mesir. Dirasa mahal dan tak terima oleh publik, rakyat pun turun ke jalan. Untungnya Sadat sadar, lalu menurunkan kembali harga roti. Memang di masa-masa setelah itu, termasuk di 10 tahun pertama Mubarak berkuasa, beberapa kali terjadi gejolak akibat kenaikan harga roti. Namun, pemerintah saat itu dapat segera mengatasi lalu menstabilkan harga seperti semula.

Sesungguhnya apa yang terjadi sekarang pun bisa dikatakan tak jauh dari urusan 'roti'. Rakyat susah makan, harga-harga yang melambung, ditambah pola hidup berfoya keluarga Mubarak dan para kroninya. Di beberapa negara, rezim penguasa tumbang juga lantaran urusan perut. Di Indonesia, rezim Soeharto tumbang dipicu krisis moneter yang berujung pada mahalnya komoditas sembako. Rakyat susah makan, muncul gejolak sosial dan akhirnya revolusi fisik. Yang paling mutakhir, di Tunisia, Presiden Ben Ali hancur juga karena pengangguran, kemiskinan, dan melonjaknya komoditas pangan. Rakyat sulit makan, meluaplah ke jalanan.

Jadi, kelihatannya sepele. Sabar pun ada batasnya. Satu, dua minggu mungkin perut bisa diajak kompromi. Tapi, jika sudah bulanan bahkan tahunan, perut pun tak bisa ditinggal diam. Rakyat selaku pemilik tertinggi mandat kekuasaan pun mencabut mandat yang telah diberikan berpuluh-puluh tahun meski dengan cara intimidasi dan sejenisnya. Rakyat punya cara sendiri mencabut mandatnya: revolusi di jalanan.

Kini, rakyat Mesir tengah berjuang menumbangkan rezim otoriter. Rakyat bersama segenap elemen, termasuk kalangan yang selama ini dikooptasi dan terpaksa tunduk kepada pemerintah, seperti institusi Al-Azhar, Dewan Ulama, dan kalangan pemikir pro-pemerintah, berpadu melawan rezim Mubarak. Mereka bersatu menyongsong era baru pasca Mubarak menuju era demokratisasi dan supremasi hukum yang sebenarnya. Bahkan, ulama sekaliber Yusuf Al-Qaradhawi dan pihak Dewan Ulama se-Dunia yang bermarkas di Kairo, menyebut korban meninggal dunia dalam aksi demo sebagai 'syuhada'.

AS dan Dunia Arab
Amerika Serikat tampaknya tak punya pilihan lain selain mendukung gerakan rakyat. Tentu dengan penuh risiko, jika Paman Sam konsisten dengan program demokratisasi di dunia ketiga, khususnya dunia Arab, pilihan itu harus diambil untuk menyelamatkan muka AS. Risiko mereka akan menghadapi tampilnya penguasa baru yang kemungkinan besar akan menyertakan kelompok Islam Ikhwanul Muslimin (IM) yang mereka musuhi dan otomatis akan berdampak pada masa depan proses perdamaian di Timur Tengah, khususnya Palestina-Israel. Di sisi lain, jika tak mendukung gerakan massa, AS akan dicap sebagai pengecut dan pengkhianat demokrasi dan HAM.

Sementara itu, Israel yang selama 30 tahun nyaman bertetangga dan bergaul dengan Mubarak, harus menata kembali sistem politik mereka menghadapi kekuasaan baru di Mesir pasca lengsernya Mubarak kelak. Jika IM benar-benar ikut tampil dalam kekuasaan, hal itu tamparan telak bagi Israel dan juga AS. Jika skenario ini terjadi, dunia Arab harus berbenah kembali: menata ulang dari awal perundingan damai dengan Israel, dan bagi rezim-rezim otoriter yang tersisa, seperti Yordania, Aljazair, Libya, Sudan, Suriah, dan Yaman, ini menjadi peringatan keras. Jika tak pandai menangkap isyarat jelas dari Mesir dan Tunisia, bukan tak mungkin akan mengalami hal serupa. Hanya menunggu waktu.

Bagi kita, dampak revolusi merembet ke Indonesia mungkin terlalu jauh. Selain kondisinya yang berbeda, stabilitas politik yang relatif aman dan gejolak sosial nyaris tidak ada, Pemerintahan SBY sekarang juga memiliki legitimasi yang kuat dari masyarakat.

Namun, pemerintah harus tetap bekerja keras agar program menyejahterakan rakyat tidak kendor di tengah jalan, dan tetap menjadi prioritas. Tak sekadar janji pemanis, tapi buktikan secara nyata. Bahwa pemimpin yang baik dan bijak lebih banyak bekerja untuk rakyatnya, lebih tahu diri kapan bicara dan kapan kerja, kapan memerintah dan kapan saatnya mundur. Inilah esensi demokrasi yang sedang kita gaungkan dan praktikkan di Indonesia modern kini.

Dunia Islam yang Masih Rapuh

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Allahlah yang Mahatahu bagaimana ujungnya nanti perjalanan dunia Islam ini, sekalipun Alquran memberikan dasar optimisme dalam menatap masa depan. Ayat 9 surah 15 (al-Hijr) menegaskan optimisme ini: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (Alquran) dan sesungguhnya Kami juga yang menjadi penjaganya." Artinya, Alquran dijaga oleh Allah dari segala bentuk manipulasi, perubahan, dan penyimpangan yang dilakukan manusia, maka Kitab Suci ini akan tetap menjadi sumber petunjuk bagi manusia sampai dunia ini berakhir.

Persoalan krusial yang terbentang di depan kita sekarang adalah fakta keras ini: mengapa umat Islam tidak terjaga dari proses kerapuhan, padahal mereka mengaku berpedoman kepada Alquran yang bebas dari segala kesalahan?

Artinya, jika Alquran dipahami dan dipedomani secara benar dan tulus, semestinya dunia Islam tidak perlu terlalu lama terkapar di depan arus sejarah yang bergulir tanpa henti. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi modern yang dahsyat sejak sekitar 300 tahun yang lalu, perguliran itu berlangsung dengan kecepatan sangat tinggi. Umat manusia yang tidak siap menghapinya pasti dilindasnya, tanpa menghiraukan apa pun suku bangsa dan agamanya. Atau, dalam ungkapan yang ekstrem, tidak peduli orang itu beragama atau tidak. Atau, dalam perspektif lain, siapa saja yang menentang hukum alam (natural law), atau melahirkan ilmu dan teknologi, maka pasti akan kedodoran.

Sekitar 30 tahun pasca diutusnya nabi, dunia Islam telah mencatat ekspansi yang spektakuler. Dan 70 tahun kemudian, Islam telah menjadi agama dunia yang hampir tak tertandingi. Jika mengamati laju gerak yang luar biasa ini, hati umat Islam pada umumnya berbunga-bunga, dan itu tidak salah. Tetapi, yang salah adalah jika sisi-sisi gelap yang menyertainya tidak dihiraukan atau sengaja ditutupi, sehingga orang mengidolakan masa silam, tanpa sikap kritikal.

Apa itu? Dari empat al-khulafa' al-rasyidun; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali (632-661), hanya Abu Bakar yang wafat secara wajar. Umar dibunuh oleh seorang Persi non-Muslim. Sedangkan Utsman dan Ali adalah korban berdarah politik kekuasaan sesama Muslim. Sekalipun pada era-era selanjutnya selama 500 tahun, dunia Islam telah menggapai puncak-puncak peradaban duniawi melalui ekspansi kekuasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sisi-sisi busuk dalam bentuk perebutan kekuasaan antara sesama Muslim tidak pernah berhenti. Di bawah sistem dinastik pasca al-khulafa' al-rasyidun, pertumpahan darah itu sampai hari ini tampaknya semakin tidak dapat dibendung.

Contoh terbaru adalah Tunisia, sebuah bangsa Muslim. Presiden Tunisia Zine El Abidin Ben Ali (dalam bahasa Arab Zain al-Ă‚bidin bin Ali) setelah berkuasa selama 23 tahun dipaksa meninggalkan negerinya dalam keadaan kacau pada 15 Januari 2011 untuk kemudian mengungsi di Arab Saudi. Ternyata pendapatan per kepala sebesar 7.000 dolar AS tidak dapat menolong negeri itu dari prahara politik, karena kesenjangan sosio-ekonomi di sana cukup tajam. Dan jangan lupa, penguasanya korup dan hidup dalam kemewahan.

Gaungan prahara tersebut kini sedang menjalar hampir ke seluruh negeri Arab, baik yang berada di Afrika maupun yang terletak di Asia Barat. Kita tidak tahu sampai di mana nanti pengaruh prahara ini di berbagai kawasan di sana. Yang jelas, Mesir di bawah Presiden Husni Mubarak yang otoritarian sedang diguncang oleh rakyatnya sendiri. Mereka sudah letih bergelut dalam kemiskinan dan ketidakbebasan di bawah kekuasaan seorang 'Firaun' yang bersyahadat.

Anda tentu kecewa berat dengan ketidakmampuan Universitas al-Azhar di Kairo yang berusia lebih dari 1.000 tahun itu untuk mengingatkan penuguasa bagi tegaknya keadilan, khususnya bagi golongan miskin yang sudah lama menderita. Husni Mubarak mungkin sudah terlambat untuk menenangkan rakyatnya agar tidak bergolak. Dalam pada itu Amerika Serikat yang mendukung Mubarak, demi Israel, pastilah tidak akan mampu menyelamatkan rezim ini jika rakyat Mesir memang sudah muak dengan keadaan.

Akhirnya, orang boleh menyalahkan pihak asing sebagai penyebab kerapuhan dunia Islam, seperti telah terjadi sebelumnya di Afghanistan dan Irak. Sekarang Sudan pun telah terbelah. Tetapi bagi saya, kekuasaan asing berhasil masuk untuk mengeksploitasi dunia Islam tidak lain karena proses pembusukan domestik telah berlangsung lama di bawah rezim-rezim despotik yang tunamoral.

Semoga kita mau belajar dari pengalaman hitam dan pahit ini. Optimisme Alquran tidak mungkin menjadi kenyataan jika kita tetap saja bertualang dalam format Islam yang lain, bukan Islam profetik.

Sabtu, 29 Januari 2011

Politik Mobil Kijang

Taufiqurrahman Ruki
Anggota BPK

Apakah Anda masih ingat dengan iklan mobil kijang yang pernah tersohor beberapa tahun yang lalu? Mari kita ingat bagaimana si anak berkata dengan riang: "Ada bapak, ibu, teteh, uwak, bibi, cukup untuk semua." Dalam iklan itu, mobil kijang menasbihkan dirinya sebagai kendaraan serbaguna yang cocok untuk keluarga besar yang umum di Indonesia.

Zaman terus bergulir. Orde Baru pun sudah hampir 13 tahun tumbang. Demokrasi di zaman reformasi menjadi nilai dasar yang menggelora di setiap sudut negeri ini. Namun, perjalanan demokrasi di negeri kita berjalan tidak pada track-nya karena terdistorsi oleh pragmatisme dan keserakahan.

Dinasti politik
Seharusnya, demokrasi sesuai hakikatnya merupakan sistem yang menghormati hak-hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam politik. Tapi, apa yang terjadi dengan performa kita hari-hari ini? Politik di negeri kita layaknya sebuah mobil kijang, semua anggota keluarga, mulai dari ayah, ibu, tante, kakak, adik, menantu secara bersama-sama masuk ke dalam dunia politik tanpa mempertimbangkan kepatutan dan kelayakan, apalagi kompetensi.

Pada akhirnya, demokrasi bangsa ini yang seharusnya merupakan bentuk pemerintahan untuk kepentingan rakyat dan oleh rakyat telah dibajak oleh segelintir orang. Mungkin orang tadi terinspirasi oleh iklan mobil tersebut atau memang sudah tabiat dasar orang-orang ini yang membungkus ambisi kekuasaan dengan dalih demokrasi.

Dengan bekal jabatan yang dimiliki, mereka memberi akses yang optimal kepada keluarga besarnya untuk masuk ke dalam dunia politik. Mereka meng-endorse keluarga besarnya untuk mengisi jabatan politik yang tersedia. Lihat saja kursi-kursi jabatan politik, mulai dari DPR/DPD/DPRD, gubernur, wakil gubernur, bupati/wali kota, hingga wakil bupati/wakil wali kota, banyak diduduki oleh orang-orang yang memiliki ikatan kekeluargaan.

Jika istri menjadi gubernur, suami atau anggota lainnya semuanya di-endorse dan difasilitasi untuk menduduki jabatan politik (publik) yang berada dalam domain kekuasaan dan pengaruhnya. Masalah kemampuan tidak penting. Yang terpenting terpilih dalam proses pemilihan yang legal walaupun proses pemilihannya dilaksanakan dengan praktik-praktik yang tidak fair, seperti penggunaan fasilitas pemerintah, jaringan birokrasi, dan keuangan pemerintah untuk pemenangan kerabatnya tersebut.

Demokrasi minus etika
Gejala yang sama dilakukan di lingkungan partai politik. Seorang ketua umum, pembina, atau pendiri dan petinggi partai berusaha menempatkan anggota keluarganya dalam jajaran elite pengurus partai sebagai persiapan regenerasi.

Dalam dinasti politik, sistem rekrutmen politik yang berdasarkan kekerabatan dapat kita lihat dari penyusunan daftar calon legislatif (caleg) di pemilu legislatif. Partai akan mengakomodasi kepentingan petinggi maupun elite partai dengan cara memasukkan nama anggota keluarganya di daftar caleg DPR, DPD, dan DPRD.

Bahkan, sampai-sampai seorang gubernur akan meng-endorse anak atau adiknya untuk menduduki jabatan bupati/wali kota. Tidak sedikit pula bupati/wali kota yang meng-endorse istrinya atau anaknya untuk menjadi pewarisnya sebelum yang bersangkutan mengakhiri jabatannya.

Adakah yang salah dengan pola rekrutmen politik seperti itu? Tidak ada yang salah. Karena secara formal, prosesnya dipilih melalui pemilu yang sah. Dan bukankah semua orang memiliki hak yang sama? Setiap partai tentu akan dengan senang hati menempatkan anggota keluarga pimpinan partai karena popularitas dan kekuasaan dari figur pimpinan partai tersebut diharapkan dapat mendongkrak perolehan partai tersebut.

Akan tetapi, mekanisme rekrutmen politik dengan cara "politik mobil kijang" ini berbahaya bagi proses demokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih serta pengelolaan pemerintahan yang baik (clean government and good government) dan bersih atau bebas dari praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Ada kelemahan dalam "politik mobil kijang". Pertama, dinasti politik akan mempersempit kesempatan bagi kader-kader lain yang memiliki kualitas dan memulai kariernya dari bawah. Dengan dinasti politik ini, setiap orang justru tidak memiliki hak yang setara. Kedua, dinasti politik lebih mengandalkan kekerabatan dibanding kemampuan (capability) dan integritas (integrity) calon.

Partai politik memang harus memiliki figur yang dapat dijadikan ikon serta persatu bagi anggota partainya, tetapi elite politik hendaknya menyadari bahwa tidak semua anak tokoh politik memiliki kapasitas yang sama dengan orang tuanya ataupun kakeknya. Ketiga, anggota keluarga petinggi partai atau pejabat publik belum tentu teruji kemampuan dan integritasnya sehingga pemilih seperti memilih kucing dalam karung (kucingnya sehat atau penyakitan), kita cuma diberi tahu bahwa jenis kucing ini keturunan "kucing persia". Keempat, dengan adanya ikatan kekerabatan antara pimpinan partai politik, pejabat publik, dan pejabat legislatif, prinsip-prinsip check and balances yang menjadi syarat bagi demokrasi yang sehat sulit tercapai.

Saya mencoba menilai ulang konsep mobil kijang itu. Sebesar-besarnya mobil kijang, pasti ada keterbatasan jumlah untuk memuat anggota keluarga. Dan polisi pun akan menilangnya kalau mobil tersebut kelebihan muatan. Namun, dalam demokrasi "politik mobil kijang" (dinasti politik) seolah menjadi tidak ada batasnya karena ingin memuat seluruh kerabat.

Saya berpikir, apakah mereka membangun "dinasti politik" dengan orientasi untuk membangun negeri ini agar menjadi lebih baik, atau semata-mata berorientasi pada kekuasaan demi melanggengkan kepentingan keluarganya.

Demokrasikah yang sedang kita bangun ini atau oligarki yang bermantel demokrasi. Sudah sampai pada waktunya kita menyadari bahwa apabila dinasti politik dibiarkan, tinggal tunggu saatnya otoritarianisme akan kembali menguasai negeri kita tercinta ini.

Merajut Sinergi Universitas Islam

Oleh Hamid Fahmy Zarkasyi
Direktur INSIST

Dalam konferensi pertama pendidikan Islam se-Dunia di Makkah tahun 1977 dan yang kedua di Islamabad tahun 1980, Profesor Naquib al-Attas menyampaikan pandangannya bahwa problem utama umat Islam adalah ilmu pengetahuan. Untuk menyelesaikan masalah itu, umat Islam perlu menyusun kembali konsep keilmuan Islam yang mengarah pada pembentukan universitas Islam, yaitu universitas yang struktur, epistemologi, dan teologinya berbeda dari universitas Barat sekuler.

Ide itu disambut baik dunia Islam. Pada 80-an, berdirilah Universitas Islam Internasional di Islamabad (Pakistan) dan Malaysia. Di situ, upaya untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan Islam dan Barat dilakukan secara institusional. Upaya ini dikenal juga dengan istilah Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Namun, karena masalah sumber daya manusia dan berbagai persoalan internal yang menggelayuti umat Islam, proyek ini belum memenuhi harapan dan bahkan ditentang.

Tampaknya, masih dalam upaya yang sama ketika Liga Universitas Islam, Mesir, bekerja sama dengan Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor, menyelenggarakan Konferensi Internasional. Konferensi yang diadakan pada 9-11 Januari 2011 yang lalu itu bertema "Membangun tradisi ilmiah dengan universitas-universitas Asia". Maksudnya adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan di universitas-universitas Islam dengan cara kerja sama dengan berbagai pihak, khususnya dengan universitas-universitas di Asia.

Konferensi yang dihadiri 200 akademisi termasuk 15 rektor universitas di negara-negara Arab, 15 rektor dari universitas di Indonesia dan Malaysia itu membahas tiga topik utama. Pertama, tentang sejarah kebangkitan, pengaruh, dan peran universitas Islam masa kini; kedua, tentang pengalaman dalam pengembangan universitas dalam berbagai hal, dan ketiga, model pengembangan keilmuan di universitas Islam, termasuk pada masing-masing topik ini pengalaman kerja sama.

Pembahasan yang paling menonjol adalah tentang sejarah dan peran universitas al-Azhar di Mesir dalam dunia Islam. Peran universitas yang berumur 1000 tahun lebih itu di dunia Islam cukup besar. Sebab, kini sebanyak 36 ribu mahasiswa dari 102 negara asing sedang belajar di sana.

Kedua, tentang pengalaman universitas Islam masa kini dalam pengembangan berbagai aspek pendidikan tinggi. Di antara pembahasan yang menarik adalah tentang pengembangan ekonomi Islam. Pengalaman pengembangan ekonomi oleh Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI) Saleh Kamil, Mesir, dan pengembangan entrepreneurship di Universitas Brawijaya cukup menarik.

Kini, PSEI telah mengoleksi 2500 makalah tentang ekonomi Islam yang terus akan dikembangkan. Sejak tahun 2009, PSEI sedang menyusun buku teks tentang ekonomi Islam dari berbagai aspeknya, sementara keberhasilan Unibraw dalam pengembangan mental enterpreneurship kepada mahasiswanya penting untuk diadopsi bagi pengembangan ekonomi Islam. Namun, wacana untuk mendialogkan keduanya masih belum maksimal.

Topik ketiga adalah tentang model-model pengembangan riset dan kajian sains dan ilmu humaniora di universitas Islam. Di sini pengalaman Unair dan Gadjah Mada dalam pengembangan sains, meskipun murni sains, cukup penting sebagai objek pembelajaran bagi universitas Islam.

Apa yang tersirat dari topik pembahasan ketiga ini sebenarnya adalah suatu kerja besar, yaitu proses yang disebut asimilasi atau integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Masalah yang dihadapi adalah masih banyaknya cendekiawan Muslim yang tidak sepakat karena percaya bahwa ilmu itu netral alias bebas nilai. Karena itu, semua ilmu dianggap Islami dan tidak perlu Islamisasi. Sebaliknya, mereka justru melihat Islam itu perlu diilmukan.

Sekurangnya terdapat dua masalah mendasar: pertama, kelambatan universitas Islam dalam mengembangkan epistemologi dan sains Islam. Ini disebabkan oleh terputusnya cendekiawan Muslim dengan tradisi intelektual Islam dan terlalu menekankan pada ilmu-ilmu naqliyyah dan sedikit mengkaji kembali ulum 'aqliyyah; kedua, lemahnya penguasaan cendekiawan Muslim tentang sains dan epistemologi Barat. Akibatnya adalah sikap apriori atau apresiasi terhadap Barat secara berlebihan sehingga tidak dapat mengambil manfaat dari Barat secara cerdas.

Karena itu, kini di beberapa universitas Islam kajian sains dan ilmu humaniora baru pada tahap disandingkan dengan studi Islam atau hapalan Alquran. Upaya lebih akademik untuk membangun struktur keilmuan Islam dengan basis epistemologi, metodologi penelitian, dan teori-teori baru penelitian yang berdasarkan konsep-konsep Islam dapat dikatakan masih sangat minim untuk tidak mengatakan tidak ada. Apalagi upaya untuk mengkaji secara kritis struktur keilmuan Barat sekuler untuk dapat mengadopsi ke dalam struktur konsep keilmuan Islam masih sangat langka.

Mungkin baru pada disiplin ilmu ekonomi umat Islam menyadari adanya teori, asumsi, dan metodologi yang tidak sesuai dengan Islam. Padahal, disiplin ilmu lain juga banyak mengandung teori, asumsi, dan metodologi yang tidak Islami. Jika kesadaran ini dimiliki cendekiawan Muslim, tentu akan tampak jalan panjang untuk mengembangkan konsep sains Islam, sosiologi Islam, politik Islam dan filsafat Islam, pendidikan Islam, mulitmedia, dan komunikasi Islam dan sebagainya.

Namun, untuk itu, diperlukan kerja sama sinergis antara cendekiawan Muslim pakar di bidang studi Islam dan bidang sains Barat. Pengalaman kerja sama Universitas Gadjah Mada dengan universitas di Mesir adalah permulaan yang baik dan dapat dikembangkan di masa depan. Demikian pula pengalaman kerja sama UIN Alauddin Makassar, UIN Malang dengan berbagai universitas di Timur maupun di Barat merupakan pelajaran menarik. Namun, persoalannya apakah kerja sama itu memberi kontribusi pada proses pembangunan konsep-konsep keilmuan Islam?

Isu penting lainnya adalah bagaimana model studi Islam pada fakultas sains dan humaniora ditingkat universitas. Proposal menarik diajukan oleh Alparslan Acikgence dari Turki. Menurutnya, model studi Islam harus disusun mengikuti pola pembentukan worldview dalam diri seseorang. Bermula dari keyakinan dasar di tingkat sekolah hingga menjadi bersifat saintifik ditingkat universitas. Jadi, yang mestinya diajarkan pada fakultas-fakultas sains dan humaniora bukan lagi soal akidah, syariah, dan akhlak. Tapi, harus bidang ilmu yang relevan dengan fakultas dan program studi yang ditekuni mahasiswa sesuai dengan worldview mereka.

Lagi-lagi, di sini kerja sama sinergis antara cendekiawan Muslim bidang sains dan humaniora mutlak diperlukan. Tujuannya adalah menciptakan berbagai disiplin ilmu yang berbasis worldview Islam dan melahirkan ulama yang saintis yang menjadi rahmatan lil alamin. Inilah yang diimpikan oleh al-Attas pada kurang lebih empat dasawarsa yang lalu dan kini sedang ditunggu oleh masyarakat luas. Wallahu a'lam.

Riuhnya Demokrasi Kita

Muhaimin Iskandar
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa

Demokrasi kita telah membuka lebar-lebar pintu bagi segala aspirasi. Aspirasi yang mendukung ataupun mengkritik pemerintah semuanya diberi tempat. Meskipun terkadang timbul gesekan-gesekan, berkat upaya pemerintah, kalangan agama, tokoh masyarakat, dan berbagai kalangan lainnya, tidak muncul gejolak yang meluas dan merugikan kita semua sebagai bangsa. Rakyat Indonesia semakin dewasa dan rasional dalam menilai tiap-tiap peristiwa yang terjadi.

Kritik soal kebohongan yang disampaikan oleh sejumlah tokoh agama belum lama ini pun disikapi demikian. Meskipun substansi kritik terasa sedikit menohok, bagi pemerintah, hal ini tetap dianggap sebagai masukan. Bagi pemerintah, apa yang melatarbelakangi munculnya kritik tersebut tidaklah esensial. Kami percaya para tokoh agama memiliki niat yang baik. Jika pun ada motivasi politik di balik ini semua, biarlah publik menilainya sendiri.

Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa kritik dan polemik kebohongan ini akan menimbulkan pro kontra dan membelah masyarakat menjadi dua kubu, juga tidak perlu dibesar-besarkan. Sudah 12 tahun sejak reformasi pertama bergulir. Upaya kita dalam menemukan format demokrasi yang tepat serta penguatan institusi demokrasi,-suka tidak suka,-mensyaratkan adanya partsipasi poltik yang aktif dari warga, termasuk para tokoh agama. Bagi pemerintah, partisipasi aktif ini menunjukkan bahwa berbagai upaya demokratisasi yang kita lakukan telah menunjukkan hasil meskipun belum sempurna.

Dalam menanggapi kritik dan masukan itu, pemerintah niscaya lebih memfokuskan diri pada substansinya. Substansi inilah yang memandu pemerintah dalam menentukan kritik dan masukan, mana yang dapat ditempatkan sebagai prioritas untuk dielaborasi dan diaplikasi lebih jauh, dan mana yang sekunder sifatnya. Kritik yang bersifat konstruktif dan menawarkan pilihan solusi akan jauh lebih efektif dampaknya dalam mengubah keadaan, dibanding kritik yang emosional dan menyerang pribadi-pribadi.

Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke-16, memiliki seperangkat pilihan cara jitu menanggapi kritik. Saat menjabat, ia berupaya keras menghapuskan perbudakan di AS. Upaya ini mendapat hadangan sengit dari politisi konservatif. Bukan hanya kritik, melainkan juga penghinaan terhadap pribadi Lincoln.

Menanggapi penghinaan ini, Lincoln memiliki sejumlah cara untuk menanggapi. Pertama, ia menganggapnya "remeh" jika kritik ini terbukti lebih merupakan fitnah dan manipulasi. Kedua, ia menanggapi dengan serius dan segera bekerja untuk sebuah perbaikan. Ketiga, Lincoln melampiaskan kemarahannya terhadap tekanan kritik dengan menulis, berbicara panjang lebar kepada orang-orang kepercayaan di sekelilingnya. Dan keempat, Lincoln hanya menghela napas, berdoa dan berharap diberi kekuatan untuk melanjutkan apa yang telah ia mulai serta bersikap optimistis.

Seperti Lincoln, pada umumnya pemerintah berusaha menempatkan dan menanggapi kritik secara proporsional. Dalam beberapa kasus, pemerintah bersikap pasif dan memilih tidak berkomentar terhadap 'serangan" tertentu. Sikap low profile pemerintah ini kemudian dinilai sebagai sikap 'tutup kuping" atau 'bisu tuli' terhadap kritik. Alangkah kelirunya pemikiran ini. Pemerintah, kementerian, dan jajarannya memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang sangat luas dan berat, yang membutuhkan konsentrasi kerja yang tinggi. Sayang sekali jika energi terbuang untuk menanggapi kritik-kritik yang tidak substansial dan tanpa bukti.

Perlu dicatat bahwa pemerintah tidak pernah tergoda untuk meringkus demokratisasi dan hak rakyat untuk menyampaikan ekspresi politik. Tentu dengan catatan ekspresi itu disampaikan dengan cara yang baik dan konstitusional.

Meskipun demikian, alam demokrasi dan keterbukaan pers yang sangat meriah saat ini selalu memberikan sejumlah konsekuensi lain. Keengganan pemerintah dalam menanggapi sejumlah kritik oleh para 'kritikus ulung' justru bisa diartikan sebagai 'ketakutan' pemerintah untuk berhadapan dengan publik. Di sisi lain, sikap responsif pemerintah dalam menanggapi sebuah kritik, malah bisa disimpulkan sebagai sikap 'tipis kuping' dan tidak tahan kritikan.

Pola-pola pemikiran semacam ini tidak membawa pembangunan kita bergerak maju, tetap saja jalan di tempat. Telah dan akan banyak sekali energi kita terbuang karena selalu terkondisikan dalam suasana negatif. Dalam suasana apa pun, pemerintah pasti akan berjalan terus dengan program-programnya yang telah disusun karena merupakan amanat rakyat dan undang-undang.

Di sisi lain, saya prihatin dengan sebagian kalangan masyarakat sipil, agamawan, jurnalis, dan tokoh-tokoh masyarakat yang justru membatasi diri dan potensinya untuk turut terlibat dalam proses perbaikan. Dengan semata memfokuskan perhatian pada sisi-sisi yang dipandang negatif dari pemerintah, keluasan peran dan fungsinya menjadi terbatas, tersendat, terpotong. Fungsi sebagai pressure group jelas tetap sangat dibutuhkan.

Bukankah dunia sosial politik, pada dasarnya adalah soal mengatur dan menjaga hubungan antarmanusia berdasarkan kepentingan yang berbeda-beda?
Pemerintah meyakini bahwa seluruh gelora dan gejolak ini berangkat pada pijakan yang sesungguhnya sama: kecintaan kepada republik dan rakyatnya. Maka itu, membungkam kritikan dari sesama anak bangsa belum pernah menjadi opsi pemerintah. Dalam menyikapi semua keriuhan ini, sebagai pemegang kekuasaan, pemerintah bertekad untuk tetap optimistis, terlepas dari sikap skeptis dan pesimistis berbagai kalangan.

Saya mengajak semua pihak untuk bergandengan tangan dan merapatkan kembali barisan kita sebagai sebuah bangsa. Globalisasi ekonomi saat ini berisikan bukan hanya peluang dan harapan, namun juga ancaman dan bahkan, bahaya. Terlepas dari segala kritik dan protes, pemerintah berbesar hati untuk mengajak kembali semua pihak bergotong-royong.

Senyum Pak SBY

Oleh Zaim Uchrowi

Sudah lama Presiden kita tak tersenyum. Tugas berat memang membuat otot pipi susah menarik bibir. Apalagi persoalan demi persoalan datang seperti tak mau jeda. Kemajuan di sana-sini terlihat jelas. Akan tetapi, banyaknya rakyat susah memang akan selalu mengusik perasaan. Kapan kehidupan rakyat bawah akan benar-benar terangkat? Pemimpin yang baik akan selalu memikirkan beban itu.

Pak SBY, Presiden kita, sudah mencoba untuk tak terjebak realitas tadi. Persoalan tak akan terselesaikan dengan mengernyitkan kening. Sebaliknya, tersenyum sering dapat membantu mengatasi masalah. Ilham acap datang ketika hati tersenyum, di tengah keadaan serumit apa pun. Untuk dapat membuat hati tersenyum, biasanya perlu dipancing dengan senyum bibir. Pak SBY tahu itu.

Ada cara-cara yang biasa dilakukan Pak Presiden buat memecahkan beban hati. Saat kunjungan, kadang Pak SBY meluangkan waktu buat menikmati suasana alam. Foto Pak SBY duduk di kursi menikmati pagi berkabut di perkebunan kopi di Jawa Tengah sulit terhapus dalam ingatan banyak orang. Foto itu bukan cuma indah. Foto itu juga memancarkan nuansa tenteram dan sejahtera yang sangat kuat. Suasana yang sungguh kita harapkan ada pada diri Pak SBY, dan tentu juga seluruh masyarakat.

Cara lain melepas penat Pak SBY adalah menyanyi dan bermusik. Beberapa kali ditayangkan televisi, Pak SBY menyanyi bersama 'grupnya'. Di antaranya dengan Heru Lelono, salah seorang staf terdekatnya yang dikaitkan dengan 'bensin air' blue water dan padi hebat supertoy. Terobosan yang dinilai membohongi publik itu. Ekspresi Pak SBY tampak lepas saat menyanyi. Hal yang memang semestinya demikian. Mungkin belakangan ini beliau makin tak punya waktu untuk bermusik.

Toh, di tengah beban berat, Pak SBY tak kehilangan selera humor. Di antaranya dengan berseloroh di hadapan orang-orang dekatnya. Saat suasana hati sedang nyaman, ketika memberi pidato sambutan pun Pak Presiden acap menyisipkan canda. Pak SBY cukup pandai untuk keluar dari pidato normatif. Bagi yang biasa mengikutinya, seloroh Pak Presiden soal gaji adalah soal biasa. Faktanya, memang gaji presiden sudah tujuh tahun tak naik. Dalam kehidupan ekonomi rumah tangga presiden, nilai gaji itu juga tak berarti sama sekali.

Celakanya, masyarakat kita masyarakat unik. Penanaman budaya feodalistik yang dilakukan penjajah benar-benar meresap. Dalam budaya feodalistik, menjadi pamong praja yang digaji merupakan impian. Sebagian besar rakyat menginginkan menjadi orang yang digaji. Beda dengan rakyat Cina yang lebih memimpikan bisa menggaji diri sendiri. Di negeri ini, gaji menjadi isu sensitif. Itu yang menghambat sistem gaji pemerintahan tak dapat dikembangkan ke standar profesional.

Pada saat yang sama, sebagian masyarakat kita juga begitu gandrung pada politik (model kuno). Sebuah kegandrungan yang dapat dimengerti. Politik (model kuno) saat ini terbukti menjadi jalan paling efektif buat melesatkan kekayaan diri. Banyak orang ingin 'basah', maka banyak orang menggarap politik. Gaji merupakan isu menarik buat dipolitikkan. Apalagi dikaitkan dengan presiden. Tak peduli itu hanya seloroh. Lalu, digarisbawahi bahwa seolah tidak pantas presiden berseloroh soal gaji di tengah kemiskinan masyarakat.

"Lelucon yang tidak lucu," kata Pak Achmad Mubarok, sesepuh Partai Demokrat, menanggapi gerakan 'Koin Presiden' untuk mengejek Pak SBY. Pak Mubarok benar. Bukan bangsa baik yang suka mengejek pemimpinnya sendiri, apa pun kekurangan yang dimiliki sang pemimpin. Selain itu, seluruh bangsa ini juga sudah saatnya membicarakan terbuka gaji pegawai publik. Sistem gaji pemerintah saat ini merupakan produk budaya hipokrit bangsa.

Secara formal, gaji ditetapkan sangat rendah untuk menghindari kecemburuan rakyat feodalistik kita yang bermimpi digaji. Penghasilan yang berlipat kali lebih besar diperoleh dari skema di luar gaji. Mempertahankan sistem penggajian sekarang sama halnya mengukuhkan kehipokritan bangsa ini.

Sekarang saat kita membangun era baru. Sekarang saat kaidah profesional makin intensif untuk disuntikkan ke tubuh bangsa ini. Untuk ukuran sekarang, gaji presiden Rp 10 miliar dan gaji menteri Rp 2 miliar sebulan sama sekali tidak berlebihan. Itu masih harus dipotong pajak. Berbagai uang lain-lain, seperti 'uang rapat', 'uang perjalanan dinas', dan 'honor panitia' harus dihapus dari sistem birokrasi. Memang banyak yang belum siap dengan format itu. Namun, kita berharap, Pak SBY berani membuat keputusan itu pada akhir masa jabatannya nanti, buat mewariskan pemerintahan masa depan yang benar-benar profesional.

Kehipokritan bangsa yang menghambat maju selama ini harus dikurangi. Di antaranya melalui transformasi sistem gaji tadi. Itu perlu dibicarakan terbuka dengan tersenyum. Senyum selalu meringankan buat mengatasi masalah. Maka, kita berharap Pak SBY pun tersenyum seperti dulu. Walaupun mungkin senyumnya belum bisa lepas. Banyak warga masih sulit tersenyum. Kita berharap suatu hari nanti senyum Pak SBY benar-benar lepas karena seluruh warga sudah tersenyum.