Selasa, 12 Juli 2011

Sejarah Para Khalifah: Abdul Azis, Korban Konspirasi Eropa

REPUBLIKA.CO.ID, Abdul Azis adalah Sultan Turki Utsmani yang memerintah antara 1861-1876. Ia lahir 1830, menduduki tahta 1861, dan dicopot dari kedudukan 1876. Empat hari setelah pencopotannya, ia meninggal dunia. Banyak sejarawan yakin bahwa ia mati syahid setelah anggota Turki Muda mengatur persekongkolan untuk membunuhnya dan mengumumkan kematiannya.

Abdul Azis naik tahta menggantikan saudaranya, Abdul Majid I, pada akhir 1277 H. Pada masa pemerintahannya, meledak revolusi di kepulauan Kreta. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan 1283 H/1863 M. Setelah itu, Terusan Suez berhasil ditaklukkan pada 1285 H/1869 M.

Pada awal masa pemerintahannya, muncul sebuah majalah hukum dan keadilan serta undang-undang perdagangan dan bisnis lautan. Dia melakukan kunjungan ke Eropa dan berpikir untuk mengambil manfaat dari adanya konflik yang terjadi di antara negara-negara Eropa. Namun ternyata yang didapatkannya, negara-negara Eropa itu sepakat menyatakan permusuhan terhadap pemerintahan Utsmani karena ia adalah negara Islam.

Sultan Abdul Azis menyatakan keinginan kuatnya untuk melanjutkan jalan yang telah ditempuh oleh ayahnya, Mahmud II, dan saudaranya, Abdul Majid I. Dia tetap memakai orang-orang yang mendapat tugas untuk melanjutkan program reformasi di masa sebelumnya. Di antara reformasi paling penting yang dia lakukan adalah perubahan di bidang administrasi, yang ditandai dengan dikeluarkannya undang-undang keprovinsian pada 1281 M/1864 M.

Disamping itu, ia juga membentuk Mahkamah Tinggi Kehakiman. Pada 1285 H/1868 M, ia membentuk majelis negara serupa dengan yang ada di Prancis, yang kemudian disebut dengan Syuwari Daulah atau Majelis Syura Negara. Di antara tugas pentingnya adalah membicarakan anggaran negara.

Sultan Abdul Azis menolak undang-undang Barat secara keseluruhan. Demikian pula dengan tradisi-tradisi Barat yang sangat jauh dari tradisi Islam. Ia juga berhasil melakukan perbaikan dalam pemerintahan Utsmani dalam skala besar, khususnya di bidang militer.

Dia berhasil membangun militer yang kuat, mengganti persenjataan yang lama dengan yang baru. Ia juga mengimpor senjata yang dibutuhkan dari pabrik yang paling baik di Eropa. Selain itu, Abdul Azis juga berhasil melakukan reorganisasi militer dengan sistem modern dan membentuk kelompok-kelompok militer di setiap wilayah.

Ia juga berhasil mempersenjatai benteng-benteng dengan senjata berat dan meriam-meriam terbaru sehingga menjadikan meriam-meriam Utsmani contoh dalam kemajuan. Pada saat yang sama, Sultan Abdul Azis melakukan perbaikan dalam bidang kelautan dan menempatkan para ahli dan pakar Utsmani menggantikan pakar asing, walaupun mendapat tentangan dari mereka.

Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Utsmani menjadi negara maritim paling utama di dunia. Angkatan Daratnya meningkat hingga 700.000 pasukan dengan sistem dan persenjataan terbaru pada saat itu. Ia juga membangun sejumlah sekolah penting, seperti sekolah pertambangan, sekolah pertanahan dan sekolah tinggi militer.

Sultan juga melakukan restrukturisasi ekonomi dan mengatur belanja negara dengan baik dan transparan. Dengan demikian, maka lunaslah hutang pemerintah Utsmani, dan menjadikan keuangan negara dalam keadaan stabil. Negara-negara Eropa tercengang melihat apa yang dilakukan oleh sultan dalam waktu yang sangat singkat ini. Mereka pun segera menebar kerikil-kerikil tajam untuk menghalangi langkah-langkah dan rencananya.

Akar-akar konspirasi pembunuhan terhadap Sultan Abdul Azis dilakukan cara yang seksama dan sangat terencana oleh konsulat dan diplomat-diplomat Eropa. Mereka berusaha merealisasikannya melalui antek-antek yang telah kenyang menyerap pemikiran Eropa.

Medhat Pasya, salah seorang pejabat Utsmani, secara terang-terangan mengaku saat diadili bahwa dirinya teribat dalam konspirasi pencopotan Sultan Abdul Azis dari kedudukannya. Peristiwa ini sangat terkenal dalam sejarah dan dicatat dalam sejumlah dokumen.

Sabtu, 02 April 2011

Petualangan Imperialisme Barat Masih Berlanjut

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sebenarnya, rakyat di dunia Islam ingin sekali agar penguasa-penguasa korup dan ganas di negaranya masing-masing pada tumbang. Rakyatnya diberi kebebasan sebagai manusia penuh, bukan setengah budak, sebagaimana masih terlihat di beberapa negara Arab. Dipicu oleh drama Tunisia, menjalar ke Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, Suriah, Yordan, dan lain-lain, adalah pertanda peringatan keras kepada penguasa mereka: stop kekuasaan korupmu!

Perjuangan untuk merebut kebebasan ini harus dibayar mahal oleh rakyat di kawasan itu. Kita tidak tahu persis berapa ribu yang telah menjadi mayat, demi kebebasan dan keadilan. Sementara itu, sebagian besar penguasanya masih saja merasa benar di jalan yang sesat itu. Di Tunisia dan Mesir, perjuangan pro-demokrasi itu relatif berhasil, penguasa otoritariannya telah tersingkir.

Namun, di negara-negara selain yang dua itu, perlawanan rakyat masih membara, sedangkan penguasanya berdegil, tetap saja ingin bertahan, sekalipun dengan membunuh rakyatnya sendiri. Libya adalah yang paling dramatis. Negara yang kaya minyak itu sudah terbelah. Perang saudara telah meledak.

Tripoli tidak mau kompromi dengan kelompok perlawanan. Peluang ini dimanfaatkan Barat untuk melanjutkan petualangan imperialisme yang tidak pernah puas dan tidak pernah jera. Berlindung di balik Keputusan Dewan Keamanan PBB beberapa hari yang lalu yang menetapkan no fly zone (larangan terbang) bagi pesawat rezim Qadafi, Barat malah menggempur Libya.

Negara-negara Barat yang terlibat adalah Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Spanyol, Kanada, dibantu pula oleh beberapa negara Arab yang pro-Barat. Petanya menjadi semakin runyam. Rusia dan Cina yang memilih abstain dalam pemungutan suara dalam Dewan Keamanan, hanya bereaksi lunak atas bombardir Barat atas bumi Libya.

Tetapi Vladimir Putin, perdana menteri Rusia, menuduh Barat tengah mengulang Perang Salib yang dulu antara abad ke-11 sampai dengan abad ke-14 telah menempatkan Dunia Islam berhadapan dengan Eropa. Sekalipun di ujung peperangan yang sangat panjang itu, kekuatan Eropa akhirnya dapat diusir, dunia Islam juga telah babak belur, energi mereka terkuras habis. Semua infrastruktur masyarakat dan kebudayaan telah jadi puing. Perang Salib terjadi bersamaan dengan serangan Mongol dari arah Timur atas dunia Islam yang meluluhlantakkan Kota Baghdad pada 1258, pusat ilmu dan peradaban ketika itu.

Sekarang situasinya berbeda. Dunia Islam sama sekali tidak siap tempur. Peradaban mereka berada di titik nadir. Sekalipun Saddam Hussein (saat Perang Teluk) dan Qadafi misalnya berkoar-koar untuk mempertahankan inci demi inci bumi Tanah Airnya masing-masing, pasti pada akhirnya mereka tersungkur. Bukan semata-mata karena serangan Barat yang brutal dan imperialistik, tetapi juga rakyatnya sendiri telah lama muak menonton kelakuan penguasanya yang zalim.

Ajaibnya, Dunia Islam tak pernah belajar dari kelampauan yang sarat tragedi penderitaan itu. Langkah salah selalu saja diputar berulang-ulang. Itulah sebabnya Iqbal (baca Resonansi Selasa, 22 Maret) mempertanyakan dengan sangat serius, siapa kita sebenarnya, apakah Muslim betul atau manusia lain dalam jubah Islam.

Barat yang imperialistik adalah manusia paling rakus di muka bumi. Dukungan mereka, terlebih Amerika, terhadap Israel adalah dalam strategi untuk kepentingan syahwat penguasaan minyak. Presiden Obama tak berdaya. Lobi Yahudi jauh lebih perkasa. Negara-negara, seperti Saudi, Kuwait, Qatar, dan Bahrain, adalah sekutu Barat, bukan atas dasar persamaan pandangan politik, tetapi semata-mata karena nafsu imperialismenya yang tak pernah kendur.

Negara-negara Arab ini telah lama dijadikan sapi perahan Barat, sementara para penguasanya masih saja berleha-leha, tidak jarang didukung oleh dalil-dalil agama, rumusan ulama. Pertanyaan saya adalah: sampai kapan kebahluan yang memalukan ini dipertahankan, dan Dunia Islam kembali berdaulat di atas fondasi pemahaman Islam yang autentik, Islam Qurani, Islam kenabian? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah kerja intelektual kolektif kita yang sangat mendesak dan tidak boleh ditunda lagi.

Menjaga Indonesia

Oleh Azyumardi Azra

Menyimak revolusi rakyat dan konflik yang melanda dunia Arab-khususnya kini di Libya, Yaman, Bahrain, dan Suriah-dalam beberapa pekan ini, rasa prihatin terus menyelinap ke dalam pikiran dan kalbu. Tidak jarang juga kaum Muslim Indonesia seolah terbelah; pada satu sisi menolak campur tangan militer asing atas nama sekutu di Libya, tapi pada saat yang sama juga tidak ingin terkesan membela Muamar Qadafi yang menghancurkan warga negara yang melawan karena tidak bisa lagi memikul kekuasaannya lebih empat dasawarsa.

Dalam kasus Libya dan banyak negara lain di dunia Arab, sering terjadi intervensi asing muncul karena masalah dan konflik dalam negeri yang tidak terselesaikan. Otoritarianisme yang merupakan realitas politik paling jelas di kawasan ini memberikan ruang sangat kecil bagi suara dan aspirasi rakyat.

Sebaliknya, rezim-rezim berkuasa dengan berbagai cara, termasuk kekerasan, berusaha membungkam setiap mereka yang berpandangan berbeda dengan rezim. Pemerintah tidak sungkan melakukan tindakan yang termasuk ke dalam //state terrorism, terorisme negara yang pada gilirannya mendorong peningkatan 'nonstate terrorism', yang dilakukan aktor dan pelaku dari kalangan masyarakat sipil.

Pada tahap ini, sangat boleh jadi kedua belah pihak yang terlibat dalam lingkaran kekerasan (circle of violence) dengan sengaja mungundang pihak asing untuk kepentingan masing-masing. Rezim-rezim seperti Husni Mubarak di Mesir, Ben Ali di Tunisia, atau Ali Abdullah Saleh di Yaman tidak segan meminta dukungan asing semacam Amerika Serikat untuk mempertahankan kekuasaan sehingga leluasa membungkam warga negara yang menentang mereka. AS karena kepentingan geopolitik dan geoekonominya dengan senang hati memenuhi keinginan tersebut, meski bertentangan dengan ideologi demokrasinya sendiri.

Karena itu, salah satu pekerjaan rumah pokok dunia Arab-atau dunia Muslim secara keseluruhan-jika tidak ingin terjadinya intervensi pihak asing mana pun adalah membereskan rumahnya masing-masing. Jika di rumah sendiri masih terjadi kekerasan demi kekerasan yang mengorbankan banyak nyawa, ini hanya memberikan alasan kuat bagi pihak asing untuk campur tangan, misalnya dengan alasan 'perlindungan kemanusiaan' (humanitarian protection).

Sebab itu pula, konflik di antara pemerintah dan kalangan masyarakat atau di antara pihak-pihak dalam masyarakat harus diselesaikan secara damai, berkeadaban, dan sesuai ketentuan hukum. Sekali pihak-pihak yang bertikai gagal memecahkan konflik di antara mereka, yang tak jarang diikuti dengan kekerasan, ketika itu pulalah terbuka ruang sangat besar bagi masuknya intervensi asing.

Bangsa Indonesia telah mendapat rahmat Allah SWT yang sangat besar yang sampai kini berada dalam damai sehingga tak ada intervensi asing. Tanah Air ini tidak hanya dikaruniai bumi subur dan kaya berbagai sumber alam, tetapi juga realitas demografis bahwa mayoritas absolut warganya adalah kaum Muslim. Tetapi, berkah ini sekaligus merupakan amanah berat, yaitu menjaga bumi Indonesia ini tetap damai dalam kehidupan anak negerinya dan terpelihara alam lingkungannya.

Mencintai Indonesia, menjaga Indonesia. Mencintai Indonesia tidaklah sama sekali mengurangi apalagi menyaingi cinta dan keimanan kepada Allah SWT. Cinta Indonesia adalah cinta pada negeri yang telah menjadi tempat kelahiran; tempat di mana udaranya dihirup sepanjang usia; negeri yang telah memberikan begitu banyak rezeki dan nikmat Allah yang tidak pernah putus.

Sebab itu, adalah ironi dan menyedihkan jika ada orang yang dilahirkan di bumi Indonesia ini, yang mendapat berkah kehidupan di negeri ini, tetapi menolak menghormati simbol-simbol negara ini, seperti bendera merah putih atau lagu "Indonesia Raya". Sikap seperti ini, sebagai aspirasi 'demokratis' mungkin boleh-boleh saja, tetapi rasanya tidak patut dan bahkan bisa jadi merupakan semacam 'kufur' nikmat-tidak bersyukur atas nikmat Allah SWT yang telah dilimpahkan kepada Tanah Air Indonesia.

Ulama sekaliber Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam jawabannya di dalam jurnal al-Manar Kairo terhadap pertanyaan seorang ulama dari Kalimantan Selatan pada awal abad 20 tentang ihwal cinta Tanah Air, menegaskan tentang hubb al-wathan min al-iman- cinta Tanah Air adalah bagian daripada iman. Rasyid Rida, murid Syekh Muhammad Abduh, yang juga terkenal sebagai ulama reformis yang menekankan kemurnian iman dan akidah, sama sekali tidak memandang cinta tanah air sebagai sikap musyrik.

Menghormati bendera nasional dan menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" jelas bukan 'menyembah' dan apalagi 'mempertuhankan' keduanya. Karena itu, sepatutnya setiap Muslim Indonesia-apalagi ulama-berpikir proporsional saja; tidak menarik soal menghormati keduanya ke dalam persoalan akidah.

Terima Kasih NH!

Oleh Zaim Uchrowi

Sungguh ia memang layak menerima ucapan terima kasih. Ya, siapa lagi kalau bukan Nurdin Halid? Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) paling terkenal sepanjang sejarah. Bukan karena prestasinya yang membuat dia sukses membuat liga paling menarik di Asia Tenggara, tapi sepak terjangnya.

Sikap Nurdin memperjelas sampai mana kemajuan bangsa ini. Terkadang kita merasa Indonesia sudah sangat maju. Dalam banyak hal, bangsa ini sudah tak beda dengan bangsa maju. Pemakaian elektronik dan dunia digital, misalnya. Para musisi asing hilir mudik ke negeri ini. Justin Biebers, penyanyi biasa saja yang populer itu, pun menyempatkan ke Indonesia dalam tur dunianya.

Namun, di sisi lain, ternyata bangsa ini masih tradisional. Bahkan, masih agak primitif. Nurdin Halid mengingatkan itu. Tolok ukur penting kemajuan masyarakat atau bangsa adalah etika. Makin maju bangsa, makin ketat menjaga etika. Menlu Jepang mundur karena menerima uang Rp 27 juta. Bukan untuk pribadi. Tapi, buat kegiatan politiknya. Yang memberi adalah sahabat lamanya, yang masih berkewarganegaraan asing. Itu tak dibenarkan di Jepang.

Etika masyarakat tradisional tak sekental pada masyarakat maju. Namun, masyarakat tradisional memegang teguh norma. Secara umum tak ada yang mencoba melanggar norma. Jika melanggar, umumnya semua rela menerima sanksi atas pelanggaran itu. Nurdin menunjukkan, di negeri ini bukan etika dan bukan norma yang penting. Yang penting kuat. Untuk itu harus kaya, banyak koneksi, dan 'sanggup membiayai'. "Jer basuki mowo beyo."

Menginjak-injak etika di bangsa ini tak apa-apa. Itu ditunjukkannya lewat statuta PSSI. Dasar statuta FIFA pun dipelintir hingga dia, sebagai mantan narapidana, tetap bisa memimpin PSSI. Manipulasi penerjemahan dipakai dasar untuk berkuasa. Itu didukung oleh hampir seluruh pihak yang membawa label PSSI.

Presiden Soeharto dulu dianggap otoriter. Tapi, ia memilih mundur saat sebagian rakyat protes. Soeharto legowo dengan keputusannya. Nurdin tak begitu. Publik hanya mengharapkannya tahu diri. "Kalau Nurdin menyatakan tak akan maju lagi buat memimpin PSSI, persoalan selesai." Itu kata Tjipta Lesmana, dari Komisi Banding PSSI. Publik akan menerimanya. Tapi, Nurdin terus bersiasat adu kuat.

Bersiasat adu kuat tanpa etika adalah ciri masyarakat primitif. Hukum sering dipakai sebagai alasan. Tapi, hukum tanpa etika akan menjadi akal-akalan manipulatif. Itu terjadi di sini. Tak cuma dalam kasus PSSI. Namun, ada pada hampir pada sekujur tubuh bangsa. Sebagian besarnya dilakukan tanpa terang-terangan.

Maka, sungguh bersyukur Allah SWT menciptakan Nurdin Halid. Sosok yang terang-terangan menunjukkan bahwa kita, bangsa ini, memang masih agak primitif. Itu membuka kesadaran kita agar bekerja lebih keras. Bekerja membenahi kehidupan keluarga secara umum, dunia pendidikan, dakwah agama, budaya politik, dan keteladanan pemimpin yang belum mampu melahirkan manusia-manusia beretika.

Generasi mendatang haruslah generasi yang teguh beretika. Jangan ada pribadi seperti Nurdin Halid. Apalagi seperti dia namun seolah lebih baik. Bangsa ini memerlukan transformasi mendasar. Keluarga, pendidikan, seruan agama, praktek politik, hingga keteladanan nasional harus mampu melahirkan generasi beretika. Hal yang akan membuat bangsa ini dapat sungguh menjadi bangsa maju.

Nurdin Halid, lewat segala manuvernya, menjadi pengingat atas keadaan itu. Terima kasih NH. Semoga Allah SWT menjadikanmu manusia lebih baik di mata-Nya. Bukan di matamu sendiri.

Sebuah Tanda Tanya

Oleh Mohammad Akbar

Memotret kehidupan yang penuh konflik.

Seperti apakah memaknai kemajemukan etnis dan agama yang ada di negeri ini? Sepantasnyakah kita harus bertengkar hanya karena perbedaan? Dua pertanyaan sederhana ini mungkin saja mudah terucap, tetapi kenyataannya negeri ini kerap kali terkungkung oleh satu masalah besar bernama perbedaan.

Hanung Bramantyo, pembuat film yang pernah meraih trofi Citra sebagai Sutradara Terbaik Festival Film Indonsia (FFI) 2005 dan 2007, tergelitik hatinya. Ia berupaya masuk dan mencoba merekam ulang perbedaan-perbedaan itu dalam kapasitasnya sebagai pembuat film.

Sejatinya, Hanung tak sedang mencela, apalagi memancing sengkarut di negeri kita. Tetapi, sineas berusia 35 tahun asal Yogyakarta ini hanya ingin mengajak kita semua untuk kembali lagi merenung, masih pentingkah kita berbeda?

Hasilnya? Sebuah film berjudul "?" (baca: tanda tanya) dihadirkannya. Film ini merupakan produksi perdana dari Mahaka Pictures bekerja sama dengan Dapur Film. Sebuah tanda tanya sengaja diberikan kepada judul film ini karena Hanung memang masih menyimpan tanda tanya besar ketika melihat atas nama perbedaan agama, suku, dan ras, ternyata sebagian anak negeri ini bisa saling bertikai, bahkan juga membunuh.

Mengawali cerita film, Hanung langsung menghadirkan sebuah konflik. Seorang pastur yang tengah menyambut para jemaat di muka gereja ditikam seorang pemuda. Dugaan Anda tak keliru rupanya, karena pikiran kita akan digiring pada tudingan bahwa umat Islamlah yang telah dengan sengaja melakukannya. Tetapi, benarkah demikian?

Setelah memberikan konflik berbau agama, cerita film ini lebih banyak memotret pada lingkup kehidupan yang lebih kecil, tetapi cukup menyimpan persoalan pelik di dalamnya. Panggung cerita itu disajikan di salah satu sudut kota tua di Semarang bernama Pasar Baru.

Di sana ada masjid, gereja, dan klenteng. Lalu, untuk membuat cerita ini hidup, Hanung menghadirkan tiga keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi dan suku yang berbeda.

Ada keluarga Tan Kat Sun (diperankan oleh Hengky Sulaeman), yang memiliki restoran Canton Chinese Food. Ia adalah seorang kepala keluarga yang toleran terhadap perbedaan, tetapi ternyata menyimpan persoalan dengan putranya, Hendra (Rio Dewanto), dalam menjelaskan betapa pentingnya bertoleransi dengan tetangga yang berbeda agama dan budaya. Bentuk tolorensi Tan Kat Sun ini salah satunya ditunjukkan dengan membedakan perkakas memasak untuk makanan tidak halal dan halal, serta memberikan libur selama lima hari kepada karyawannya yang Muslim ketika masa Lebaran tiba.

Lalu, ada lagi kehidupan sepasang suami-istri, Soleh (Reza Rahadian) dan Menuk (Revalina S Temat). Keduanya adalah warga lokal yang taat pada agamanya. Menuk, perempuan yang digambarkan berjilbab, bekerja sebagai pelayan restoran di keluarga Tan Kat Sun. Sedangkan Soleh, hanyalah seorang kepala keluarga yang labil. Sepanjang hidupnya, ia selalu berupaya untuk mendapatkan pengakuan eksistensi sebagai suami sekaligus kakak bagi adiknya.

Kemudian, kehidupan lainnya disajikan pada tokoh bernama Rika (Endhita) dan Surya (Agus Kuncoro). Rika ini berstatus janda satu orang anak. Bagi lingkungan sekitar, Rika dicibir karena keputusannya bercerai dan berganti agama menjadi penganut Katolik.

Sementara itu, Agus digambarkan sebagai seorang pemuda Muslim yang semasa kariernya sebagai sineas hanya mendapatkan peran figuran. Hingga pada satu titik ia berhasil mendapatkan peran utama. Tetapi, kata hatinya beradu, apakah ia harus bersedia menerima peran sebagai Yesus pada perayaan malam Paskah dan Natal?

Secara cerita, skenario yang ditulis oleh Titien Wattimena ini cukup kuat. Cerita tersebut juga menjadi apik ketika diperkuat lagi dengan seting lokasi yang ditata rapi sebagai lingkungan urban masa lampau dan pengambilan sudut gambar yang tak mengganggu pandangan.

Untuk sebagian besar konflik yang dibangun di dalam cerita ini, seperti diakui Hanung, banyak diinspirasi dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri ini. Salah satunya, ketika Soleh mencoba mengamankan perayaan malam Natal.

Soleh yang kala itu sudah mendapat pekerjaan sebagai anggota Banser NU, dengan keberaniannya menjadi tameng terhadap bom yang meledak. Hanung sempat mengatakan, sosok Soleh ini terinspirasi dari kisah anggota Banser NU bernama Riyanto, yang wafat ketika bertugas mengamankan malam Natal di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, sepuluh tahun silam.

Tetapi, sebagai sebuah karya populer, Hanung tetap tidak mau melupakan bumbu cinta di dalam filmnya. Namun, bukan cinta sepasang ABG yang hendak disajikannya. Tetapi, cinta di sini bisa juga menjadi universal, bagaimana seorang anak mencintai ibunya atau juga hubungan cinta Rika-Surya.

Lalu, ada pula api cemburu yang terletup hingga menghadirkan konflik, seperti amarah Hendra kepada Soleh. Hendra dan Menuk sebelumnya sempat menjalin kasih. Namun, cinta keduanya tak berlanjut ke pelaminan karena perbedaan agama.

Sebelum Soleh dan Hendra menemukan kesadaran bahwa perbedaan itu adalah anugerah, keduanya sering kali beradu mulut dan fisik. Hendra menyebut Soleh sebagai teroris, karena streotip bahwa Islam itu kerap berperilaku anarkis. Sedangkan, Soleh secara rasial menghardik Hendra sebagai 'Cina'-sebuah ucapan bentuk kesal yang merujuk pada satu etnis tertentu.

Segala konflik dan roman cinta yang ada di film ini cukup apik pula dituntaskan menjadi sebuah karya yang happy ending. Tak lupa pula, sebagai jawaban atas kegelisahan Hanung sebagai Muslim yang kerap dituding teroris, ia mencoba memberikan jawaban atas kegelisihan tersebut. Lewat dialog antara ustaz (David Chalik) dan Hendra ketika bertanya tentang Islam, sang ustaz menjelaskan bahwa Islam sejatinya adalah agama pembawa rahmat.

Keliru Bila Premium Dijatah

Ichsan Emrald Alamsyah

Masyarakat kecil akan semakin kesulitan meningkatkan kesejahteraan.


JAKARTA-Langkah pemerintah dalam upaya mengendalikan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan cara pemberian kuota (penjatahan), dinilai sebagai sebuah kebijakan yang keliru. "Penjatahan BBM akan mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi secara nasional," ungkap pengamat perminyakan, Kurtubi, ketika dihubungi Republika, Sabtu (2/4), di Jakarta.

Menurut Kurtubi, penjatahan BBM bersubsidi dengan maksud mengontrol volume pengeluaran agar tak melebihi kuota 38,5 juta kiloliter (kl), sangat tidak tepat. Sebab, kebijakan itu akan memberatkan masyarakat, khususnya kalangan menengah bawah.

Ia menyebutkan, selama ini mayoritas pengguna Premium berasal dari pemilik kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Dan itu, kata dia, bukanlah masyarakat kalangan menengah atas. Kendaraan dengan pelat hitam itu, jelas Kurtubi, lebih banyak dipergunakan sebagai sarana mencari nafkah sehari-hari, baik menuju ke kantor, pasar, maupun lainnya.

Karena itu, jelas Kurtubi, penjatahan Premium bagi kendaraan pribadi justru akan menyulitkan para pelaku ekonomi.

Kurtubi mencontohkan, jika seorang pengendara sepeda motor dijatah 20 liter Premium perbulan, sementara ia biasanya menghabiskan 35 liter per bulan, dia terpaksa harus mem beli Pertamax sebanyak 15 liter. Itu artinya, tegas Kurtubi, masyarakat akan mengeluarkan biaya lebih dari dua kali lipat dengan harga Premium. “Ini jelas akan mem berat kan,” ujarnya.

Kurtubi menyebutkan, 2010 lalu penggunaan BBM mencapai 38,5 juta kl. Dan ia memperkirakan, kebutuhan BBM di 2011 ini akan meningkat menjadi 42 juta kl.

Anggota BPH Migas Ibrahim Hasyim menyampaikan, jika BPH Migas tidak melakukan apa-apa untuk mengendalikan penggunaan BBM, pada 2011 ini akan menjadi 42 juta kiloliter. “Upaya pengurangan subsidi sangat elementer,” ujarnya.

Anggota Komisi VII DPR RI yang membawahi bidang energi, Satya W Yudha, menilai sikap pemerintah dengan mengarahkan pengguna mobil pelat hitam mengonsumsi Pertamax bila Premium subsidi habis, merupakan tindakan sepihak. “UU APBN 2011 mengatur agar kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tetap 38,5 juta kiloliter.”

Ketua Bidang Ko mersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Bambang Asmarabudi menyatakan, sebaiknya kebijakan penjatahan BBM bersubsidi ditunda. Sebab, kebijakan itu akan memberatkan masyarakat. “Tidak mungkin masyarakat harus mengurangi jatah untuk membeli susu, beras, minyak goreng, dan lainnya. Motor merupakan alat transportasi utama.”

Bambang menegaskan, secara industri kebijakan itu tidak berpengaruh. Namun, itu akan berdampak besar bagi masyarakat pengguna sepeda motor. Sekretaris Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo), Eddy Sumedi, menyatakan, industri otomotif tidak terpengaruh dengan kebijakan pengendalian (penjatahan) BBM itu. Sebab, selama ini produksi mobil sudah mengarahkan konsumen untuk menggunakan bahan bakar beroktan tinggi.

Sejumlah pengendara sepeda motor juga mengeluhkan kebijakan itu. Reza dan Andre meng aku kebe ratan dengan pembatasan BBM bagi seluruh kendaraan bermotor. Kita akan semakin sulit mengatur keuangan rumah tangga, ujar mereka. c05/mg18/c42/antara ed: syahruddin el-fikri
(-)

Jumat, 01 April 2011

13 makanan yang berbahaya

AKHIR-akhir ini marak investigasi yang meneliti bahwa banyak makanan di sekitar kita yang berbahaya. Entah karena bahan pewarna atau pengawet, namun makanan ini juga perlu Anda waspadai!

Food & Drug Administration (FDA) menemukan ancaman bahaya pada beberapa makanan yang ternyata tak pernah kita duga sebelumnya. Makanan ini mungkin kelihatannya sehat (dan mungkin sebenarnya memang sehat), sayangnya beberapa kondisi menyebabkan makanan ini justru mengancam kesehatan Anda.

Sayuran Mentah

Tak akan lengkap jika Anda tak menambahkan menu lalapan (sayuran mentah) saat menyantap ayam goreng atau ikan, lengkap dengan sambalnya. Warna sayuran yang hijau, tentu memberikan kesan bahwa ia baik dan sehat untuk dimakan. Sebenarnya memang demikian, sayuran hijau sehat untuk tubuh karena kandungan antioksidannya yang cukup tinggi.

Namun, Anda juga perlu mempertimbangkan kandungan pestisida dan bahan kimia serta kuman yang menempel. Dilaporkan sejak 1990, puluhan ribu kasus keracunan/ sakit dialami oleh masyarakat karena mengonsumsi sayuran mentah. Setelah dicek kembali, ternyata sayuran ini tidak dicuci bersih sehingga banyak bakteri serta sisa pestisida yang masih menempel.

Telur Mentah

Telur kaya akan kandungan omega-3 yang baik untuk tubuh. Namun, siapa sangka jika dihidangkan mentah, ia membawa ancaman bakteri berbahaya Salmonella. Bahkan hingga saat ini, wanita hamil dilarang menyantap menu telur mentah atau setengah matang. "Makanan selalu sehat jika kita menyajikan dengan cara yang benar dan sehat. Sejauh ini, telur mentah tetap merupakan makanan yang harus dihindari. Kita tak pernah tahu apakah ada bakteri Salmonella yang terkandung di dalamnya," ungkap Craig Herberg, PhD, seorang peneliti dan pengajar di University of Minnesota.

Tuna Mentah

Beberapa ikan mentah ditengarai dapat menyebabkan kram pada tubuh, sakit kepala dan rasa mual tak terkendali. Ini disebabkan ikan mentah tersebut membawa bakteri atau racun. FDA tetap mengingatkan agar ikan disajikan dalam menu yang sudah dimasak agar racun dan bakteri mati. Namun, ini jelas tetap berbahaya bagi ikan yang mengandung merkuri. Mereka tetap berbahaya.

Kerang Mentah

Pada beberapa menu, kerang disajikan mentah dengan saus jeruk nipis/lemon yang segar agar bau amisnya hilang. Bukan hanya sekedar bau amis yang harus dicermati, kandungan bakterinya juga harus Anda pertimbangkan. Bakteri yang mungkin hidup di dalam kerang ini dikenal dengan nama Vivrio vulnificus, dapat menyebabkan mual, muntah, hingga diare.

Kentang Mentah/ setengah matang

Sama halnya dengan sayuran lain, kentang juga sebaiknya disajikan sepenuhnya dalam keadaan matang. Kentang mentah/ setengah matang cenderung membawa bakteri Listeria, Shigella E. Coli, dan Salmonella.

Keju

Keju sebenarnya adalah produk susu yang diproses sedemikian rupa sehingga menjadi keju yang lezat dan bergizi. Sayangnya, gizi ini tak serta merta bisa dirasakan semua orang. Mereka yang hamil dan memiliki alergi pada keju, sebaiknya menghindari keju jenis Feta, Brie, Camembert, Blue-veined, dan keju Meksiko. Keju-keju tersebut berpotensi membawa bakteri Salmonella dan Listeria yang bisa menyebabkan seseorang keguguran.

Ice Cream

Bukan ancaman demam atau flu yang ditakutkan dari sebuah ice cream, namun beberapa jenis ice cream dibuat dengan proses pasteurisasi yang kurang sempurna. Dan ada pula yang dibuat dengan bahan telur mentah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, telur mentah merupakan media yang tepat untuk penyebaran bakteri Salmonella. Inilah yang harus dipertimbangkan sebelum mengonsumsi sebuah ice cream.

Tomat dan Cabe

Bahan merah ranum yang menggiurkan ini seringkali ditemukan di dalam salad atau sambal. Memang segar apabila kedua jenis bumbu sayuran ini dicampurkan, namun dalam keadaan mentah mereka bisa berbahaya. Bahaya datang karena keduanya berpotensi masih menyimpan pestisida atau membawa bakteri di kulit mereka. Sehingga sudah seharusnya kita mencuci hingga bersih semua sayuran, dan bumbu-bumbu yang akan disajikan.

Taoge dan Jamur

Kedua tanaman ini memang rasanya lezat, namun mereka adalah sumber bakteri yang tumbuh di daerah lembab dan punya potensi yang banyak mengusung penyakit ke dalam tubuh Anda. FDA, seperti dikutip dari health.com menyarankan untuk mencuci bersih dan mengolah hingga matang kedua jenis sayuran ini.

Seandainya Anda ingin menyajikan taoge dalam keadaan mentah, pastikan Anda mencucinya dengan bersih dan sempat merendam dengan air hangat, sejenak.

Buah Berries dan Anggur

Buah-buah jenis yang tak perlu dikupas ini seringkali membuat kita lalai untuk mencucinya terlebih dahulu. Bahkan, terkadang seusai memetik dari kebun atau baru saja membeli dari pasar, kita tak segan memakannya karena sudah tak sabar. Padahal, kita tak pernah tahu berapa banyak pestisida dan bakteri yang menempel di kulit buah. Untuk itu, sebelum mengonsumsinya, pastikan kita mencuci bersih.

Semua makanan sebenarnya baik, jika kita tahu dan mempraktekkan pengolahannya dengan baik dan benar. Pastikan selalu mencuci bersih semua sayuran dan buah-buahan dengan air yang mengalir. Simpan di wadah yang aman dan jauh dari lalat. Lebih baik hidangkan menu-menu yang seharusnya dimasak terlebih dahulu. Makanan mentah mungkin terdengar menantang, namun bahaya di baliknya juga harus dipertimbangkan. Be wise!(kpl/ICH)

Restrukturisasi Pembiayaan Syariah

Bambang Rianto Rustam
Dosen Magister Manajemen Universitas Riau,
Praktisi Perbankan

Tumbuh Kembangnya usaha perbankan syariah yang didominasi sebagian besar oleh aktivitas pembiayaan, akan sangat dipengaruhi oleh kualitas,pembiayaan yang disalurkan. Pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah biasanya dilakukan dalam bentuk transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah, atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik.

Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, pembiayaan tersebut merupakan sumber utama bank dalam menghasilkan pendapatan dan sumber dana untuk ekspansi usaha yang berkesinambungan. Untuk itu, pengelolaan bank yang optimal dalam aktivitas pembiayaan diharapkan dapat meminimalisasi potensi kerugian yang akan terjadi.

Data statistik perbankan syariah Bank Indonesia akhir 2010 menunjukkan bahwa saat ini telah beroperasi 11 bank umum syariah (BUS) dan 23 unit usaha syariah (UUS) serta 150 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan total aset yang jauh melesat menjadi Rp 97,5 miliar.

Posisi pembiayaan selama lima tahun terakhir telah melaju dari Rp 15 triliun pada 2005 menjadi Rp 68 triliun pada 2010. Pembiayaan ini tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan dalam lima tahun adalah 35,15 persen per tahun.

Di sisi lain, dengan adanya pertumbuhan pembiayaan yang signifikan itu, posisi non performance financing (NPF) akhir 2010 tercatat 3,02 persen. Persentase ini masih di bawah norma standar BI, yakni lima persen dan jauh lebih baik dari NPF BPRS, yaitu 6,5 persen.

Bila kita telusuri angka persentase ini, ternyata cukup menyedihkan bila dilihat dari pertumbuhan nominal NPF lima tahun terakhir yang jauh melesat dari Rp 430 miliar pada 2005 menjadi Rp 2,059 triliun pada akhir 2010. Secara rata-rata terjadi pertumbuhan NPF 42 persen per tahun. Dengan begitu, bisa disimpulkan rata persentase pertumbuhan absolute nominal NPF jauh lebih tinggi ketimbang rerata persentase pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah.

Banyak faktor yang bisa menjadi pemicu menaiknya NPF, baik faktor internal bank, internal nasabah, eksternal, kegagalan bisnis, maupun ketidakmampuan manajemen. Kelima faktor ini sering diperburuk oleh kegagalan strategi perbankan syariah dalam menjajaki sejumlah sektor pembiayaan korporasi, di antaranya mencakup pembiayaan manufaktur, infrastruktur, dan properti.

Risiko kredit semakin besar akibat dari sisi akad, perbankan syariah tengah meningkatkan pembiayaan dengan akad nonmurabahah (nonjual beli), seperti mudharabah atau bagi hasil yang memiliki risiko tinggi karena ketidaksempurnaan informasi petugas melihat level usaha nasabah dan terbatasnya informasi produktivitas usaha.

Mengingat NPF bisa menimbulkan permasalahan sistemis bagi pemegang saham, nasabah penyimpan dana dan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, tidak salah Bank Indonesia melakukan relaksasi regulasi restrukturisasi pembiayaan syariah yang diberlakukan bagi bank syariah dan unit usaha syariah mulai akhir Februari 2011 yang lalu.

Restrukturisasi pembiayaan
Pada perubahan regulasi ini, BI mewajibkan seluruh perbankan syariah memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure (SOP) tertulis mengenai restrukturisasi pembiayaan yang harus disetujui komisaris dan menetapkan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi atas pembiayaan yang tergolong kurang lancar, diragukan, dan macet. Kebijakan dan SOP restrukturisasi pembiayaan ini merupakan bagian dari kebijakan manajemen risiko bank di mana penyusunannya harus dilakukan koordinatif dengan dewan pengawas syariah (DPS).

Restukturisasi pembiayaan kini dapat dilakukan sebagai upaya bank membantu nasabah dalam menyelesaikan kewajiban melalui rescheduling, reconditioning, dan restructuring. Dengan rescheduling, bank dapat melakukan perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya.

Melalui reconditioning, bank dapat mengubah sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang diharuskan untuk dibayar ke bank, baik melalui perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, pemberian potongan, maupun jangka waktu. Khusus untuk pembiayaan mudharabah atau musyarakah, dimungkinkan dilakukan perubahan nisbah dan proyeksi bagi hasil.

Restructuring merupakan perubahan persyaratan pembiayaan yang dilakukan dengan penambahan dana fasilitas pembiayaan bank, konversi akad pembiayaan, serta konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah jangka waktu menengah.

Restrukturisasi pembiayaan secara regulasi hanya dapat diberikan bagi nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan memiliki prospek usaha yang baik serta mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Khusus pembiayaan konsumtif, restrukturisasi hanya dapat dilakukan bagi nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah serta mampu memenuhi kewajiban setelah dilaksanakan restrukturisasi.

Pelaksanaan restrukturisasi wajib didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai dan didokumentasikan dengan baik. Bukti-bukti yang memadai adalah adanya laporan keuangan nasabah yang menunjukkan perbaikan kinerja perusahaan, adanya kontrak kerja baru yang diperoleh nasabah, atau adanya sumber pembayaran lain yang jelas.

Demokrasi dan Euforia Politik

Marwan Ja'far
Legislator PKB

Demokrasi di negeri kita tampaknya tidak hanya makin riuh, tapi juga makin keruh. Ternyata, euforia kebebasan tidak selalu berbanding lurus dengan pendewasaan politik dari para pelakunya. Kebersediaan untuk hidup bersama dalam perbedaan mungkin saja sebuah angan yang retak dengan tiadanya kesiapan untuk terlibat dalam dialog yang sehat ketika dibenturkan dengan problem kemasyarakatan yang semakin kompleks.

Demokrasi memang telah membawa perubahan dramatis dalam masyarakat seiring dengan semakin dibukanya ruang untuk berekspresi. Namun, apakah mentalitas yang berkembang sejalan dengan bangun demokrasi yang diharapkan? Mengutip Fransisko Budi Hardiman dalam bukunya, Memahami Negativitas (2005), mentalitas tradisional yang berakar dari tatanan sosial politik yang feodalistik dan paternalistik tidak serta merta lenyap seiring dengan berlangsungnya modernisasi politik. Mereka justru berkoeksistensi dengan konsep-konsep modern tersebut.

Dalam kondisi demikian, beragam tuntutan untuk membangun tatanan demokrasi modern, seperti kebebasan berekspresi, berpolitik, dan birokrasi yang bersih dan efisien, ikut berpotensi meningkatkan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat itu sendiri. Faktanya, masih mengecambah kekerasan kolektif, membiaknya dinasti-dinasti politik di daerah minus kompetensi, mentalitas juragan dalam birokrasi yang menghambat tercapainya pelayanan publik yang efektif dan memuaskan, juga mafia korupsi dalam birokrasi yang tumbuh subur dan sulit diberantas sedikit banyak berakar dari karakter komunal masyarakat itu sendiri.

Negara kita agaknya masih belum selesai dengan urusan state-building. Jargon demokrasi masih kerap dijadikan komoditas politik para elite. Alih-alih menghimpun energi politik untuk mewujudkan tatanan kenegaraan yang lebih mantap, para elite politik tertentu justru selalu sibuk bermanuver untuk selalu ikut menikmati kekuasaan dan memperalat nilai-nilai demokrasi untuk kepentingan kelompok masing-masing. Hipokrisi partai politik tertentu pun lebih mengemuka daripada daulat rakyat, sehingga tindakan hipokrit menjadi halal untuk dilakukan tanpa malu. Daulat rakyat sering kali dimanipulasi demi pencitraan.

Apakah ini tetanda bahwa sistem demokrasi modern yang coba dicangkokkan di Indonesia mengidap problematika? Kebebasan tidak dibarengi dengan perbaikan manajemen politik, kelembagaan, dan rasa tanggung jawab. Semestinya, perlu prasyarat institusional yang wajib dipenuhi demi membangun basis demokrasi yang kukuh. Birokrasi yang efektif, bersih, dan transparan jelas dibutuhkan untuk mengimbangi tuntutan publik yang makin berkembang. Begitupun akuntabilitas hukum sebagai pilar utama kehidupan berdemokrasi.

Dalam konteks ini, kapasitas negara perlu diperkuat untuk merespons meningkatnya dinamika masyarakat dengan potensi benturan kepentingan yang makin besar pula. Jika negara lemah dalam merespons aspirasi publik, mereka akan cenderung mencari jalan pemenuhannya sendiri-sendiri dan yang terandaikan adalah chaos. Demokrasi yang sehat tidak bisa tercipta hanya dengan memperkuat civil society, ia pun mensyaratkan adanya bangun institusi (negara) yang kukuh.

Aturan main
Dalam berdemokrasi, hal yang paling menguras energi untuk mewujudkannya adalah bagaimana masing-masing pihak yang terlibat di dalam dinamikanya bersedia tunduk pada aturan main (rule of game) yang disepakati bersama. Pada tahap berikutnya, pelaksanaan demokratisasi akan memperoleh jaminan kualitas dan kesempurnaan tujuan-tujuannya. Apabila didukung oleh aturan main dan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang sejak proses penyusunannya, di samping memberikan prasyarat demokrasi, juga mencerminkan pemahaman yang relatif selesai atas kondisi dan prediksi tantangan bangsa di masa depan.

Penyatuan diri dalam bangsa ini sekaligus secara final menyepakati pilihan sistem demokrasi. Ini berarti memutuskan dan melucuti realitas masa lalu untuk memasuki kesepakatan pilihan sistem demokrasi baru melalui sikap-sikap yang mencerdaskan. Demokrasi perlu ekspresi secara konstruktif, sehingga mampu memperkuat fondasi demokrasi di negeri ini.

Tak jarang, kita disuguhi fenomena politik dari fungsi-fungsi demokrasi yang justru mereproduksi kebijakan dan tindakan hingga agenda-agenda yang sesungguhnya antidemokrasi. Dan, ini terjadi terus hingga lahir persepsi keliru di tengah-tengah rakyat terhadap demokrasi itu sendiri. Bila menyebut demokrasi adalah menyebut sistem dan tata kelola kemasyarakatan yang tidak efektif, rumit, dan tidak produktif, bahkan hingga ke dalam praksis demokrasi tercitrakan peluang atau tindakan melanggar berbagai norma dan aturan, maka hal ini jelas tidak bisa ditoleransi.

Elemen demokrasi membutuhkan partisipasi yang benar, kompetisi yang sehat, dan akuntabilitas. Semua tindakan elite politik harus bisa dipertanggungjawabkan di publik.. Dalam kaitan ini, pendidikan politik perlu diperbaiki dan digencarkan sehingga kita mampu melakukan kompetisi yang sehat.

Menuntaskan agenda proses demokrasi harus diikuti dengan pengembangan instrumen yang bisa dipakai masyarakat. Sebab, bila rakyat tidak melakukannya, demokrasi hanyalah impian kosong. Tata kelembagaan pemerintahan harus membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat berikut organisasi-organisasi di dalamnya supaya bisa merawat, memiliki, dan menertibkan institusi politik, termasuk di dalamnya partai-partai politik .

Kepada para elite, pemimpin dan siapa pun yang berada dalam posisi berpotensi untuk menggerakkan kesadaran, perlu dikerek kesadaran bahwa tidak pada tempatnya demokrasi dipertaruhkan bagi kepentingan yang tidak mengabdi pada kelangsungan negara di masa depan. Berbagai potensi disintegrasi dan konflik horizontal, tindakan-tindakan demoralisasi terhadap dan atas nama demokrasi, sudah waktunya dibenamkan.

Energi demokrasi yang mestinya diperuntukkan bagi pelaksanaan pelayanan dan agenda-agenda pembangunan jangan sampai terkuras habis pasca peristiwa demokrasi diselenggarakan. Yang harus dilakukan, bagaimana mendorong prakarsa-prakarsa demokrasi sekaligus mengembangkan tradisi rekonsiliasi yang memang semestinya menjadi bagian dari semenjak agenda yang melibatkan kepentingan paling kompleks ini menjadi pilihan yang disepakati.

Dari semua yang kita pahami mengenai proses demokrasi, kita menjadi sadar bahwa proses demokrasi bukan sesuatu yang final. Inilah yang sekiranya harus terkristalisasi dalam kesadaran kita semua untuk selalu menumbuhkembangkan mental dan sistem demokrasi yang sehat. Demokrasi bisa mengandung potensi disintegrasi dalam dirinya yang mesti secara cerdas kita kelola dan kita sikapi. Bukan sebaliknya, justru diposisikan sebagai peluang untuk dikapitalisasi, dieksploitasi, dan dipolitisasi. Sebab, itulah perlunya bagaimana membangun tradisi rekonsiliasi yang dapat berjalan seiriing dengan tradisi demokrasi.
(-)

Teladan Politik Muhammad

Tafsir
Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Tengah,
Dosen IAIN Walisongo Semarang


Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS al-Ahzab: 40). Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS al-Ahzab: 21).

Siapa yang tidak kenal Muhammad SAW, selain beliau sebagai nabi, ia juga kerap disandarkan julukan pemimpin politik (kepala negara). Berbeda dalam posisi beliau sebagai rasul Allah yang terbebas dari kesalahan (ma'shum), sebagai kepala negara beliau bukanlah suprahuman (manusia super) yang tidak memerlukan orang lain. Sahabat menjadi forum musyawarah untuk menentukan keputusan-keputusan politik penting dan strategis negara ketika itu, mulai dari persoalan pajak sampai dengan hubungan antar-Muslim dan non-Muslaim.

Negara adalah bagian dari urusan dunia yang dalam batas tertentu orang lain lebih tahu dari dirinya. Dengan rendah hati beliau pun mengatakan, "kamu lebih tahu dengan urusan duniamu." Bahkan, pernyataan ini beliau lontarkan di hadapan seorang petani yang ternyata lebih paham tentang persoalan pertanian.

Dalam kenyataannya, jabatan politik yang beliau pegang menjadi sarana strategis bagi upaya implementasi ajaran Islam dan pengembangannya. Sebab, dengan politik inilah beliau bisa mengendalikan negara sesuai ide-ide moral Alquran. Hal seperti ini tidak dapat beliau lakukan ketika masih di Makkah karena tidak memiliki kekuasaan politik. Oleh karena itu, di Madinahlah beliau pertama kali membangun negara dan menjadi titik balik kesuksesan menyebarkan ajaran Islam.

Feeling politik
Bahkan, Muhammad memiliki feeling politik yang sangat visioner. Ketika merasa umat Islam sudah kuat, beliau dengan para pengikutnya ramai-ramai datang ke Makkah yang sudah hampir sepuluh tahun beliau tinggalkan. Melihat Muhammad datang dengan pengikut sedemikian banyak inilah yang membuat para penguasa dan elite Makkah menjadi panik dan menyerah tanpa perlawanan. Apalagi, orang-orang Makkah pun kemudian berbondong-bondong masuk Islam.

Peristiwa inilah yang digambarkan dalam Alquran sebagai fath al-Makkah (terbukanya Kota Makkah) dalam Alquran surah an-Nashr. Kerap juga berapa penafsir mengartikannya dengan "jatuhnya Kota Makkah". Setelah peristiwa ini, Kota Makkah jatuh ke tangan umat Islam. Dikatakan oleh Michel Hart bahwa sejak saat itu Muhammad tidak saja menjadi pemimpin umat Islam, tetapi menjadi pemimpin Arab terbesar, apa pun agama dan etnisnya.

Peristiwa fath al-Makkah tak ubahnya sebuah unjuk rasa damai dengan menggunakan people power di bawah komando seorang tokoh agama dengan keanggunan moral di satu pihak dan seorang negarawan dengan strategi politik jitu di pihak lain. Muhammad mampu menggabungkan dua kekuatan; agama dan politik dalam satu kesatuan sinergis yang proporsional hingga mampu membangun negara yang kuat tanpa harus melakukan penekanan, penindasan, bahkan konflik sekalipun.

Dengan kekuatan agama, seorang akan memiliki karisma yang membuatnya mudah memengaruhi masyarakat untuk mengikuti kebijakan yang dibuatnya. Sementara masyarakat percaya seorang yang memiliki kekuatan agama tak akan membuat kebijakan yang menyalahi nilai-nilai yang ada di masyarakat, kecuali pemimpin yang zalim (menindas). Sedangkan kemampuan politik akan membuatnya tahu bagaimana seharusnya membuat keputusan strategis yang akan mengikat semua orang.

Indonesia dan Muhammad
Dalam menilik perspektif kepemimpinan Muhammad untuk kepemimpinan Indonesia hari ini, ada baiknya berangkat dari tesis BJ Boland, seorang orientalis asal Belanda yang mendalami percaturan politik Indonesia pascakemerdekaan. Ia pernah menyatakan, sulitnya tokoh Islam menjadi kepala negara di Indonesia dikarenakan tiga sebab. Pertama, mereka hanya bisa diterima oleh kelompoknya sendiri. Jangankan dapat diterima mayoritas bangsa Indonesia, sesama Muslim sendiri, hanya karena berbeda aliran politik dan organisasi, tidak bisa menerimanya.

Dalam kasus pencalonan Amin Rais, misalnya. Hanya segelintir orang Nahdlatul Ulama (NU) yang memilih Amien Rais menjadi presiden. Juga sebaliknya, hanya beberapa orang Muhammadiyah yang memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam pemilu. Inilah yang pernah memicu BJ Boland melontarkan kritik kepada umat Islam dengan mengatakan, jika Indonesia ini menjadi negara Islam, lalu negara ini akan diatur dengan Islam model siapa?

Kedua, telah terjadi semacam image bahwa tokoh-tokoh Islam atau sering disebut dengan kaum santri itu tidak nasionalis. Mereka terkesan hanya mementingkan Islam tanpa memperhatikan kepentingan negara. Negara ini bukan monopoli milik umat Islam, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia.

Ketiga, harus diakui umat Islam adalah bagian dari komponen bangsa ini yang secara pendidikan tertinggal dari komponen bangsa yang lain. Ketika orang lain sudah bersekolah modern, umat Islam masih berkutat di pesantren yang tidak berijazah. Bagaimana mungkin menjadi presiden ijazah SD saja tidak punya. Nurcholish Madjid pernah menyatakan, kita tak membayangkan seandainya KH Ahmad Dahlan tidak lahir, mungkin saja hingga kini kita tidak mengenyam pendidikan modern yang darinya akan lahir kader-kader bangsa yang mampu mengatur negara.

Di sinilah urgensi reparasi kaderisasi pemipin bangsa berbasis Islam agar meniru gaya kepemimpinan Muhammad. Dari berbagai pintu dan celah, kaderisasi kepemimpinan bangsa mesti menjadi perhatian lebih bagi umat Islam yang notabene mayoritas. Bukan hendak unjuk identitas atau motif-motif keakuan, melainkan didasarkan pada kontribusi umat Islam yang secara kuantitas sangat potensial untuk membangun bangsa. Bila kuantitas dan kualitas tida berimbang, tak ubahnya umat Islam bak sampah sumber daya bangsa yang cuma jadi penonton dan-meminjam istilah Buya Syafi'i Ma'arif-berada di buritan peradaban.
(-)

Masih Perlukah Partai Islam?

Muh Fajar Pramono
Dosen ISID Gontor, Mahasiswa S-3 Komunikasi Pembangunan UGM


Tidak bisa kita mungkiri bahwa saat munculnya Partai Keadilan (bisa dibaca: Partai Keadilan Sejahtera) memberikan harapan banyak pihak. Tidak hanya khusus umat Islam, tetapi juga masyarakat umum yang waktu itu apatis terhadap politik. Banyak pihak yang semula langganan golput dalam setiap kampanye sebelumnya, kemudian menggunakan hak pilihnya. Mereka berharap dengan munculnya pola baru dalam berpolitik (yang ditawarkan Partai Keadilan waktu itu) akan bisa memberi warna baru dalam perpolitikan di Indonesia.

Pada mulanya, harapan itu seakan menjadi kenyataan. Banyak pihak beranggapan bahwa keberadaan Partai Keadilan sebagai reinkarnasi Masyumi yang lebih segar dan kreatif. Terbukti perkembangan partai ini setidaknya antara pemilu 1999, 2004, dan terakhir 2009 mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan bisa mengungguli PBB, PPP, PAN, dan sekaligus PKB (2009), saat partai-partai tersebut mempunyai basis sosial dan ketokohan yang lebih definitif.

Menurut penulis, salah faktor kunci keberhasilan dari PK/PKS adalah "ada sesuatu yang berbeda", yang tidak ada pada partai-partai lain.

Kini, partai ini mendapat ujian serius, bukan dari orang luar, tetapi dari salah satu tokohnya yang ikut serta membidani lahirnya partai ini. Tanpa terjebak siapa yang salah atau benar, jika tidak dikelola dengan baik (konflik ini), tidak mustahil akan menuju pada kehancuran sebagaimana partai-partai besar sebelumnya. Karena persoalan yang mengemuka ke publik sudah bukan lagi persoalan remeh, tetapi persoalan yang sensitif dan krusial, terutama menyangkut dugaan penyelewengan uang.

Namun, tidak mustahil fenomenanya mungkin jauh lebih runyam dari yang terlihat selama ini, terutama dari segi implikasinya. Bisa jadi fenomena ini tidak hanya semakin menguatkan tuduhan kelompok-kelompok Islam lainnya, seperti Gerakan Dakwah Salafy (Yamani) bahwa politik itu //bid'ah (tidak mempunyai dasar hukum atau mengada-ada). Lebih dari itu, bisa jadi akan mengukuhkan pemahaman masyarakat umum bahwa politik itu memang identik dengan konflik.

Atau makna yang sejenis, yang jauh dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Jadi, konsekuensinya akan mengakibatkan runtuhnya kepercayaan umat tidak hanya pada partai Islam, tetapi juga partai politik yang lain dalam mengatasi persoalan bangsa dan negara ini.

Berangkat dari titik tolak inilah penulis akan menjawab, apakah partai Islam masih perlu dalam sistem politik di Indonesia? Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Untuk itu, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin mengingat sekilas sejarah politik Islam di Indonesia.

Pertama, Syarikat Islam (SI). Tidak hanya fenomenal dalam perspektif politik Islam, tetapi juga fenomenal dalam politik kebangsaan. Karena SI tidak hanya memberi inspirasi bagi kebangkitan Islam, tetapi juga memberi inspirasi kemerdekaan Indonesia. Dari segi jumlahnya, tidak hanya besar melampaui Boedi Oetomo waktu itu (1908), tetapi juga menyebar di seluruh Indonesia.

Kemudian dalam perkembangannya, mengapa kemudian muncul SI-Merah dan SI-Putih, yang kemudian mengakibatkan SI menjadi kerdil? Banyak teori yang menjelaskan, salah satunya karena kurang kokohnya konsep dan moral sebagian para tokohnya.

Kedua, fenomena Masyumi. Di samping mempunyai kekuatan yang signifikan di parlemen (1955), juga tidak bisa diremehkan dalam pemerintahan, tepatnya di masa percobaan demokrasi, atau yang dikenal dengan sistem pemerintahan parlementer (1950-1957), saat para tokohnya dipercaya memegang tampuk pemerintahan, seperti Pemerintahan Sukiman, Pemerintahan Natsir, Pemerintahan Syafrudin Prawiranegara, dan berbagai prestasi yang melekat.

Singkatnya, dari segi politik, mungkin jauh yang telah dicapai oleh Masyumi pada masa itu dibandingkan apa yang sudah dicapai oleh PK/ PKS sekarang. Kemudian, Masyumi dalam perjalanannya bubar. Sekalipun lebih karena faktor eksternal.

Namun, jauh sebelum kita, umat Islam mempunyai sejarah keberhasilan yang gemilang dalam politik, yang terlihat dengan keberadaan Kerajaan Islam Demak (1475-1518), Kerajaan Aceh (1515-1528), Kerajaan Pajang (1582), Kerajaan Islam Mataram (1580-1601), Kerajaan Cirebon, Sunan Gunung Jati atau Fatahillah (1524-1570). Juga, Kerajaan Banten (1522-1586), Kerajaan Ternate (1570), dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Kemunculan mereka tidak tiba-tiba, tetapi butuh proses penyadaran yang panjang dengan semangat perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Tidak cepat puas dengan hasil yang telah mereka capai. Sehingga keberhasilan pada masa itu tidak hanya berdimensi politik, tetapi memberi warna peradaban, yang menjadikan Islam hingga sekarang mempunyai akar yang kuat di Indonesia (baca: sebagai agama mayoritas).

Artinya, kita mempunyai catatan sejarah kegagalan dalam berpolitik dan catatan keberhasilan yang gemilang dalam sejarah politik di Indonesia. Jadi, semua berpulang pada kita. Mengulang kegagalan dalam politik, kita mempunyai referensi atau rujukan. Umumnya, dalam catatan sejarah, kegagalan politik akan terjadi jika moral dan konsep politik para tokohnya rapuh.

Sebaliknya, jika kita ingin mengulang keberhasilan dalam politik, juga ada referensinya. Biasanya butuh proses dalam pendewasaan dan pematangan politik, tidak instan. Modalnya keikhlasan dan senantiasa menjaga kemurniannya. Perjuangan yang terus-menerus, tidak mudah cepat puas dengan apa yang dicapainya. Lebih mengutamakan substansi daripada performa, atau lebih mengutamakan misi daripada gaya hidup. Wallahu Alam.

Belanda, Tionghoa, dan Film Nasional

Chairil Gibran Ramadhan
Sastrawan Betawi


Meski dalam sejarah perfilman nasional tercatat bahwa film cerita pertama yang dibuat di Indonesia dan menampilkan cerita asli dari Indonesia adalah "Loetoeng Kasaroeng", film bisu yang tergolong sukses pada zamannya itu tidak mendapat penghormatan apa-apa dari insan perfilman dan pemerintah kita yang berhubungan dengan penobatan seseorang atau sebuah perayaan, kecuali dianggap sebagai "Film Indonesia Pertama", termasuk peran besar The Teng Chun dan Tan Koen Yauw sebagai regisseur (dipakai sebelum munculnya istilah sutradara) sekaligus produser yang turut membangun perfilman nasional.

Sebab, dalam surat keputusan yang dikeluarkan Dewan Film Indonesia tertanggal 11 Oktober 1962, ditetapkan bahwa hari syuting pertama film "The Long March" (Darah dan Doa), 30 Maret 1950, sebagai Hari Film Nasional-dengan Usmar Ismail (Pemilik Studio Film Perfini, Persatuan Film Nasional Indonesia) dan Djamaludin Malik (pemilik Studio Film Persari, Perseroan Artis Indonesia) sebagai Bapak Perfilman Nasional.

Ketetapan ini sendiri baru mendapat pengakuan pemerintah 30 tahun kemudian, melalui penandatanganan Undang-Undang Perfilman pada 30 Maret 1992 oleh Presiden Soeharto.

Dalam sejarahnya, sejak masa prakemerdekaan hingga lebih satu dekade sesudahnya, tumbuh dan berkembangnya dunia perfilman Indonesia tidak lepas dari peran orang Belanda dan orang Tionghoa, dengan Batavia sebagai pusat kegiatannya.

Namun, terhitung sejak 1940, terlihat orang Tionghoa tidak lagi membuat film dengan cerita-cerita yang diambil dari hikayat Tiongkok atau tentang orang Tionghoa atau menggunakan judul dalam bahasa Tionghoa. Meski begitu, peran mereka dalam dunia perfilman Indonesia tetap kuat terasa hingga pertengahan dekade 1950-an sebagai produser, sutradara, penata fotografi, penulis cerita dan skenario, atau pemain.

Dan seperti keberadaan orang Tionghoa yang terus menyusut dalam dunia perfilman Indonesia, setelah itu pun tidak ada lagi film Indonesia yang diproduksi langsung oleh orang Belanda atau tentang orang Belanda atau menggunakan judul dalam bahasa Belanda. Namun demikian, sumbangsih mereka tetap saja tercium dan baru pupus ketika datangnya Jepang pada 1942.

Lantaran bersamaan itu pula, nama-nama non-Belanda dan non-Tionghoa (biasa disebut 'pribumi') yang turut muncul malu-malu sejak zaman "Loetoeng Kasaroeng" menjadi semakin percaya diri dan menyeruak secara jumlah di sela jayanya Indonesia sebagai negara merdeka. Orang Belanda yang dianggap penjajah dan penjahat banyak yang pulang ke negerinya, atau anak-cucu keturunannya yang terlahir sebagai Indo banyak yang memilih pekerjaan-pekerjaan lain. Dan orang Tionghoa yang dianggap tamu, lebih banyak mengurusi perniagaan yang berhubungan dengan kebutuhan primer dan sekunder.

Hingga jatuhnya Orde Lama dan gemilangnya Orde Baru, di awal dekade 1970-an, orang berdarah Belanda dan orang Tionghoa yang menjadi tokoh perfilman nasional hanyalah tersisa dalam hitungan sebelah tangan, seperti Tan Tjeng Bok, Fifi Young, dan Fritz G Schadt. Nama yang disebutkan terakhir bahkan bertahan hingga pertengahan 1980-an.

Lupakah sejarah?
Di sisi yang berbeda, Batavia yang menjadi pusat ekonomi, sosial, politik, seni, dan budaya memegang peranan yang tidak kalah penting dalam tumbuh dan berkembangnya sejarah perfilman nasional pada sebelum zaman normal. Sebab, selain sebagai ibu kota pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan tempat berdirinya perusahaan-perusahaan film, Batavia dengan Betawi sebagai etnis asli sudah menjadi penyumbang cerita dengan warna lokalnya yang kaya.

Maka, selain cerita-cerita yang menampilkan tokoh dan nuansa Belanda dan Tionghoa, cerita-cerita dengan tokoh dan nuansa Betawi pun mendapat tempat tersendiri di kalangan boemipoetra, bahkan memberi banyak keuntungan materi bagi pembuatnya.

Cerita dengan aroma Betawi yang pertama diangkat ke dalam film dengan teknologi hitam-putih dan tanpa suara yang ada saat itu adalah Nyai Dasima, lewat film berjudul sama-berdasarkan novelette "Tjerita Njai Dasima" karya G Francis yang diterbitkan Kho Tjeng Bie & Co di Batavia pada 1896. Menurut pihak studio, "Njai Dasima" dibuat dengan maksud menarik perhatian penonton-penonton boemipoetra dari klas moerah.

Keberhasilan film yang dibuat hingga tiga seri ini dalam menyedot orang untuk datang ke wayang gambar (bioskop), kemudian mendorong Tan's Film untuk membuat ulang ketika teknologi film bicara sudah ditemukan-meski tetap dengan tampilan hitam-putih-dan menjadikannya sebagai film bicara pertama yang dihasilkan Tan's Film.

Cerita dengan tokoh dan nuansa Betawi lain yang kemudian ditampilkan dalam film nasional di zaman normal adalah "Si Ronda" dan "Si Pitoeng", yang sebelumnya juga banyak dipentaskan dalam teater Lenong Betawi. Keduanya bercerita tentang kepahlawanan tokoh jawara Betawi dalam menentang kezaliman yang dilakukan penguasa Hindia Belanda, kebathilan melawan kejahatan.

Perbedaan keduanya dengan "Njai Dasima" terletak pada unsur drama tidak begitu menjadi perhatian utama, lantaran yang dijual adalah unsur action. Sementara dalam "Njai Dasima" justru unsur drama itulah yang ditonjolkan untuk mengaduk-aduk perasaan penonton-dengan berbagai intrik dan konflik yang terjadi di dalamnya. Adapun action hanya merupakan penyedap, lewat tokoh Samiun dan Bang Puasa.

Tulisan ini semata sebagai pengingat sejarah dari sebuah kebudayaan populer yang la hir, tumbuh, dan berkembang. Karena ketika 30 Maret ini adalah Hari Film Nasional. Mereka adalah perintis perfilman nasional lewat peran besarnya—namun kerap di ang gap sebagai pen jajah dan tamu: orang Belanda dan orang Tionghoa.

Jati Diri Film Indonesia

Imam S Arizal
Penikmat Film,
Peneliti Humaniush UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Setiap 30 Maret kita memperingati Hari Film Nasional. Setelah Republik ini sempat dihebohkan soal pajak film impor yang berujung pada ancaman MPA (Motion Picture Association) yang hendak menyetop peredaran film Hollywood di Indonesia, kiranya Hari Film Nasional menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas film Tanah Air. Para sineas harus bangkit, membangun film nasional yang berkarakter dan menjadi tuan di rumah sendiri.

Ruang untuk memperbaiki mutu film nasional kini terbuka lebar. Dukungan tidak hanya datang dari bawah, tapi juga dari pihak pemerintah. Presiden RI melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik elum lama ini mewacanakan hendak memproteksi film nasional dengan cara mengurangi beban pajak. Menbudpar juga menyebutkan bahwa Presiden ingin pajak pertambahan nilai (PPN) film nasional menjadi nol persen. Tujuannya adalah demi memperbaiki kualitas dan kuantitas film kita. Apalagi, pemerintah menargetkan 200 film tercipta pada 2011 ini.

Bentuk pemanjaan terhadap film Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Pada 1970-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat monumental, setiap importir yang memasukkan tiga judul film impor wajib memproduksi satu film nasional. Di zaman Menteri Penerangan RI Ali Murtopo (1978-1983) lebih seru lagi. Produksi film dilecut. Promosi dan pemasaran film nasional di luar negeri, termasuk ke Eropa dan Amerika, digalakkan. FFI pun dibiayai.

Ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta (1966-1977), film Indonesia diperlakukan dengan sangat baik. Pusat perfilman dibangun. Lengkap dengan Pusat Dokumentasi (Sinematek). Pajak tontonan di DKI Jakarta waktu itu setiap tahun dikembalikan ke produser film untuk mendorong mereka meningkatkan kualitas film Indonesia. Pengembalian pajak tontonan juga diberikan kepada pengusaha bioskop supaya bisa meningkatkan fasilitas dan pelayanan kepada penonton.

Pada 1986, pengusaha Soedwikatmono bekerja sama dengan Raam Punjabi mempelopori pembangunan jaringan bioskop Sinepleks atau kompleks bioskop. Setelah sukses dengan percobaan Sinepleks di Bioskop Kartika Chandra, dilanjutkanlah dengan nama jaringan 21 (baca: Twenty One). Gedung pertamanya megah. Gedung megah 21 pertama itu terletak di jalan utama Ibu Kota, yaitu di Jalan MH Thamrin Kavling 21 (sekarang Menara BII).

Secara kuantitas, dukungan pemerintah dan pengusaha terhadap film memang cukup baik. Tetapi, ternyata tidak ada hubungan langsung antara pemanjaan itu dengan kualitas film. Hingga saat ini, industri film nasional belum mampu berbenah diri, melahirkan film yang berkualitas tinggi. Alih-alih membangun jati diri, malah banyak film kita yang masih meniru gaya-gaya film luar negeri.

Mencari jati diri
Pemanjaan pemerintah terhadap film lokal kiranya perlu diimbangi dengan evaluasi bersama. Lebih-lebih mengingat film Indonesia masih terhegemoni oleh kepentingan pasar. Penjualan seakan menjadi target utama dari para sineas Indonesia. Film didesain sesuai dengan kebutuhan pasar. Di saat dunia perfilman global memproduksi film-film horor, drama, komedi, dan action yang berbau seks, film kita ikut-ikutan di belakangnya. Film seakan dicipta sebagai ladang bisnis belaka.

Apa yang terjadi dalam tiga tahun terakhir kiranya patut dijadikan bahan refleksi bersama. Film kita jauh sangat merosot ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Film "Cinta Dalam Sepotong Roti", "Bulan Tertusuk Ilalang", "Laskar Pelangi", "Sang Pemimpi", "Denias", "Garuda di Dadaku", "Ayat-Ayat Cinta", dan "Perempuan Berkalung Sorban" yang mengisi deretan film film bermutu Indonesia hanyalah satu dari puluhan film dengan kualitas memprihatinkan.

Ironisnya, adegan seks telah seakan menjadi menu utama film Tanah Air. Tengoklah misalnya film "Hantu Puncak Datang Bulan", "Suster Keramas", "Dendam Pocong Mupeng", "Paku Kuntilanak", "Hantu Binal Jembatan Semanggi", "Menculik Miyabi", dan lain-lainnya. Nuansa seksnya begitu kentara sampai-sampai kita bingung membedakan antara kualitas akting dan kualitas tubuh pemerannya. Di sinilah kemudian kita menemukan titik kesangsian antara dukungan pemerintah dan wajah film nasional.

Rupa-rupanya pemerintah belum mengetahui petunjuk yang tepat bagaimana menuju industri film yang bagus di Indonesia. Upaya yang dilakukan baru sebatas hitung-hitungan ekonomi dengan menaikkan pajak film impor yang masuk Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah dengan meningkatkan pajak film impor dan menghapus pajak film nasional akan meningkatkan kualitas film Tanah Air? Inilah yang perlu dievaluasi bersama. Jika tidak, upaya pemerintah hanya akan menuai kegagalan.

Sebenarnya, upaya untuk meningkatkan kualitas film tidak semata-sama alasan ekonomis. Kemampuan para sineaslah yang lebih menentukan nasib perfilman kita. JB Kristanto (2004) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang medium film itu sendiri sangat diperlukan, seperti teori-teori editing, teknologi kamera dan pencahayaan, kemampuan manipulasi yang bisa dilakukan kamera maupun laboratorium film, teori-teori akting, dan dramaturgi.

Pengetahuan ini betul-betul dipakai hanya sebatas sebagai alat bantu, karena kita tahu bahwa kesenian berkembang bersama dengan usaha sang seniman untuk selalu melanggar kaidah-kaidah yang sudah ada sebelumnya baik kaidah estetik maupun penemuan-penemuan teknologi baru perfilman yang membuat sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin menjadi mungkin.

Selain itu, film mesti dibuat karena rangsangan konteks sosial dan konteks pemikiran tertentu. Konteks itu dijawab oleh penciptanya yang hidup dalam konteks sosial dan pemikiran yang sama. Seberapa hebat pencapaian estetisnya, film harus bisa bicara dalam konteks masyarakat Indonesia. Artinya, bila film itu tidak bisa bicara dengan konteks suatu masyarakat, film itu belum bisa dikatakan baik.

Dari uraian di atas, kiranya peningkatan mutu dan pencacian jati diri film nasional menjadi hal yang utama daripada sekadar dukungan pemerintah yang bersifat materi. Jika memang pemerintah ingin membantu industri film, kualitas harus lebih diutamakan daripada target kuantitas semata. Para sineas juga mesti memperhatikan sisi pendidikan, budaya, sosial, dan keindonesiaan kita sebagai jati diri perfilman nasional.

Petani Masih Diabaikan

Sumarno
Profesor Riset Badan Litbang Pertanian


"Pangan yang murah faktanya diproduksi oleh petani-petani miskin bukan atas dasar tujuan kemanusiaan, melainkan semata-mata untuk tujuan ekonomi. Mereka itu tidak memproduksi bahan pangan berdasarkan target kecukupan pangan bagi bangsanya, tetapi mereka pasti akan memproduksi pangan lebih banyak asalkan memperoleh insentif ekonomi yang layak." (Dari: Amartya Sen, 1994)

Pesan moral dari kutipan seorang cendekiawan pertanian arif tersebut adalah bahwa harga pangan yang murah cenderung memiskinkan petani, dan sebaliknya, petani akan lebih bergairah memproduksi pangan lebih banyak apabila dengan itu pendapatan mereka meningkat. Memang era harga pangan murah sebenarnya telah lewat bersamaan dengan kondisi biaya pendidikan anak menjadi mahal, biaya kesehatan meroket selangit, dan harga-harga produk manufaktur sangat mahal.

Petani adalah warga negara seperti kita-kita juga, yang ingin menyekolahkan anak. Kalau ada keluarganya yang sakit, harus dibawa ke rumah sakit, ingin beli alat hiburan, transportasi, komunikasi, dan sedikit beli pakaian, setahun sekali. Dari mana mereka mendapatkan uang untuk itu semua kalau bukan dari menjual hasil panen padinya?

Kalau gelar pahlawan diperuntukkan bagi warga bangsa yang sangat berjasa kepada kelangsungan hidup bangsa dan negara, petani tidak dapat diragukan adalah pahlawan bangsa sejak zaman dulu secara turun-temurun. Petani secara tulus dan rela bekerja membanting tulang, berkeringat, dan bermandi lumpur untuk memproduksi beras yang akhirnya dijadikan pangan bagi warga negara setiap hari sepanjang masa.

Masyarakat (maunya) membayar harga bahan pangan dengan harga yang sangat murah. Oleh kondisi yang demikian, petani menjadi warga yang berpenghasilan rendah dan sering diposisikan sebagai warga kelas bawah, kurang dihormati, sering dipanggilnya sebagai "hanya seorang petani" oleh berbagai pihak.

Petani adalah pengusaha
Petani tanaman pangan Indonesia memang umumnya adalah petani kecil dengan median luas pemilikan lahan sekitar 0,35 ha per rumah tangga petani (RTP). Bandingkan dengan petani padi di Thailand yang luas lahannya 4 ha/RTP; Malaysia: 7 ha/RTP; Vietnam 2 ha/RTP; Myanmar 3-4 ha/RTP; atau petani padi Australia 150 ha/RTP; Amerika Serikat 200 ha/RTP.

Sebenarnya, betapa hebatnya petani tanaman pangan Indonesia yang dengan luas lahan hanya 0,35 ha/RTP dapat menghidupi keluarganya dan mencukupi pangan bangsanya, subhanallah. Tidakkah sudah semestinya kita salut dan hormat kepada petani yang telah begitu banyak berjasa atas kekuatan mereka sendiri tanpa ada korupsi, kolusi, dan nepotisme?

Dengan luas pemilikan lahan 0,35 ha/RTP (di Jawa Barat disebut dengan istilah 250 bata, di Jawa Tengah 0,5 bau, di Jawa Timur 1/3 ha), petani sebenarnya memiliki nilai aset sekitar Rp 175 juta/RTP, ditambah dengan nilai aset pekarangan dan rumahnya, rata-rata pemilikan aset petani menjadi sekitar Rp 300 juta/RTP. Namun sungguh disayangkan, petani pengusaha dengan aset Rp 300 juta per RTP tersebut dinilai belum layak bank atau tidak bankable, apabila ingin memperoleh dana untuk memproduksi pangan (beras) bagi keluarga dan bangsanya.

Padahal, bertanam padi pada zaman sekarang harus mempunyai modal tunai. Untuk mudahnya, kita hitung biaya produksi padi per ha, yang di Pulau Jawa berkisar antara Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per ha (di luar pulau Jawa berkisar antara Rp 4,5 juta hingga Rp 6,5 juta/ha). Dari total biaya tersebut, 75 persennya harus berupa modal tunai, yang berarti petani harus memiliki modal Rp 3,75 juta hingga Rp 4,5 juta per ha.

Bagi sebagian besar petani, yang luas lahannya 0,35 ha, modal tunai yang harus tersedia adalah Rp 1,5 juta hingga Rp 2,0 juta/RTP, yang sayangnya mereka tidak memiliki uang sebanyak itu pada waktu menjelang musim tanam. Dari mana lagi memperoleh modal kalau bukan dari pinjam ke pemilik uang?

Hasil dari panen padi 0,35 ha setelah dipotong bawon adalah sekitar 2,1 ton gabah kering panen (GKP), dengan nilai jual waktu sekarang (Rp 2.800/kg) sekitar Rp 5,9 juta/RTP. Pinjaman modal Rp 2,0 juta yang bukan dari bank resmi, dalam waktu empat bulan petani harus mengembalikan Rp 3 juta. Pendapatan petani dari bekerja keras selama empat bulan, bila tenaganya tidak dihitung upahan adalah Rp 2,9 juta/RTP, atau hanya Rp 725.000/bulan. Pendapatan tersebut jauh lebih rendah dari ketentuan upah minimum dan yang jelas tidak mencukupi untuk menyekolahkan anak, membiayai pengobatan bila keluarganya sakit, dan untuk keperluan dasar lain.

Itulah sebabnya keluarga petani tanaman pangan sebagian besar termasuk warga miskin. Dari gambaran tersebut, memang petani pada umumnya adalah warga yang berpendapatan rendah, penghasilan mereka hanya setara dengan upah seorang pembantu rumah tangga di Jakarta. Tetapi, bukankah misi kerja petani begitu mulia? Dari mana kita semua memperoleh makanan apabila petani tidak menanam padi?

Banyaknya rumah tangga petani tanaman pangan sekitar 18 juta RTP, atau dengan keluarga mereka total sekitar 90 juta orang. Seandainya, petani yang kurang kita hargai tadi ngambek dan menanam padi hanya untuk mencukupi pangan keluarganya, dari mana kita yang berjumlah 150 juta warga Indonesia nonpetani akan mendapatkan beras untuk makan sehari-hari? Impor beras dari luar negeri pun tidak akan mencukupi karena persediaan beras di pasar dunia sangat terbatas.

Sudah waktunya kita memosisikan petani menjadi warga negara yang terhormat dengan cara memberikan fasilitas dan berbagai kemudahan. Alangkah baiknya apabila pemerintah dapat memberikan pelayanan kesehatan secara layak kepada keluarga petani dengan biaya murah, memberikan pendidikan secara gratis bagi anak-anak petani hingga tingkat sekolah menengah atas, dan menyediakan beasiswa bagi anak petani yang cerdas-pandai yang dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Dan yang terpenting, menyediakan kredit modal kerja usaha tani dengan bunga rendah atau tanpa bunga, disertai dengan penetapan harga jual gabah yang memberi insentif ekonomi bagi petani.

Dalam kehidupan berbangsa kita secara keseluruhan harus saling membantu. Tidak elok dan tidak pantas apabila kekayaan ekonomi sebagian besar mengalir hanya ke kelompok masyarakat tertentu. Kita perlu membantu kehidupan petani pangan skala kecil, yang secara historis lahan mereka memang sempit, tetapi toh mereka sangat berjasa dalam menyediakan pangan bagi bangsanya.

Membantu petani tanaman pangan bermakna menjamin lapangan pekerjaan bertani secara layak untuk kehidupan. Tidak ada cara lain untuk memberikan jaminan stabilitas sistem produksi pangan nasional dan ketahanan pangan nasional, selain membalas budi baik petani, melalui tindakan-tindakan seperti yang disebutkan di atas. Marilah kita hormati pahlawan penyedia pangan bangsa Indonesia sebelum terlambat. Semogalah demikian halnya.

Petani Masih Diabaikan

Sumarno
Profesor Riset Badan Litbang Pertanian


"Pangan yang murah faktanya diproduksi oleh petani-petani miskin bukan atas dasar tujuan kemanusiaan, melainkan semata-mata untuk tujuan ekonomi. Mereka itu tidak memproduksi bahan pangan berdasarkan target kecukupan pangan bagi bangsanya, tetapi mereka pasti akan memproduksi pangan lebih banyak asalkan memperoleh insentif ekonomi yang layak." (Dari: Amartya Sen, 1994)

Pesan moral dari kutipan seorang cendekiawan pertanian arif tersebut adalah bahwa harga pangan yang murah cenderung memiskinkan petani, dan sebaliknya, petani akan lebih bergairah memproduksi pangan lebih banyak apabila dengan itu pendapatan mereka meningkat. Memang era harga pangan murah sebenarnya telah lewat bersamaan dengan kondisi biaya pendidikan anak menjadi mahal, biaya kesehatan meroket selangit, dan harga-harga produk manufaktur sangat mahal.

Petani adalah warga negara seperti kita-kita juga, yang ingin menyekolahkan anak. Kalau ada keluarganya yang sakit, harus dibawa ke rumah sakit, ingin beli alat hiburan, transportasi, komunikasi, dan sedikit beli pakaian, setahun sekali. Dari mana mereka mendapatkan uang untuk itu semua kalau bukan dari menjual hasil panen padinya?

Kalau gelar pahlawan diperuntukkan bagi warga bangsa yang sangat berjasa kepada kelangsungan hidup bangsa dan negara, petani tidak dapat diragukan adalah pahlawan bangsa sejak zaman dulu secara turun-temurun. Petani secara tulus dan rela bekerja membanting tulang, berkeringat, dan bermandi lumpur untuk memproduksi beras yang akhirnya dijadikan pangan bagi warga negara setiap hari sepanjang masa.

Masyarakat (maunya) membayar harga bahan pangan dengan harga yang sangat murah. Oleh kondisi yang demikian, petani menjadi warga yang berpenghasilan rendah dan sering diposisikan sebagai warga kelas bawah, kurang dihormati, sering dipanggilnya sebagai "hanya seorang petani" oleh berbagai pihak.

Petani adalah pengusaha
Petani tanaman pangan Indonesia memang umumnya adalah petani kecil dengan median luas pemilikan lahan sekitar 0,35 ha per rumah tangga petani (RTP). Bandingkan dengan petani padi di Thailand yang luas lahannya 4 ha/RTP; Malaysia: 7 ha/RTP; Vietnam 2 ha/RTP; Myanmar 3-4 ha/RTP; atau petani padi Australia 150 ha/RTP; Amerika Serikat 200 ha/RTP.

Sebenarnya, betapa hebatnya petani tanaman pangan Indonesia yang dengan luas lahan hanya 0,35 ha/RTP dapat menghidupi keluarganya dan mencukupi pangan bangsanya, subhanallah. Tidakkah sudah semestinya kita salut dan hormat kepada petani yang telah begitu banyak berjasa atas kekuatan mereka sendiri tanpa ada korupsi, kolusi, dan nepotisme?

Dengan luas pemilikan lahan 0,35 ha/RTP (di Jawa Barat disebut dengan istilah 250 bata, di Jawa Tengah 0,5 bau, di Jawa Timur 1/3 ha), petani sebenarnya memiliki nilai aset sekitar Rp 175 juta/RTP, ditambah dengan nilai aset pekarangan dan rumahnya, rata-rata pemilikan aset petani menjadi sekitar Rp 300 juta/RTP. Namun sungguh disayangkan, petani pengusaha dengan aset Rp 300 juta per RTP tersebut dinilai belum layak bank atau tidak bankable, apabila ingin memperoleh dana untuk memproduksi pangan (beras) bagi keluarga dan bangsanya.

Padahal, bertanam padi pada zaman sekarang harus mempunyai modal tunai. Untuk mudahnya, kita hitung biaya produksi padi per ha, yang di Pulau Jawa berkisar antara Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per ha (di luar pulau Jawa berkisar antara Rp 4,5 juta hingga Rp 6,5 juta/ha). Dari total biaya tersebut, 75 persennya harus berupa modal tunai, yang berarti petani harus memiliki modal Rp 3,75 juta hingga Rp 4,5 juta per ha.

Bagi sebagian besar petani, yang luas lahannya 0,35 ha, modal tunai yang harus tersedia adalah Rp 1,5 juta hingga Rp 2,0 juta/RTP, yang sayangnya mereka tidak memiliki uang sebanyak itu pada waktu menjelang musim tanam. Dari mana lagi memperoleh modal kalau bukan dari pinjam ke pemilik uang?

Hasil dari panen padi 0,35 ha setelah dipotong bawon adalah sekitar 2,1 ton gabah kering panen (GKP), dengan nilai jual waktu sekarang (Rp 2.800/kg) sekitar Rp 5,9 juta/RTP. Pinjaman modal Rp 2,0 juta yang bukan dari bank resmi, dalam waktu empat bulan petani harus mengembalikan Rp 3 juta. Pendapatan petani dari bekerja keras selama empat bulan, bila tenaganya tidak dihitung upahan adalah Rp 2,9 juta/RTP, atau hanya Rp 725.000/bulan. Pendapatan tersebut jauh lebih rendah dari ketentuan upah minimum dan yang jelas tidak mencukupi untuk menyekolahkan anak, membiayai pengobatan bila keluarganya sakit, dan untuk keperluan dasar lain.

Itulah sebabnya keluarga petani tanaman pangan sebagian besar termasuk warga miskin. Dari gambaran tersebut, memang petani pada umumnya adalah warga yang berpendapatan rendah, penghasilan mereka hanya setara dengan upah seorang pembantu rumah tangga di Jakarta. Tetapi, bukankah misi kerja petani begitu mulia? Dari mana kita semua memperoleh makanan apabila petani tidak menanam padi?

Banyaknya rumah tangga petani tanaman pangan sekitar 18 juta RTP, atau dengan keluarga mereka total sekitar 90 juta orang. Seandainya, petani yang kurang kita hargai tadi ngambek dan menanam padi hanya untuk mencukupi pangan keluarganya, dari mana kita yang berjumlah 150 juta warga Indonesia nonpetani akan mendapatkan beras untuk makan sehari-hari? Impor beras dari luar negeri pun tidak akan mencukupi karena persediaan beras di pasar dunia sangat terbatas.

Sudah waktunya kita memosisikan petani menjadi warga negara yang terhormat dengan cara memberikan fasilitas dan berbagai kemudahan. Alangkah baiknya apabila pemerintah dapat memberikan pelayanan kesehatan secara layak kepada keluarga petani dengan biaya murah, memberikan pendidikan secara gratis bagi anak-anak petani hingga tingkat sekolah menengah atas, dan menyediakan beasiswa bagi anak petani yang cerdas-pandai yang dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Dan yang terpenting, menyediakan kredit modal kerja usaha tani dengan bunga rendah atau tanpa bunga, disertai dengan penetapan harga jual gabah yang memberi insentif ekonomi bagi petani.

Dalam kehidupan berbangsa kita secara keseluruhan harus saling membantu. Tidak elok dan tidak pantas apabila kekayaan ekonomi sebagian besar mengalir hanya ke kelompok masyarakat tertentu. Kita perlu membantu kehidupan petani pangan skala kecil, yang secara historis lahan mereka memang sempit, tetapi toh mereka sangat berjasa dalam menyediakan pangan bagi bangsanya.

Membantu petani tanaman pangan bermakna menjamin lapangan pekerjaan bertani secara layak untuk kehidupan. Tidak ada cara lain untuk memberikan jaminan stabilitas sistem produksi pangan nasional dan ketahanan pangan nasional, selain membalas budi baik petani, melalui tindakan-tindakan seperti yang disebutkan di atas. Marilah kita hormati pahlawan penyedia pangan bangsa Indonesia sebelum terlambat. Semogalah demikian halnya.

Demokratisasi Arab dan Masa Depan Israel

Riza Sihbudi
Pemerhati Timur Tengah, Mantan Diplomat


Gelombang gerakan prodemokrasi-menuntut reformasi politik-di dunia Arab, yang diawali dengan keberhasilan mereka menjatuhkan Presiden Tunisia Zaenal Abidin Ben Ali, dan kemudian disusul oleh tergulingnya Presiden Husni Mubarak di Mesir, kini telah menjalar ke bagian lain di dunia Arab, terutama Libya, Yaman, Bahrain, dan Yordania.

Gelombang tersebut diperkirakan tidak akan berhenti sampai di situ, tetapi akan terus menjalar ke negara-negara Arab lainnya, termasuk Palestina dan Arab Saudi. Kendati ada kecurigaan intervensi militer NATO-yang sesungguhnya tidak untuk memaksa Pemimpin Libya Kolonel Muamar Qadafi mundur-memiliki tujuan politik strategis lebih jauh untuk menghentikan gelombang prodemokrasi itu sendiri agar tidak menjalar ke negara-negara Arab sekutu Barat.

Jatuhnya Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir menandakan "kekalahan" cukup telak bagi Barat (baca AS/NATO) sejak jatuhnya Syah Reza Pahlevi di Iran sekitar 40 tahun silam. Jatuhnya Mubarak sekaligus menandai akan adanya perubahan strategi politik Barat di Dunia Arab dan Timur Tengah secara keseluruhan. Mubarak adalah "boneka" Amerika yang paling setia, termasuk dalam melindungi eksistensi negara Zionis Israel.

Mubarak tidak segan-segan untuk menutup rapat-rapat perbatasan Mesir-Gaza agar warga Palestina tidak dapat menghindar dari keganasan serdadu Zionis. Kini, dengan jatuhnya Mubarak, ditambah belum adanya kepastian siapa yang bakal berkuasa di Mesir, akan semakin membuat posisi rezim Zionis Israel kian terjepit. Namun, bagaimana sebenarnya masa depan Zionis Israel dengan makin derasnya gelombang demokratisasi di dunia Arab?

Kaum Hawkish/Neocon
Selama bertahun-tahun, dunia Arab dicitrakan seakan-akan jauh dari politik yang demokratis. Peralihan kekuasaan senantiasa hanya melibatkan "lingkaran dalam" istana, baik kalangan keluarga maupun klik elite politik yang berkuasa. Namun, kondisi ini justru "dipelihara" oleh Barat. Mereka sama sekali tidak peduli pada kenyataan bahwa rezim-rezim itu telah menindas rakyatnya selama berpuluh-puluh tahun.

Bagi Barat, yang lebih penting, rezim-rezim tersebut dapat melayani kepentingan ekonomi dan politik Barat, terutama dalam hal suplai minyak dan melindungi eksistensi negara Zionis Israel. Itulah sebabnya, masalah Palestina tetap dibiarkan terkatung-katung. Apa yang disebut sebagai "proses perdamaian" pada hakikatnya tidak lebih dari sekadar "sandiwara" dengan AS sebagai "sutradaranya" dengan tujuan utama untuk "menghibur" publik di dunia Arab.

Pengaruh kaum Hawkish dan Neo-Conservative (yang dikendalikan lobi Israel) dalam politik Amerika Serikat, tampaknya masih cukup kuat, kendati George W Bush dan Dick Cheney sudah tidak lagi bercokol di Gedung Putih. Obama tampak bagai pion yang tak mampu berbuat banyak untuk menciptakan situasi yang lebih baik di kawasan Timur Tengah.

Ketidakmampuan Presiden Barack Hussein Obama untuk menghentikan ambisi PM Israel Benyamin Netanyahu yang terus membangun permukiman Yahudi di wilayah Palestina, serta retorika Obama yang terus mengancam Iran (terkait dengan kasus program nuklir Teheran), membuktikan asumsi di atas.

Keputusan Obama untuk terlibat langsung dalam Krisis Libya pun kemungkinan besar akibat tekanan kuat dari kaum Hawkish dan Neocon yang memang selalu "haus darah" dan "haus minyak". Sulit dimungkiri, intervensi militer AS dan kawan-kawan, meski atas nama "kemanusiaan", pada hakikatnya lebih didorong oleh nafsu menguasai ladang-ladang minyak Libya. Kaum Hawkish dan Neocon-khususnya yang tergabung dalam PNAC (Project for New American Century)-selalu berdalih, untuk "menguasai dunia, harus pula menguasai sumber energi minyak bumi."

Akibatnya, AS/NATO hanya "berani" mengintervensi secara militer terhadap Libya, tapi tidak kepada negara-negara Arab lain (kendati sudah banyak warga sipil yang tewas akibat kebrutalan penguasa) seperti Yaman dan Bahrain. Libya merupakan negara kaya minyak dan sekaligus menjadi negara Arab yang dikendalikan oleh pemimpin yang sulit dikendalikan Barat, berbeda dengan Yaman dan Bahrain.

Nasib Israel
Selama berpuluh-puluh tahun, negara Zionis Israel selalu dicitrakan sebagai sebuah negara "paling maju" di Timur Tengah. Negara ini dianggap memiliki keunggulan di segala bidang dibanding negara-negara Arab tetangganya yang selalu dicitrakan "terbelakang". Pandangan ini tidak sepenuhnya salah. Terutama, jika mengacu pada beberapa kali kekalahan Arab dalam perang melawan Israel serta kelihaian kaum Lobi Zionis dalam mengendalikan elite politik dan media massa Barat.

Namun, mitos keunggulan Israel mendadak mulai runtuh, terutama setelah tiga kejadian penting, yaitu perang Israel vs Hizbullah Lebanon pada 2006, perang Israel vs Hamas di Jalur Gaza (2008), serta penyerangan atas kapal sipil "Maxi Marmara" dan "Rachel Corie" di perairan Jalur Gaza (2010).

Perang Isral vs Hizbullah dan Hamas membukakan mata dunia bahwa keunggulan militer Israel ternyata hanya tinggal mitos belaka. Sementara kasus "Maxi Marmara" dan "Rachel Corie" berhasil membalikkan sikap mayoritas warga Barat, yang semula bersimpati berbalik menjadi antipati pada rezim Zionis Israel, yang terbukti tak segan-segan mengorbankan warga sipil untuk tujuan politiknya. Dalam hal ini sebenarnya Israel layak disejajarkan dengan Alqaidah sebagai kaum "teroris" dunia.

Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad pernah menegaskan, Israel layak "dihapuskan" (wipe off) dari peta dunia lantaran eksistensinya dianggap "ilegal". Israel memang didirikan di atas fondasi kebohongan yang bernama "holocaust" yang konon telah mengakibatkan tewasnya "enam juta" warga Yahudi di tangan Hitler pada masa Perang Dunia.

"Holocaust" menjelma menjadi "kebenaran mutlak" yang nyaris "menyamai" agama. Di Eropa, misalnya, ada seorang sejarawan yang dijebloskan ke penjara hanya karena dia menyanggah kebenaran ilmiah "holocaust".

Sudah tentu, pernyataan Ahmadinejad tersebut menyulut api kemarahan di Barat dan para anteknya. Namun, Ahmadinejad justru memperoleh simpati dari kalangan rabi Yahudi "anti-Zionis" yang tergabung dalam kelompok "Neturei Karta" yang berbasis di Washington DC. Sudah lama kelompok rabi "ortodoks" ini meyakini bahwa eksistensi negara Zionis Israel justru bertentangan dengan Kitab Suci mereka, Taurat (lihat, www.nkusa.org).

Jika mayoritas warga Arab kini menatap masa depan yang lebih cerah akibat gelombang demokratisasi, tidak demikian halnya dengan warga Israel. Rezim Zionis Israel kini sudah kehilangan hak moral untuk membanggakan diri sebagai negara Timur Tengah yang paling demokratis. Israel kini bahkan diselimuti rasa waswas dengan gelombang demokratisasi di dunia Arab.

Pasalnya, cepat atau lambat, gelombang demokratisasi yang tengah melanda Dunia Arab bak Tsunami yang bakal menyapu bersih para sekutu Zionis Israel dan para "boneka" Barat di kawasan ini. Wallahu a'lam

Berkarya dalam Sunyi

Erdy Nasrul,
M Ikhsan Shiddieqy

Bukan pertama kali Republika memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh yang dianggap mampu mengubah bangsa Indonesia. Sebelumnya, Republika terus memberikan penghargaan sejak 2005 lalu. Tidak kurang dari 34 tokoh telah dianugerahi penghargaan itu.

Kali ini, penghargaan itu kembali diberikan kepada tujuh tokoh yang selama 2010 dianggap berpengaruh melakukan perubahan di Indonesia. Mereka berasal dari kalangan mubaligh, novelis, penemu, pemimpin daerah, dan juga menteri.

Para tokoh yang menghadiri acara ini adalah Ketua MPR Taufiq Kiemas, Menko Kesra Agung Laksono, Menhut Zulkifli Hasan, Mendiknas Mohammad Nuh, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menag Suryadharma Ali, Menkes Endang Rahayu Sedyaning sih, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amelia Sari Gumelar, Menkop dan UKM Sya riefudin Hasan, Wakil Mendiknas Fasli Jalal, Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad, Ketua Komisi Yudisial Eman Su parman, dan mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

Pemimpin Redaksi Republika Nasihin Masha mengatakan, Republika dengan sadar memilih tokoh perubahan karena Indonesia butuh individu-individu pionir yang bisa melakukan perubahan sosial. Semuanya bermuara bagi Indonesia yang sejahtera, makmur, dan berkeadilan.

"Pada titik inilah kita bukan sekadar memilih apa yang dia lakukan, tapi juga menilai apa dampaknya bagi masyarakat," kata Nasihin dalam sambutannya pada acara anugerah Tokoh Perubahan Republika 2010 di Gedung Djakarta Theatre, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (31/3) malam.

Dalam teori perubahan sosial, kata Nasihin, ada banyak faktor penyebab perubahan sosial. Salah satunya adalah hadirnya individu-individu pionir. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan menggerakkan masyarakat, memiliki visi ke depan yang mendahului zamannya, dan memiliki keyakinan serta kemampuan untuk mewujudkannya.

Karena itu, lanjut Nasihin, tokoh perubahan itu bisa siapa saja. Bisa orang-orang yang memiliki jabatan di pemerintahan, pengusaha, seniman, tokoh agama, atau siapa pun dia. Yang penting adalah apa yang dia lakukan dan apa dampaknya bagi masyarakat.

Dari ratusan nama yang diusulkan pembaca Repulika, akhirnya delapan tokoh dipilih sebagai insan yang paling pantas menyandang gelar pionir perubahan tahun 2010. Mereka adalah novelis perempuan Asma Nadia, Wali Kota Solo Joko Widodo, Ketua PMI Jusuf Kalla, penemu kreatif bidang bioenergi Soelaiman Budi Sunarto, Gubernur NTB M Zainul Majdi, pegiat dakwah di Papua Ustaz Muhammad Zaaf Fadhlan Rabbani At-Garamatan, serta Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Nasihin berharap, anugerah Tokoh Perubahan Republika ini bisa menstimulus terjadinya resonansi, repetisi, dan histeria di masyarakat. Selain itu, dalam skala mikro, Republika mengajak masyarakat untuk mengapresiasi orang-orang yang telah berbuat ini. Mereka memilih berbuat walau kadang sunyi dari hiruk-pikuk

"Mereka lebih suka tangannya berlumur lumpur daripada sibuk membedaki wajah. Tugas kitalah untuk membunyikannya agar dunia tahu: ini lho tokoh kita. Dengan demikian, kita menjadi tak tertipu oleh orang-orang yang cuma pandai menggunakan media untuk membangun popularitas belaka," kata Nasihin.

Perubahan memang harus dimulai, meskipun dari langkah yang kecil. Bagi seorang pejabat negara, ketika melakukan perubahan kearah positif tentu dampaknya bisa di nik mati banyak pihak. Sa lah satunya adalah Zulkifli Hasan yang dinilai layak mendapat gelar Tokoh Perubahan 2010 karena menjadi menteri kehutanan pertama yang mencanangkan moratorium penebangan hutan.

Zulkifli menilai, anugerah Tokoh Perubahan 2010 sebagai sebuah kehormatan namun juga sekaligus beban. "Saya melakukan tugas biasa saja, tapi dapat penghargaan dari Republika membuat saya deg-degan. Dulu kalau salah-salah dikit boleh, dengan penghargaan ini tidak boleh salah lagi. Dulu Kementerian Kehutanan mengeluarkan izin tebang pohon, sekarang tidak boleh ada izin tebang pohon lagi."

Pejabat lain yang dianugerahi Tokoh Perubahan adalah M Zainul Majdi. Dua setengah tahun memimpin NTB, angka kemiskinan berkurang 2,36 persen atau rata-rata 1,2 persen per tahun (nasional kurang dari satu persen). Ini diiringi pertumbuhan ekonomi dua digit yaitu 11,3 persen (nasional enam persen) serta angka pengangguran yang ditekan sampai 5,6 persen (nasional 6,7 persen).

"Ini motivasi agar berkhidmat lebih baik dan menyemangati rakyat NTB, walaupun rasio APBN NTB paling rendah. Sebenarnya, yang ikhtiar itu masyarakat NTB, saya hanya datang menyapa, memotivasi," kata doktor lulusan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, ini.

Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi dikenal sebagai pemimpin Kota Solo yang sederhana. Salah satu gebrakannya adalah mengadakan layanan perizinan satu atap (one stop service) yang transparan serta prosesnya cepat dan pasti. Pembuatan KTP yang dulunya bisa berminggu-minggu kini selesai dalam satu jam dengan biaya hanya Rp 5.000.

Dari mantan pejabat ada Jusuf Kalla yang benar-benar terjun ke ranah sosial selepas dari jabatan wakil presiden. Seperti ketika masih di pemerintahan, berbagai terobosan pun dilakukannya yang menjadikan PMI terdepan tiba di tempat bencana serta tumpuan utama warga yang tertimpa bencana.

PMI kini lebih berdaya dengan perlengkapan baru seperti helikopter dan kendaraan segala medan Hagglund. "Di PMI bekerja kemanusiaan itu ibadah. Bedanya, lebih cepat lebih baik itu. Mengatasi bencana ada batas waktu, lebih agresif, bagaimana kurangi penderitaan orang, kurangi penderitaan itu," kata Kalla.

Kemudian, Ustaz Fadhlan Garamatan atas sepak terjangnya mendakwahkan Islam di pedalaman Papua membuatnya dikenal sebagai ustaz sabun. Berdakwah sambil membawa sabun, Fadhlan menyuarakan pentingnya bersuci (thaharah). Dengan memakai sabun, warga pedalaman tak lagi membalur badannya dengan minyak babi. "Saya harus jadi pegawai Nabi Muhammad SAW," kata Fadhlan menyebut alasannya menjadi dai.

Soelaiman Budi Sunarto selalu mengampanyekan kebaikan energi alternatif. Maestro bioenergi ini punya prinsip bahwa semua yang 'hijau' bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif. Jangan tanya jumlah energi alternatif yang telah dia telurkan.

"Saya tidak ingat inovasi apa yang sudah diperbuat. Tugas saya, agar bangsa ini beradab, dengan menciptakan kemakmuran, terlaksana apa yang menjadi rencana. Tidak ada kerusuhan," kata Soelaiman.

Sementara itu, Asma Nadia sebagai satu-satunya perempuan penerima anugerah Tokoh Perubahan Republika 2010 dinilai berhasil menginspirasi banyak orang, khususnya pembaca karyanya untuk melakukan hal-hal positif. Anugerah ini sekaligus hadiah ulang tahun terindah bagi Asma. Penulis novel Rumah Tanpa Jendela yang sudah difilmkan tersebut merayakan ulang tahun ke-39 pada 26 Maret 2011. c07 ed: rahmad budi harto

Banyak Perusahaan Korban MD

Bilal Ramadhan,
A Syalabi Ichsan

JAKARTA -- Mabes Polri merekonstruksi aliran dana pencucian uang yang dilakukan karyawati Citibank berinisial MD dengan mengajak serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). MD yang kerap dikenal sebagai Melinda Dee atau Malinda Dee ternyata memiliki nama asli Inong Melinda.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Bachrul Alam mengatakan, pihaknya telah meminta bantuan PPATK untuk menelusuri aliran dana milik MD. "Kita ingin mengecek aliran dananya ke mana saja," ujarnya di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (31/3).

Polri ingin mengetahui bank-bank yang dimanfaatkan MD untuk menyalurkan uang hasil penggelapan dana milik nasabahnya di Citibank yang sementara diperkirakan mencapai Rp 17 miliar. Namun, Anton belum bersedia mengungkap lebih detail kasus ini dengan alasan masih dalam penyidikan.

MD diketahui memiliki beberapa perusahaan di Jakarta yang digunakan untuk memarkir uangnya. Meskipun, pemilik perusahaan itu dibuat atas nama berbeda-beda. "Untuk perusahaannya bergerak di bidang apa, itu belum bisa dikatakan," kata Anton.

Hingga saat ini korban MD yang telah melapor ke Polri baru tiga perusahaan. Anton mengatakan, perusahaan yang menjadi korban MD sebenarnya banyak. Namun, dia menduga, mereka enggan melapor secara resmi karena berasal dari kalangan perusahaan ternama di negeri ini. "Mungkin mereka khawatir, jika dipublikasikan akan merugikan."

MD telah bekerja di Citibank selama 20 tahun. Terakhir, dia menduduki jabatan sebagai senior relations manager yang khusus menangani nasabah dengan dana lebih dari Rp 500 juta. Anton mengungkapkan, penggelapan yang dilakukan MD dilakukan sejak tiga tahun terakhir.

Setiap dana yang digelapkan MD dalam satu transaksi diperkirakan berkisar satu sampai dua miliar rupiah. Karena itu, Anton memperkirakan, kerugian nasabah Citibank akibat ulah pegawainya ini lebih dari Rp 17 miliar. "Melinda menjadikan perusahaan-perusahaan prioritas dalam artian yang high level untuk menjadi korbannya."

Di tempat terpisah, Kepala PPATK Yunus Husein akan mengecek laporan hasil analisis (LHA) rekening mencurigakan atas nama MD. "Biasanya ada, apalagi sudah di tangan polisi," katanya.

Tapi, Yunus belum mengetahui apakah rekening MD telah ditelusuri oleh anak buahnya dan dijadikan LHA, dengan alasan baru selesai dinas di luar kota. Dia menjelaskan, kejahatan perbankan memang kerap terjadi sehingga berada di urutan ketiga asal pidana pencucian uang, sama dengan kejahatan narkotika. Di atas perbankan terdapat kejahatan korupsi dan penipuan dengan pemalsuan dokumen di nomor urut satu dan dua.

Orang dalam bank
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika mengatakan, tidak ada satu pun bank yang aman dari celah kejahatan perbankan. Dan, kejahatan ini hampir bisa dipastikan melibatkan orang dalam. “Dalam kasus semacam ini dan terbukti dalam banyak kasus, ada keterlibatan orang dalam. Semua jenis bank pernah mengalami pembobolan.”

Apalagi, tambah Ahmad, celah untuk membobol bank memang masih cukup lebar. Alasannya, sistem perbankan di Tanah Air hingga hari ini belum sanggup mengatasi kelemahan moral hazard yang bisa dilakukan pegawainya sendiri. Dalam beberapa kejadian, bank bahkan menyembunyikan kasus yang terjadi karena khawatir berdampak pada bisnisnya yang dibangun atas dasar kepercayaan.

Direktur Utama Bank BRI Sofyan Basyir mengakui, kejahatan perbankan yang melibatkan orang dalam memang sulit dideteksi. Secanggih apa pun sistem pengawasan dan keamanan yang diterapkan bank, tidak akan berguna bila orang-orang di dalamnya nakal. "Tak ada yang akan bisa benar-benar terhindar dari kejahatan semacam ini," katanya.

Kendati begitu, Sofyan melanjutkan, bukan berarti bank tidak bisa meminimalkan risiko. Dia mencontohkan, di bank yang dipimpinnya kini, fungsi pengawasan diperketat dengan mendirikan auditor lokal di setiap kantor cabang. Auditor itu berfungsi untuk memastikan semua transaksi keuangan di bank BUMN ini berjalan sesuai koridor. Dengan begitu, setiap penyimpangan diharapkan bisa cepat terdeteksi.

Sementara, Bank Mandiri menerapkan tiga lapis pengawasan mulai dari cabang, kantor wilayah, dan internal audit untuk menghindari kejahatan perbankan. "Dengan tiga lapis pencegahan ini, kami rasa sudah maksimal untuk memberikan jaminan kepada nasabah," ujar Direktur Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini. fitria andayani/palupi annisa auliani ed: budi raharjo