Sabtu, 13 November 2010

Madrasah

akar sejarah atau asal usul lembaga pendidikan Islam misal madrasah adalah
merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Madrasah-madrasah yang
timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat dan
��������������, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah
Hijriyah (Maksum, 1999: 60)
Mengawali asal usul pesantren atau akar sejarah pesantren
sama halnya dengan membahas sejarah madrasah dan sekolah
Islam, karena ketiga lembaga pendidikan ini bernuansa religius atau
dengan kata lain fokus studinya keagamaan di samping studi yang
lain yang mendukung visi misi ketiga lembaga tersebut juga menjadi
program pembelajarannya.
Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal
abad 20, sebagai akibat dari kurang puas terhadap sistem pesantren (
waktu itu ) yang dianggap sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu
fardlu ’ain (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 241) , terdapat dua hal
yang melatar belakangi tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia,
pertama adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua respon terhadap
politik pendidikan Hindia Belanda. Kemunculan dan perkembangan
madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam
dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik
di Jawa , Sumatera maupun Kalimantan. Oleh karena itu pendidikan
dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan
keislaman masyarakat . Dalam kenyataannya , pendidikan yang
terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu agama ubudiyyah, sebagaimana
ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan pesantren,
pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan
perhatian kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan
budaya, untuk melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan
tindakan masyarakat itu langkah strategis yang harus ditempuh
adalah memperbaharui sistem pendidikannya.

Eksistensi Madrasah dan Sekolah Islam
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia
relatif lebih muda dibanding pesantren. Lahir pada abad 20 dengan
munculnya madrasah Manbaul Ulum Kerajaan Surakarta tahun
1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah
Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. Madrasah berdiri atas
inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam
yang telah ada. Menarik untuk diamati mengapa sistem pendidikan
pesantren sendiri justru tidak bersifat statis, tetapi selalu mengalami
pertumbuhan seiring dengan perubahan masyarakat yang terjadi.
Demikian juga madrasah dan sekolah Islam di Indonesia selalu
melakukan terobosan-terobosan guna mempertahankan eksitensinya
(Mas’ud Abdurrahman, 2002: 226) .
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, kini ditempatkan
sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Di
dalam salah satu diktum surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri
(Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri)
disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan
mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah-sekolah umum, dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi (Mastuhu, 1999: 226).

Sistem pendidikan madrasah di masa akan datang, diharapkan
merupakan suatu “industri” dalam arti bahwa pendidikan
memerlukan pengelolaan yang professional agar “rate of returns” dari
industri pendidikan itu sama atau lebih baik dari investasi dalam
sektor ekonomi lainnya.
Untuk memperkuat eksistensi Madrasah, pemerintah
mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Presiden No. 34 Tahun
1972 tentang ”Tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan ”.
Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal sebagai berikut
(Maksum,1999: 146):
1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan
bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan umum dan
kejuruan
2. Menteri Tenaga Kerja betugas dan bertanggung jawab atas
pembinaan latihan keahlian dari kejuruan tenaga kerja bukan
pegawai negeri
3. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung
jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk
pegawai negeri
----------------------------------------------------------------------
H. Agus Salim, Moh. Hatta, Tjokroaminoto, Wahid Hasyim, HAMKA, dan sejumlah pendiri bangsa ini adalah alumni madrasah.

Sejarah madrasah

Madrasah adalah saksi dari perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah (1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.

Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913) yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian.

Belanda tentu saja resah akan perkembangan madrasah, lalu keluarlah peraturan yang menetapkan madrasah sebagai "sekolah liar", kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan yang melarang atau membatasi madrasah. Kalaupun kemudian Pemerintah Belanda memberikan apresiasi pada kepentingan Islam, bantuan diberikan 7.500 gulden untuk 50.000.000 jiwa. Menyimak pidato Oto Iskandardinata pada 1928 di Voolkraad, bantuan itu dianggap penghinaan karena seharusnya yang diberikan Belanda satu juta gulden.

Akan tetapi, madrasah berdiri di mana-mana. Madrasah adalah perjuangan warga republik ini untuk mendapatkan pendidikan. Pada 1915 berdiri madrasah bagi kaum perempuan, yaitu Madrasah Diniyah putri yang didirikan Rangkayo Rahmah Al-Yunisiah. Zaiuniddin Labai ini juga yang pertama kali mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Minangkabau pada 1919.

Sayangnya, madrasah tetap saja tersingkirkan. Saat Indonesia merdeka, madrasah masih dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Pemerintah Indonesia hanya mengeluarkan Maklumat BP KNIP 22 Desember 1945 No. 15 yang menyerukan agar pendidikan di musala dan madrasah berjalan terus dan diperpesat; kemudian diperhatikan melalui keputusan BP KNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah) dan melalui Laporan Panitia Penyelidik Pengarahan RI tanggal 2 Mei 1946 yang menegaskan, pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah dipandang perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi bantuan berupa biaya sesuai dengan keputuan BP KNIP. Perhatian pemerintah negeri ini diwujudkan dengan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950 yang memberikan bantuan kepada madrasah dengan subsidi per siswa @ Rp 60,00.

Baru pada masa reformasi, UU No. 20/2003 tentang UUSPN khususnya Pasal 17 Ayat 2 dan Pasal 18 Ayat 3, madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah umum. Namun, pemerintah masih enggan memberikan bantuan, apalagi pernah beredar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh Ma`ruf, tanggal 21 September 2005 No. 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 yang melarang pemerintah daerah mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal (termasuk terhadap madrasah).

Reformasi kemudian melahirkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada PP ini terdapat Pasal 12 ayat (1) yang menyebutkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Anehnya, PP ini pun masih dianggap angin lalu. Masih banyak pemerintah daerah yang belum memberikan perimbangan dana kepada madrasah. Dana 20% pendidikan di APBD masih menjadikan madrasah sebagai sisipan.

Masa depan madrasah

Saat ini, di Indonesia, terdapat 38 ribu madrasah. Setiap tahunnya, madrasah meluluskan dua ratus ribu siswa, tetapi tak sampai sepuluh persen yang melanjutkan kuliah karena keterbatasan dana; hanya sekitar 20% yang gurunya PNS, sementara yang non-PNS tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah. Apakah 5,5 juta siswa madrasah dan 456.281 guru madrasah ini bukan warga negara Indonesia sehingga mendapatkan perlakuan yang berbeda?

Sebentar lagi pemilihan presiden dan wakil presiden, entah apakah mereka yang terpilih akan memperhatikan nasib madrasah atau akan terus meniru perlakuan penjajah Belanda?
---------------------------------------------
Pada dasarnya timbulnya madarasah didunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan zawiyah-zawiyah tersebut guna menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar secara kuantitas semakin membengkak.
Kata “Madrasah” berasal dari bahasa Arab sebagai keterangan tempat (dzaraf), dari akar kata : “Darasa, Yadrusu, Darsan, dan Madrasatan”. Yang mempunyai arti “Tempat belajar para pelajar” atau diartikan “jalan” (Thariq), misalnya : ِمَعِّن􀑧لا ُة􀑧َسَرْدَم ِهِذ􀑧َهdiartikan : “ini jalan kenikmatan”. Sedangkan kata “Midras” دْرَسُ 􀑧 المِ diartikan “buku yang dipelajari” atau “tempat belajar” dan kata “Midras” dengan alif panjang دْرَا سُ 􀑧 المِ diartikan “rumah untuk mempelajari kitab Taurat”.
Disamping kata “Madrasah” berasal dari kata “Darasa” yang artinya “membaca dan belajar” dalam bahasa Hebrew atau Aramy. Baik dari bahasa Arab atau Aramy mempunyai konotasi arti yang sama yakni “Tempat Belajar”. Padanan madrasah dalam bahasa Indonesia adalah “sekolah”. Pada
umumnya, pemakaian kata “Madrasah” dalam arti sekolah tersebut, mempunyai konotasi khusus yaitu sekolah-sekolah agama Islam. Yang berjenjang dari madrasah ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Namun, kata “Madrasah” pada awal perkembangannya mempunyai beberapa pengertian, diantaranya : berarti aliran atau mazhab, kelompok atau golongan filosuf, dan ahli pikir atau penyelidik tertentu yang berpegang pada metode atau pemikiran yang sama.
Beberapa pengertian di atas, terjadi karena aliran-aliran yang timbul sebagai akibat perkembangan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan ke berbagai bidang saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam dan berusaha untuk mengembangkan aliran atau mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pemikiran, mazhab atau aliran tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagaian besar madrasah yang didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang mashur, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
Jadi kata “madrasah” pada awal perkembangannya, diartikan jalan pemikiran seorang pemikir atau kelompok pemikir dalam suatu bidang ilmu, kemudian diartikan tempat belajar atau lembaga pendidikan dan pengajaran seperti sekolah yang berkonotasi khusus yaitu yang banyak mengajarkan agama Islam atau ilmu-ilmu keIslaman. Kedua arti tersebut masih terasa dilakukan mayoritas umat Islam sampai sekarang, karena madrasah merupakan tempat penyebaran paham aliran atau mazhab yang dianut untuk disosialisasikan ke seluruh umat. Misalnya madrasah NU yang disebut dengan “Al-Ma’arif” menyebarkan misi Syafi’iyahnya, dan madrasah Muhammadiyah yang membawa paham kemuhammadiyahannya, dan seterusnya.
Pertama kali timbul istilah “Madrasah” adalah berkenaan dengan upaya khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid guna menyediakan fasilitas belajar ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu penopang lainnya dilingkungan klinik (Bimaristain) yang dibangunya di Baghdad. Komplek ini dikenal dengan sebutan “Madrasah Baghdad”. Namun kelihatannya pemakaian istilah tersebut cenderung anatema, terutama kalau diperhatikan tidak adanya kelanjutan dari madrasah Baghdad, kecuali munculnya Bait al-Hikmah dimasa Makmun.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang kita kenal seperti sekarang ini. Hasan Ibrahim Hasan berpendapat bahwa, madrasah belum muncul sebelum abad IV Hijriyah (sebelum 10 Masehi), menurutnya madrasah pertama adalah Madrasah al-Baihaqiyah di Naisabur. Al-Baihaqiyah yang didirikan di Naisapur oleh Abu Hasan ali al-Baihaqi (w. 414 H).
Hasil penelitian seseorang peneliti Richard Bulliet pada tahun 1972, mengungkapkan bahwa selama dua abad sebelum madrasah Nidhamiyah di Baghdad sudah berdiri madrasah di Naisapur sebanyak 39 madrasah dengan madrasahnya yang tertua yaitu “Miyan Dahiya” yang mengajarkan fiqh Maliki.
Demikian juga Naji Ma’ruf mengatakan, bahwa 165 tahun sebelum madrasah Nidhamiyah sudah ada madrasah di Maa waraa al-Nahri dan khurrasan. Sebagai bukti ia mengungkapkan data dari Tarikh al-Bukhari yang menjelaskan bahwa Ismail bin Ahmad (w. 295 H) mempunyai madarasah yang dikunjungi oleh para pelajar untuk melanjutkan pelajaran mereka. Madrasah Naisapur pada masa awal ini didirikan oleh seorang ulama fiqh dengan tujuan utama untuk mengembangkan ajaran mazhabnya. Pada umumnya madrasah tersebut mengajarkan satu mazhab fiqh saja dan sebagian besar bermazhab Syafi’i. Dari 39 madrasah yang dikemukakan oleh Bulliet, hanya satu madrasah yang mengajarkan fiqh Maliki, empat madrasah yang mengajarkan fiqh mazhab Hanafi, dan yang lainnya mengajarkan fiqh mazhab Syafi’i.
Pendapat lain mengatakan bahwa madrasah muncul pertama kali di dunia Islam adalah madrasah al-Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham al-Mulk, seorang penguasa dari Bani Saljuk (w. 485 H.) Ibnu Atsir menyebutkan bahwa Nizham al-Mulk seorang wazir sultan Maliksyah Bani Saljuk (465-485) mendirikan dua madrasah yang terkenal dengan nama madrasah al-Nizhamiyah di Baghdad dan di Naisapur, kemudian diberbagai wilayah yang dikuasainya.
Dari berbagai keterangan di atas kirannya jelas bahwa istilah madrasah pernah muncul pada masa Khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid yang disebut dengan “Madrasah Baghdad”, akan tetapi belum populer dan mengalami stagnasi. Madrasah di kawasan Naisapur pada abad ketiga. Para peneliti kebanyakan menyebutkan wilayah yang sama yaitu di Naisapur, namun, berbeda madrasah mana yang dimaksud. Sebagian peneliti menyebutkan madrasah “al-Baihaqiyah”, tetapi ternyata jika dilihat dari masa hidup pendirinya yaitu Abu Hasan Ali al-Baihaqi yang wafat 414 H, pendapat ini kurang tepat. Sebagian lagi berpendapat madrasah “Miyan Dahiya”, mungkin pendapat inilah yang lebih kuat. Sedang madrasah Nizhamiyah di Baghdad adalah madrasah terbesar pertama di dunia Islam yaitu pada abad kelima Hijriyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar