Kamis, 16 Desember 2010

Dalam pembahasan paham manunggaling kawula gusti terbagi kepada ittihad, hulul dan tauhid (wihdatul wujud). Ketiga istilah dalam tasawuf ini merupakan hal-hal yang yang bertentangan dengan Islam. Satu contoh kasus bahwa al-Hallaj mati dibunuh karena tuduhan mempunyai paham hulul. Dengan trauma tersebut banyak pengarang-pengarang klasik tentang tasawuf yang tidak membahas ittihad, hulul dan tauhid (wihdatul wujud) dalam buku-buku mereka.
Al Ittihad



Ittihad ialah satu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah satu. A. R. al-Badawi, mengatakan bahwa yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dengan uhan “identitas telah hilang, identitas menjadi satu”

Abu Yazid Al Busthamy .w. 261 H mengungkapkan “Suatu kali Allah mengangkatku dan mendirikanku di hadapanNya. Dia berfirman padaku, “wahai Abu Yazid Sesungguhnya makhluk-Ku cinta melihatmu.” Lalu saya berkata, “Hiasilah diriku dengan keesaan-Mu, kenakanlah padaku ego-Mu, dan angkatlah aku kepada ketunggalan-Mu. Sehingga, ketika makhluk-Mu melihatku, mereka berkata “kami melihatmu” Sehingga Engkau ada di sana, dan tiada aku di sini.”

Di sini Abu Yazid telah dekat benar pada Tuhan tetapi persatuan belum tercapai : Akhirnya ittihad tercapai sebagaimana kelihatan dari ucapannya : “Tuhan berkata : Semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-Ku. “Aku pun berkata :” Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau”.



Konsep Hulul (Inkarnasi)



Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ ialah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Tokoh yang terkenal dari paham ini adalah al-Hallaj yang lahir di Persia tahun 858 dan dihukum mati tahun 922, Ia tinggal di Baghdad. Menafsiri surat Al-Baqoroh 34 ia mengatakan bahwa Allah memberi perintah kepada manusia untuk sujud kepada Adam, karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Ia menjelma dalam diri Isa a.s. Menurut al-Hallaj Allah mempunyai dua nature atau sifat dasar : Ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nashut).

Bila disimpulkan maka pendapat al-Hallaj adalah bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi, dan hal inilah yang disebut hulul (mengambil tempat) menurut al-Hallaj.

Tujuan kaum sufi bukanlah sekedar mencari surga dan neraka akan tetapi hendaknya setiap sufi menjadi Tuhan yang mengetahui perkara gaib seperti yang diketahui Allah, dan mengatur alam ini sebagaimana Allah mengatur, serta menghidupkan, mematikan, menjaga, mengangkat, merendahkan, memuliakan dan menghinakan. Ajaran ini disebut juga immanensi Roh Tuhan dalam diri manusia.

Tujuan tasawuf ini adalah mencapai derajat kenabian terlebih dahulu, kemudian meningkat hingga dalam pengakuan mereka bahwa dirinya mencapai derajat ketuhanan.


Konsep Wihdatul Wujud



Terminologi wihdatul wujud dalam aqidah sufistik adalah tidak ada yang maujud kecuali Allah, yang tidak ada selain-Nya dalam alam wujud ini. Realitas-realitas yang kita lihat hanyalah perwujudan dari hakikat yang satu. Ialah hakikat Ketuhanan.

Harun Nasution dalam bukunya (Falsafat dan Mistisisme dalam Islam) menerangkan bahwa wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud, unity of existence, paham ini merupakan lanjutan dari paham hulul.

Muhyiddin Ibnu Arabi w. 638 H berpaham bahwa ia menukil ilmu dan kitabnya dari Rasulullah saw secara langsung; ia menulis dari lauh mahfudh tanpa perantara; merumuskan aqidah wihdatul wujud dengan berani dan tanpa ragu, bahkan dengan sedikit pemalsuan ;mampu membelokkan ayat-ayat Al qur’an sehingga ia berpendapat bahwa kaum Nabi Hud yang kafir itu berada pada jalan yang lurus, sesungguhnya Fir’aun itu mukmin yang sempurna imannya, kaum nabi Nuh itu adalah orang-orang yang beriman sehingga Allah memberi balasan mereka dengan menenggelamkan mereka di “Lautan Keesaan” dan memasukkan kedalam neraka cinta ilahi agar mereka merasakan nikmat di dalamnya, dan sesungguhnya Harun itu bersalah karena melarang Bani Israil untuk menyembah patung anak sapi, sedangkan patung anak sapi itu adalah sesembahan Yang Haq, atau salah satu dari bentuk-bentuk sesembahan Yang Haq.

Dalam paham wihdatul wujud, Ibnu Arabi merubah apa yang ada pada hulul. Ia merubah nasut menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq. Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu dengan khalq menjadi aspek sebelah luar dan haq aspek sebelah dalam. Aspek yang terpenting dari keduanya adalah haq sedangkan khalq merupakan aspek bayangan atau mendatang.

Pemahaman yang muncul sebagai kelanjutan dari hulul, bahwa Allah akan melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan karena itu dijadikan-Nya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin Allah. Sebagaimana orang melihat dirinya pada beberapa cermin maka ia akan melihat jumlah bayangan sebanyak jumlah cermin di sekelilingnya, ia kelihatan banyak padahal sebenarnya satu. Hal ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan dan wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.

Dalam tasawuf penghayatan manunggaling kawula Gusti ini bisa mereka capai melalui memuncaknya penghayatan fana’ hingga fana’ al fana’ dalam dzikir, dan bisa pula dari pendalaman rasa cinta rindu yang memuncak pada mabuk cinta (sakar) di dalam Tuhan, atau dari kedua duanya dari mendalamnya cinta dalam zikir dan fana’ al fana. Penghayatan manunggal dengan Tuhan yang berasal dari gelora rasa cinta bisa dipahami dengan evolusi dalam mengalami sepuluh tangga ahwal, yaitu dari cinta mendalam hingga mencapai syauq (rindu-dendam), dan kemudian meningkat jadi pengalaman uns, yakni kegilaan dalam asyik-maksyuk (intim) dengan Tuhannya.

Mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud, Yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan. Kemudian dari wahdat al syuhud memuncak menjadi wahdat al wujud atau monisme, segala yang ada ini adalah Allah.

Penghayatan al Hallaj yang mendasari dasar pikiran falsafinya diungkap dalam risalah kecilnya Thawasin. Di antara ungkapan-ungkapan ialah :

“Tercampurn Ruh-Mu di dalam ruhku seperti tercampurnya khamer dengan air jernih; Maka apabila menyentuh pada Mu sesuatu, menyentuh aku pula;maka sebenarnya Kamu adalah aku dalam segala keadan.”

Ajaran lain dari al Hallaj adalah tentang Nur Muhammad (Logos,Insan Kamil), bahwa mula pertama yang diciptakan Allah adalah Nur Muhammad terciptanya segala apa yang ada (dalam alam semesta) ini. Nur Muhammad ini bersifat azali dan kadim.

Dalam kancah dakwah Walisongo, terdapat catatan sejarah bahwa Syeikh Siti Jenar dihukum mati oleh wali-wali yang lain karena mempunyai paham al-ittihad. Dengan adanya reaksi yang keras dari tokoh/kaum muslimin terhadap tiga paham ini (al-ittihad, al-hulul dan tauhid/wihdatul wujud) baik pada zaman al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi sampai Siti Jenar maka tidak ada dari kalangan sufi yang berani mengaktualkan ajaran ini, kalaupun ada tentunya secara sembunyi-sembunyi.



DAFTAR BACAAN :

1. Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme dalam islam (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1999 ), cet. Ke-10
2. Simuh, Tasawuf dan perkembangannya dalam islam (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1997) cet. Ke-2
3. Syeikh Abdurrahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-penyimpangan tasawuf,(Jakarta : Robbani Press, 2001) cet. Ke-1
4. Dr. Ihsan Ilahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf (Jakarta: Darul Falah, 1409 H/1980 M), cet Ke-1
5. ------------------,Tasawuf…! Bualan kaum sufi ataukah sebuah konspirasi (Jakarta: Darul Haq, 1422 H/2001 M) cet Ke-1
6. Syaikh Fadhillah Haeri, Belajar mudah tasawuf (Jakarta : PT Lentera Basritama, 1421 H/2001 M) cet Ke-3
7. Prof.Dr.H Aboebakar Atjeh, Pengantar sejarah sufi dan tasawuf (Solo: CV. Ramadhani, 1984) cet. Ke-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar