Senin, 13 Desember 2010

pengertian ittihad

Ittihad merupakan salah satu khasanah spiritual yang dimiliki Islam, sebuah pemaknaan Islam yang bercorak mistis dan sufistik.

Hanya saja, dalam perjalanannya cap stereotip kerap dilekatkan, dikecam banyak orang dan dianggap sesat. Tidak tahu persis apa motif dibalik pengecaman itu, tapi yang jelas, perkembangannya nyaris mengalami jatuh bangun dan pasang surut.

Padahal, bila ajaran-ajaran sufisme ini tumbuh kembang, bukan tidak mungkin akan memberikan kontribusinya bagi terbangunnya tatanan kehidupan yang damai, harmonis, rukun dan bebas konflik. Dan dengan tumbuh kembangnya pemahaman agama yang bercorak sufistik, problem demoralisasi akan terjawab.

Apalagi, di era modernitas dan globalisasi saat ini, masalah moral sudah terasa akut. Moral dalam segala lini dan sektor: politik, sosial, hukum, etika, rumah tangga, gaya hidup dan lain-lain. Sialnya, problem demikian tak kunjung dijawab oleh model beragama yang ada saat ini.

Apa pasal? Bisa jadi, model beragama saat ini lebih menitikberatkan pada praktik-praktik lahiriah, seremonial, formal, dan simbolisme belaka.

Berbeda dengan sufisme, kedalaman spiritual dan ketajaman jiwa yang menjadi karakter beragama sufisme menjadikan nurani, hati, pikiran dan batin lebih terasah dan peka terhadap perbedaan antara baik dan buruk, antara yang tidak patut dan tidak patut dikerjakan.

Syatohad

Bicara pengertian ittihad, bisa juga dimaknai sebagai bentuk dari ajaran-ajaran tasawuf atau sifisme, yakni kesadaran bersatu dengan Tuhan.

Secara sederhana, tasawuf didefinisikan sebagai jalan menemukan kebenaran jiwa dan kesadaran hakiki manusia agar mampu mengalami perjumpaan dengan wujud Allah.

Ittihad berasal dari kata ittahad-yattahid-ittihâd (dari kata wâhid) yang berarti bersatu atau kebersatuan. Ittihad merupakan proses kejiwaan dan cara berkomunikasi antara manusia dengan Tuhan. Amalan-amalan paling dominan adalah berzikir dan mengasingkan diri, disamping juga kontemplasi.

Ittihad bukanlah hasil dari proses-proses yang didapat dari panca indera atau pun akal, tapi produk dari proses perenungan spiritual dan refleksi kebatinan.

Konsep lain yang sepadan dengan ittihad adalah cinta. Ketika sufi larut dalam perjumpaan dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menjadi dwitunggal. Dua dalam satu. Menjadi satu.

Seorang sufi yang dimabuk cinta dengan Tuhan, penglihatan, pendengaran, dan perasaan hati menemukan hakikat yang sebenarnya. Kerap terlontar ujaran-ujaran yang tidak umum, atau yang disitilahkan denga syathohat.

Seperti, “Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku”, “Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku”, aku adalah Engkau. Ungkapan-ungkapan ini dilontarkan sufi saat memasuki pintu ittihad.

Menemukan kondisi ittihad adalah ketidaksadaran. Wujud alam sekitar, termasuk tubuh tidak lagi dikenal. Yang dikenalnya hanyalah dirinya sebagai Tuhan. Kondisi ketidaksadaran yang diberikan Tuhan menuju pintu ittihad.

Untuk merasakan ketidaksadaran sebagai pintu ittihad yang diberikan Tuhan, seorang sufi perlu mengasah jiwanya dengan beribadah dan selalu dekat pada Tuhan dalam kesabaran dan ketekunan.

Seperti disinggung diatas, ciri-ciri ittihad adalah dwi tunggal. Dua dalam satu. Artinya, walau ada dua wujud, tapi yang dirasakan cuma satu. Tuhan adalah sufi, sufi adalah Tuhan. Sosok Tuhan adalah sosok sufi. Begitu sebaliknya. Juga saling berganti peran. Peran sufi dan peran Tuhan adalah satu peran.

Komentar Aboebakar Atheh (1984) terhadap fenomena sufisme Abu Yazid diistilahkan dengan tajrid fana fi tauhid. Mirip dengan pengertian yang disebut diatas, istilah ini dimaksudkan sebagai bersatunya Tuhan dengan manusia. Tidak lagi ada dinding pemisah atau batas antara Tuhan dan manusia.

Bukan Tuhan

Munculnya ungkapan-ungkapan syatohat memang terasa aneh. Sebab, ada semacam pengidentifikasian bahwa seorang yang mengalami ittihad adalah Tuhan, walau sebenarnya tidaklah demikian. Seorang sufi kenamaan Abu Yazid mengatakan bahwa pengalaman ittihad bukanlah berarti menjadi Tuhan.

Memang, seolah-olah yang berbicara adalah Tuhan, tapi sebenarnya adalah sufi itu sendiri. Tuhan berbicara lewat lidah manusia karena dalam kondisi fana. Dalam situasi ittihad-lah ungkapan-ungkapan syatohat muncul, yang, sekali lagi, bukan diucapkan sang sufi, tapi oleh Tuhan dengan menggunakan mulut sang sufi.

Tidak jarang praktik-praktik atau ajaran-ajaran sufisme dipandang sebelah mata dan kerap dituduh menyalahi prosedur memahami Tuhan. Klaim-klaim sesat dan menyesatkan kerap terlontar dari kalangan yang anti terhadap tasawuf atau sifisme.

Karenanya, agar terhindar dari salah pemahaman terhadap ittihad, apa yang ditawarkan William James, seorang pengamat mistisisme dalam bukunya The Varietes of Religion Experience, perlu diperhatikan.

Pertama, melihatnya sebagai fenomena yang tidak bisa diungkapkan. Yakni pengalaman yang tidak mungkin ditransformasikan atau dipindahkan pada orang lain. Atau, sebuah pengalaman yang memang harus dialami sendiri.

Kedua, pengalaman mistis yang kedalaman kebenarannya bukan diperoleh dari aktivitas intelektual atau dalam bangunan diskursus.

Ketiga, kondisi mistis yang tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama.

Keempat, hadirnya keadaan mistis bisa dimungkinkan dengan cara direncanakan dan dipersiapkan. Misal, konsentrasi atau mengamalkan cara-cara yang sudah dibukukan atau disistematisasikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar