Oleh Hamid Fahmy Zarkasyi
Direktur INSIST
Dalam konferensi pertama pendidikan Islam se-Dunia di Makkah tahun 1977 dan yang kedua di Islamabad tahun 1980, Profesor Naquib al-Attas menyampaikan pandangannya bahwa problem utama umat Islam adalah ilmu pengetahuan. Untuk menyelesaikan masalah itu, umat Islam perlu menyusun kembali konsep keilmuan Islam yang mengarah pada pembentukan universitas Islam, yaitu universitas yang struktur, epistemologi, dan teologinya berbeda dari universitas Barat sekuler.
Ide itu disambut baik dunia Islam. Pada 80-an, berdirilah Universitas Islam Internasional di Islamabad (Pakistan) dan Malaysia. Di situ, upaya untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan Islam dan Barat dilakukan secara institusional. Upaya ini dikenal juga dengan istilah Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Namun, karena masalah sumber daya manusia dan berbagai persoalan internal yang menggelayuti umat Islam, proyek ini belum memenuhi harapan dan bahkan ditentang.
Tampaknya, masih dalam upaya yang sama ketika Liga Universitas Islam, Mesir, bekerja sama dengan Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor, menyelenggarakan Konferensi Internasional. Konferensi yang diadakan pada 9-11 Januari 2011 yang lalu itu bertema "Membangun tradisi ilmiah dengan universitas-universitas Asia". Maksudnya adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan di universitas-universitas Islam dengan cara kerja sama dengan berbagai pihak, khususnya dengan universitas-universitas di Asia.
Konferensi yang dihadiri 200 akademisi termasuk 15 rektor universitas di negara-negara Arab, 15 rektor dari universitas di Indonesia dan Malaysia itu membahas tiga topik utama. Pertama, tentang sejarah kebangkitan, pengaruh, dan peran universitas Islam masa kini; kedua, tentang pengalaman dalam pengembangan universitas dalam berbagai hal, dan ketiga, model pengembangan keilmuan di universitas Islam, termasuk pada masing-masing topik ini pengalaman kerja sama.
Pembahasan yang paling menonjol adalah tentang sejarah dan peran universitas al-Azhar di Mesir dalam dunia Islam. Peran universitas yang berumur 1000 tahun lebih itu di dunia Islam cukup besar. Sebab, kini sebanyak 36 ribu mahasiswa dari 102 negara asing sedang belajar di sana.
Kedua, tentang pengalaman universitas Islam masa kini dalam pengembangan berbagai aspek pendidikan tinggi. Di antara pembahasan yang menarik adalah tentang pengembangan ekonomi Islam. Pengalaman pengembangan ekonomi oleh Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI) Saleh Kamil, Mesir, dan pengembangan entrepreneurship di Universitas Brawijaya cukup menarik.
Kini, PSEI telah mengoleksi 2500 makalah tentang ekonomi Islam yang terus akan dikembangkan. Sejak tahun 2009, PSEI sedang menyusun buku teks tentang ekonomi Islam dari berbagai aspeknya, sementara keberhasilan Unibraw dalam pengembangan mental enterpreneurship kepada mahasiswanya penting untuk diadopsi bagi pengembangan ekonomi Islam. Namun, wacana untuk mendialogkan keduanya masih belum maksimal.
Topik ketiga adalah tentang model-model pengembangan riset dan kajian sains dan ilmu humaniora di universitas Islam. Di sini pengalaman Unair dan Gadjah Mada dalam pengembangan sains, meskipun murni sains, cukup penting sebagai objek pembelajaran bagi universitas Islam.
Apa yang tersirat dari topik pembahasan ketiga ini sebenarnya adalah suatu kerja besar, yaitu proses yang disebut asimilasi atau integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Masalah yang dihadapi adalah masih banyaknya cendekiawan Muslim yang tidak sepakat karena percaya bahwa ilmu itu netral alias bebas nilai. Karena itu, semua ilmu dianggap Islami dan tidak perlu Islamisasi. Sebaliknya, mereka justru melihat Islam itu perlu diilmukan.
Sekurangnya terdapat dua masalah mendasar: pertama, kelambatan universitas Islam dalam mengembangkan epistemologi dan sains Islam. Ini disebabkan oleh terputusnya cendekiawan Muslim dengan tradisi intelektual Islam dan terlalu menekankan pada ilmu-ilmu naqliyyah dan sedikit mengkaji kembali ulum 'aqliyyah; kedua, lemahnya penguasaan cendekiawan Muslim tentang sains dan epistemologi Barat. Akibatnya adalah sikap apriori atau apresiasi terhadap Barat secara berlebihan sehingga tidak dapat mengambil manfaat dari Barat secara cerdas.
Karena itu, kini di beberapa universitas Islam kajian sains dan ilmu humaniora baru pada tahap disandingkan dengan studi Islam atau hapalan Alquran. Upaya lebih akademik untuk membangun struktur keilmuan Islam dengan basis epistemologi, metodologi penelitian, dan teori-teori baru penelitian yang berdasarkan konsep-konsep Islam dapat dikatakan masih sangat minim untuk tidak mengatakan tidak ada. Apalagi upaya untuk mengkaji secara kritis struktur keilmuan Barat sekuler untuk dapat mengadopsi ke dalam struktur konsep keilmuan Islam masih sangat langka.
Mungkin baru pada disiplin ilmu ekonomi umat Islam menyadari adanya teori, asumsi, dan metodologi yang tidak sesuai dengan Islam. Padahal, disiplin ilmu lain juga banyak mengandung teori, asumsi, dan metodologi yang tidak Islami. Jika kesadaran ini dimiliki cendekiawan Muslim, tentu akan tampak jalan panjang untuk mengembangkan konsep sains Islam, sosiologi Islam, politik Islam dan filsafat Islam, pendidikan Islam, mulitmedia, dan komunikasi Islam dan sebagainya.
Namun, untuk itu, diperlukan kerja sama sinergis antara cendekiawan Muslim pakar di bidang studi Islam dan bidang sains Barat. Pengalaman kerja sama Universitas Gadjah Mada dengan universitas di Mesir adalah permulaan yang baik dan dapat dikembangkan di masa depan. Demikian pula pengalaman kerja sama UIN Alauddin Makassar, UIN Malang dengan berbagai universitas di Timur maupun di Barat merupakan pelajaran menarik. Namun, persoalannya apakah kerja sama itu memberi kontribusi pada proses pembangunan konsep-konsep keilmuan Islam?
Isu penting lainnya adalah bagaimana model studi Islam pada fakultas sains dan humaniora ditingkat universitas. Proposal menarik diajukan oleh Alparslan Acikgence dari Turki. Menurutnya, model studi Islam harus disusun mengikuti pola pembentukan worldview dalam diri seseorang. Bermula dari keyakinan dasar di tingkat sekolah hingga menjadi bersifat saintifik ditingkat universitas. Jadi, yang mestinya diajarkan pada fakultas-fakultas sains dan humaniora bukan lagi soal akidah, syariah, dan akhlak. Tapi, harus bidang ilmu yang relevan dengan fakultas dan program studi yang ditekuni mahasiswa sesuai dengan worldview mereka.
Lagi-lagi, di sini kerja sama sinergis antara cendekiawan Muslim bidang sains dan humaniora mutlak diperlukan. Tujuannya adalah menciptakan berbagai disiplin ilmu yang berbasis worldview Islam dan melahirkan ulama yang saintis yang menjadi rahmatan lil alamin. Inilah yang diimpikan oleh al-Attas pada kurang lebih empat dasawarsa yang lalu dan kini sedang ditunggu oleh masyarakat luas. Wallahu a'lam.
problem utama umat islaam adalah, adanya sekitar 70% jamaah masjid2 belum hafal terjemahan faatihah.
BalasHapusharus segera diatasi dg tuntas.
kapan kita berpikir praktis :
BalasHapuskita butuh 3 mesin :
1. mesin memahami medan bakti (berbagai riset potensi dan peluang demand atau menciptakan demand).
2. mesin pembibitan. mengkoleksi akses modal, pelatihan sdm, dan teknologinya yaitu tentang apa yg hendak di investasikan di medan bakti (medan persainga bisnis)
3. mesin aplikasi, pusat managemen pendukung perencanaan dan strategi berbagai eknomi mikro syariah.
terserah oran gmau bilang apa, kalau kita sukses dengan 3 mesin ini, peradaban akan berubah.
wasalam,
akw