Muhaimin Iskandar
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa
Demokrasi kita telah membuka lebar-lebar pintu bagi segala aspirasi. Aspirasi yang mendukung ataupun mengkritik pemerintah semuanya diberi tempat. Meskipun terkadang timbul gesekan-gesekan, berkat upaya pemerintah, kalangan agama, tokoh masyarakat, dan berbagai kalangan lainnya, tidak muncul gejolak yang meluas dan merugikan kita semua sebagai bangsa. Rakyat Indonesia semakin dewasa dan rasional dalam menilai tiap-tiap peristiwa yang terjadi.
Kritik soal kebohongan yang disampaikan oleh sejumlah tokoh agama belum lama ini pun disikapi demikian. Meskipun substansi kritik terasa sedikit menohok, bagi pemerintah, hal ini tetap dianggap sebagai masukan. Bagi pemerintah, apa yang melatarbelakangi munculnya kritik tersebut tidaklah esensial. Kami percaya para tokoh agama memiliki niat yang baik. Jika pun ada motivasi politik di balik ini semua, biarlah publik menilainya sendiri.
Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa kritik dan polemik kebohongan ini akan menimbulkan pro kontra dan membelah masyarakat menjadi dua kubu, juga tidak perlu dibesar-besarkan. Sudah 12 tahun sejak reformasi pertama bergulir. Upaya kita dalam menemukan format demokrasi yang tepat serta penguatan institusi demokrasi,-suka tidak suka,-mensyaratkan adanya partsipasi poltik yang aktif dari warga, termasuk para tokoh agama. Bagi pemerintah, partisipasi aktif ini menunjukkan bahwa berbagai upaya demokratisasi yang kita lakukan telah menunjukkan hasil meskipun belum sempurna.
Dalam menanggapi kritik dan masukan itu, pemerintah niscaya lebih memfokuskan diri pada substansinya. Substansi inilah yang memandu pemerintah dalam menentukan kritik dan masukan, mana yang dapat ditempatkan sebagai prioritas untuk dielaborasi dan diaplikasi lebih jauh, dan mana yang sekunder sifatnya. Kritik yang bersifat konstruktif dan menawarkan pilihan solusi akan jauh lebih efektif dampaknya dalam mengubah keadaan, dibanding kritik yang emosional dan menyerang pribadi-pribadi.
Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke-16, memiliki seperangkat pilihan cara jitu menanggapi kritik. Saat menjabat, ia berupaya keras menghapuskan perbudakan di AS. Upaya ini mendapat hadangan sengit dari politisi konservatif. Bukan hanya kritik, melainkan juga penghinaan terhadap pribadi Lincoln.
Menanggapi penghinaan ini, Lincoln memiliki sejumlah cara untuk menanggapi. Pertama, ia menganggapnya "remeh" jika kritik ini terbukti lebih merupakan fitnah dan manipulasi. Kedua, ia menanggapi dengan serius dan segera bekerja untuk sebuah perbaikan. Ketiga, Lincoln melampiaskan kemarahannya terhadap tekanan kritik dengan menulis, berbicara panjang lebar kepada orang-orang kepercayaan di sekelilingnya. Dan keempat, Lincoln hanya menghela napas, berdoa dan berharap diberi kekuatan untuk melanjutkan apa yang telah ia mulai serta bersikap optimistis.
Seperti Lincoln, pada umumnya pemerintah berusaha menempatkan dan menanggapi kritik secara proporsional. Dalam beberapa kasus, pemerintah bersikap pasif dan memilih tidak berkomentar terhadap 'serangan" tertentu. Sikap low profile pemerintah ini kemudian dinilai sebagai sikap 'tutup kuping" atau 'bisu tuli' terhadap kritik. Alangkah kelirunya pemikiran ini. Pemerintah, kementerian, dan jajarannya memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang sangat luas dan berat, yang membutuhkan konsentrasi kerja yang tinggi. Sayang sekali jika energi terbuang untuk menanggapi kritik-kritik yang tidak substansial dan tanpa bukti.
Perlu dicatat bahwa pemerintah tidak pernah tergoda untuk meringkus demokratisasi dan hak rakyat untuk menyampaikan ekspresi politik. Tentu dengan catatan ekspresi itu disampaikan dengan cara yang baik dan konstitusional.
Meskipun demikian, alam demokrasi dan keterbukaan pers yang sangat meriah saat ini selalu memberikan sejumlah konsekuensi lain. Keengganan pemerintah dalam menanggapi sejumlah kritik oleh para 'kritikus ulung' justru bisa diartikan sebagai 'ketakutan' pemerintah untuk berhadapan dengan publik. Di sisi lain, sikap responsif pemerintah dalam menanggapi sebuah kritik, malah bisa disimpulkan sebagai sikap 'tipis kuping' dan tidak tahan kritikan.
Pola-pola pemikiran semacam ini tidak membawa pembangunan kita bergerak maju, tetap saja jalan di tempat. Telah dan akan banyak sekali energi kita terbuang karena selalu terkondisikan dalam suasana negatif. Dalam suasana apa pun, pemerintah pasti akan berjalan terus dengan program-programnya yang telah disusun karena merupakan amanat rakyat dan undang-undang.
Di sisi lain, saya prihatin dengan sebagian kalangan masyarakat sipil, agamawan, jurnalis, dan tokoh-tokoh masyarakat yang justru membatasi diri dan potensinya untuk turut terlibat dalam proses perbaikan. Dengan semata memfokuskan perhatian pada sisi-sisi yang dipandang negatif dari pemerintah, keluasan peran dan fungsinya menjadi terbatas, tersendat, terpotong. Fungsi sebagai pressure group jelas tetap sangat dibutuhkan.
Bukankah dunia sosial politik, pada dasarnya adalah soal mengatur dan menjaga hubungan antarmanusia berdasarkan kepentingan yang berbeda-beda?
Pemerintah meyakini bahwa seluruh gelora dan gejolak ini berangkat pada pijakan yang sesungguhnya sama: kecintaan kepada republik dan rakyatnya. Maka itu, membungkam kritikan dari sesama anak bangsa belum pernah menjadi opsi pemerintah. Dalam menyikapi semua keriuhan ini, sebagai pemegang kekuasaan, pemerintah bertekad untuk tetap optimistis, terlepas dari sikap skeptis dan pesimistis berbagai kalangan.
Saya mengajak semua pihak untuk bergandengan tangan dan merapatkan kembali barisan kita sebagai sebuah bangsa. Globalisasi ekonomi saat ini berisikan bukan hanya peluang dan harapan, namun juga ancaman dan bahkan, bahaya. Terlepas dari segala kritik dan protes, pemerintah berbesar hati untuk mengajak kembali semua pihak bergotong-royong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar