Senin, 31 Januari 2011

Revolusi Roti Ala Mesir

Hery Sucipto
Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
Alumnus Al-Azhar Mesir

Siapa sangka rezim otoriter dan despotik di Tunisia tumbang secepat kilat. Bahkan, dinas intelijen Prancis-negara yang dulunya menjajah Tunisia-ini sama sekali tak menduga dan merasa kecolongan. Setelah 23 tahun berkuasa, rezim Presiden Zein Abidin Ben Ali pun runtuh oleh gerakan rakyat. Bersama keluarganya, Ben Ali kabur ke Jeddah, Arab Saudi.

Presiden Husni Mubarak yang telah memimpin Mesir selama 30 tahun pun kini tengah menghadapi ancaman itu. Gerakan massa dalam sepekan lebih dan dihadapi secara represif oleh polisi dan tentara, telah merenggut sedikitnya 102 nyawa manusia, ribuan lainnya luka-luka. Revolusi berdarah ini tampaknya akan terus berlanjut sampai tuntutan mundur Mubarak terpenuhi.

Kompleksitas Masalah
Sebenarnya gejolak di Mesir tak jauh-jauh dari urusan perut, yakni bagaimana rakyat bisa makan dengan layak, hidup dengan sandang dan papan yang tak usah bagus, tapi cukup layak. Hanya saja, mungkin karena terlalu lama berkuasa sehingga Mubarak lupa, terninabobokan oleh nikmatnya kekuasaan. Ia layani dan biarkan keluarga dan kroninya memperkaya diri, menguasai sentra-sentra ekonomi. Di sudut lain ia lupakan dan kebiri kepercayaan amanah rakyat. Rakyat yang seharusnya dia sejahterakan dan perhatikan, justru tak diurus dengan semestinya.

Rakyat semakin terhimpit dalam kehidupan mereka. Tingkat kemiskinan dan pengangguran yang sangat tinggi dampak dari melambungnya harga-harga komoditas yang setiap tahun naik. Rakyat semakin susah makan karena tak punya cukup uang membeli roti, makanan utama mereka. Rezim Mubarak gagal menangkap isyarat telanjang ini. Rakyat pun yang sudah lama bersabar (dan terpaksa bersabar karena sistem politik yang despotik, adanya undang-undang security act yang bebas menangkap siapa saja tanpa proses hukum), kini meletupkan amarahnya dalam bentuk aksi jalanan. Revolusi massa berdarah pun tak terelakkan lagi.

Revolusi ini mengingatkan kita pada apa yang disebut 'Revolusi Roti' yang terjadi pada tahun 1977 di era Presiden Anwar Sadat. Masalahnya sepele saja, pemerintah menaikkan harga roti, makanan utama rakyat Mesir. Dirasa mahal dan tak terima oleh publik, rakyat pun turun ke jalan. Untungnya Sadat sadar, lalu menurunkan kembali harga roti. Memang di masa-masa setelah itu, termasuk di 10 tahun pertama Mubarak berkuasa, beberapa kali terjadi gejolak akibat kenaikan harga roti. Namun, pemerintah saat itu dapat segera mengatasi lalu menstabilkan harga seperti semula.

Sesungguhnya apa yang terjadi sekarang pun bisa dikatakan tak jauh dari urusan 'roti'. Rakyat susah makan, harga-harga yang melambung, ditambah pola hidup berfoya keluarga Mubarak dan para kroninya. Di beberapa negara, rezim penguasa tumbang juga lantaran urusan perut. Di Indonesia, rezim Soeharto tumbang dipicu krisis moneter yang berujung pada mahalnya komoditas sembako. Rakyat susah makan, muncul gejolak sosial dan akhirnya revolusi fisik. Yang paling mutakhir, di Tunisia, Presiden Ben Ali hancur juga karena pengangguran, kemiskinan, dan melonjaknya komoditas pangan. Rakyat sulit makan, meluaplah ke jalanan.

Jadi, kelihatannya sepele. Sabar pun ada batasnya. Satu, dua minggu mungkin perut bisa diajak kompromi. Tapi, jika sudah bulanan bahkan tahunan, perut pun tak bisa ditinggal diam. Rakyat selaku pemilik tertinggi mandat kekuasaan pun mencabut mandat yang telah diberikan berpuluh-puluh tahun meski dengan cara intimidasi dan sejenisnya. Rakyat punya cara sendiri mencabut mandatnya: revolusi di jalanan.

Kini, rakyat Mesir tengah berjuang menumbangkan rezim otoriter. Rakyat bersama segenap elemen, termasuk kalangan yang selama ini dikooptasi dan terpaksa tunduk kepada pemerintah, seperti institusi Al-Azhar, Dewan Ulama, dan kalangan pemikir pro-pemerintah, berpadu melawan rezim Mubarak. Mereka bersatu menyongsong era baru pasca Mubarak menuju era demokratisasi dan supremasi hukum yang sebenarnya. Bahkan, ulama sekaliber Yusuf Al-Qaradhawi dan pihak Dewan Ulama se-Dunia yang bermarkas di Kairo, menyebut korban meninggal dunia dalam aksi demo sebagai 'syuhada'.

AS dan Dunia Arab
Amerika Serikat tampaknya tak punya pilihan lain selain mendukung gerakan rakyat. Tentu dengan penuh risiko, jika Paman Sam konsisten dengan program demokratisasi di dunia ketiga, khususnya dunia Arab, pilihan itu harus diambil untuk menyelamatkan muka AS. Risiko mereka akan menghadapi tampilnya penguasa baru yang kemungkinan besar akan menyertakan kelompok Islam Ikhwanul Muslimin (IM) yang mereka musuhi dan otomatis akan berdampak pada masa depan proses perdamaian di Timur Tengah, khususnya Palestina-Israel. Di sisi lain, jika tak mendukung gerakan massa, AS akan dicap sebagai pengecut dan pengkhianat demokrasi dan HAM.

Sementara itu, Israel yang selama 30 tahun nyaman bertetangga dan bergaul dengan Mubarak, harus menata kembali sistem politik mereka menghadapi kekuasaan baru di Mesir pasca lengsernya Mubarak kelak. Jika IM benar-benar ikut tampil dalam kekuasaan, hal itu tamparan telak bagi Israel dan juga AS. Jika skenario ini terjadi, dunia Arab harus berbenah kembali: menata ulang dari awal perundingan damai dengan Israel, dan bagi rezim-rezim otoriter yang tersisa, seperti Yordania, Aljazair, Libya, Sudan, Suriah, dan Yaman, ini menjadi peringatan keras. Jika tak pandai menangkap isyarat jelas dari Mesir dan Tunisia, bukan tak mungkin akan mengalami hal serupa. Hanya menunggu waktu.

Bagi kita, dampak revolusi merembet ke Indonesia mungkin terlalu jauh. Selain kondisinya yang berbeda, stabilitas politik yang relatif aman dan gejolak sosial nyaris tidak ada, Pemerintahan SBY sekarang juga memiliki legitimasi yang kuat dari masyarakat.

Namun, pemerintah harus tetap bekerja keras agar program menyejahterakan rakyat tidak kendor di tengah jalan, dan tetap menjadi prioritas. Tak sekadar janji pemanis, tapi buktikan secara nyata. Bahwa pemimpin yang baik dan bijak lebih banyak bekerja untuk rakyatnya, lebih tahu diri kapan bicara dan kapan kerja, kapan memerintah dan kapan saatnya mundur. Inilah esensi demokrasi yang sedang kita gaungkan dan praktikkan di Indonesia modern kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar