Rabu, 02 Februari 2011

Profesi dan Profesionalisasi Guru

Muhadjir Effendy
Rektor Universitas Muhammadiyah Malang

Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, guru merupakan faktor kunci. Pemerintah pun dalam enam tahun terakhir ini menaruh perhatian serius dalam upaya meningkatkan kualitas guru. Di antaranya melalui program sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi bagi guru. Melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), diperkuat dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru pun dinyatakan sebagai pekerjaan profesional.

Samuel P Huntington, yang banyak membahas masalah profesionalisme, menetapkan tiga kriteria untuk suatu pekerjaan disebut profesional. Tanggung jawab sosial (social responsibility), kesejawatan (corporateness), dan keahlian (expertise). Menurut Huntington, keahlian adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu. Agar bisa menguasainya, seseorang harus menempuh pendidikan dan latihan khusus dalam waktu yang relatif lama dengan tingkat kesulitan yang tinggi.

Lantas bagaimanakah halnya pekerjaan guru? Dalam kenyataan saat ini, banyak orang dewasa dengan pendidikan seadanya dapat berperan menjadi guru dan tidak dianggap guru palsu. Bandingkan dengan orang awam yang membuka praktik dokter. Ia akan disebut dokter gadungan dan bisa dituntut secara pidana.

Guru sebagai pekerjaan, sekarang ini sangat terbuka untuk siapa saja. Kalau ingin menjadikan guru sebagai pekerjaan profesional, dia harus mengangkat dan menjaga martabat pekerjaan guru dengan mengeksklusifkan pekerjaan itu. Membuat ketentuan hukum dan rambu kebijakan yang ketat dan tidak membiarkan pekerjaan guru itu dimasuki oleh siapa saja. Karena semua pekerjaan profesional menuntut adanya perlindungan atas hak-hak eksklusivitasnya.

Bukan pekerjaan upahan
Konon, profesi adalah berakar dari tradisi gereja. Berasal dari kata professio, yang artinya semacam ikrar para calon biarawan dan biarawati sebelum melaksanakan pekerjaan pelayanan kepada umat. Intinya, mereka berikrar akan menyerahkan seluruh hidupnya untuk mencintai pekerjaannya itu dan mengabdikan manfaat pekerjaan itu untuk kepentingan kemanusiaan.

Oleh sebab itu, seorang yang memilih suatu profesi, syarat dan alasannya harus oleh karena panggilan jiwa, bukan karena ingin mendapat bayaran. Mereka tidak diupah, tetapi mendapat honorarium (penghormatan dan penghargaan).

Huntington mencatat, sejak pertengahan abad 20 terjadi kemerosotan makna profesi. Arti profesi bergeser menjadi pekerjaan yang mendapat bayaran tinggi sebagai lawan dari pekerjaan amatir. Lama kelamaan, justru faktor bayaran tinggilah yang menjadi kriteria baru. Sedangkan kriteria lama, pekerjaan profesional sebagai pekerjaan mulia dan agung kian diabaikan. Bahkan, profesi sudah mengandung arti pejorative. Pembunuh bayaran disebut pembunuh profesional dan PSK yang diupah mahal disebut pelacur profesional.

Jika ditilik dari idealisme pekerjaan profesional, adalah kurang tepat jikalau kenaikan gaji guru dipandang sebagai cara untuk mengangkat status guru menjadi pekerjaan profesional. Justru dengan kenaikan pendapatan guru yang luar biasa, itu bisa memicu banyaknya peminat menjadi guru, bukan lantaran motivasi intrinsik-panggilan jiwa dan kecintaan terhadap pekerjaan guru-melainkan lebih karena motivasi ekstrinsik yang artifisial karena pekerjaan guru secara ekonomis cukup menggiurkan.

Sertifikasi portofolio
Jumlah guru di Indonesia, berdasar catatan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Kemendiknas per Nopember 2010, adalah 2.791.204 orang. Sejak 2006, pemerintah melakukan program sertifikasi guru melalui portofolio, yang dilaksanakan oleh beberapa perguruan tinggi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Sampai 2010 telah ada 753.155 guru bersertifikat. Meski sudah sangat masif, angka tersebut baru setara dengan 27 persen dari jumlah guru. Bandingkan dengan dokter yang bersertifikat per Oktober 2010, berdasarkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sebanyak 114.706 orang. Begitu juga dengan anggota per Desember 2010, berjumlah 414.657 personel. 54.108 orang di antaranya adalah perwira.

Kalau pekerjaan militer sebagai bandingan, di sana ada tingkatan-tingkatan profesionalitas. Ada golongan tamtama, bintara, dan perwira. Merujuk pendapat Harrold D Lasswell, hanya golongan perwira saja yang sepenuhnya bisa disebut profesional, yaitu sebagai spesialis dalam pengelolaan kekerasan (spesialized in the management of violence). Sedangkan, tamtama dan bintara tergolong terampil dan mahir dalam menggunakan alat kekerasan, kendati di dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dinyatakan bahwa TNI adalah tentara profesional.

Mengambil nisbat yang ada dalam pekerjaan militer, pekerjaan guru pun perlu dipertimbangkan kemungkinan membuat tingkatan-tingkatan profesionalitasnya. Hanya guru yang mumpuni dengan unjuk kerja yang sangat baik, yang mesti mencapai derajat profesional. Namun, apabila pemerintah tetap bermaksud memprofesionalkan seluruh guru, berarti ada pekerjaan besar dan berat.

Di samping masalah jumlahnya yang begitu besar, juga masalah kualitas lembaga yang bakal menyelenggarakan program pendidikan profesi, yaitu LPTK. Dari 362 LPTK yang ada, kualitasnya sangat beragam dan sebarannya sangat tidak merata. Runyamnya, kemungkinan hanya sedikit LPTK yang betul-betul layak menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sehingga, kalau program profesionalisasi masif itu tetap dilakukan, yang terjadi pasti praktik kejar target, sebagaimana yang terjadi pada program sertifikasi lewat portofolio selama ini yang dinilai banyak pihak memiliki banyak kelemahan.

Tak kurang, Wakil Mendiknas Prof Fasli Jalal dalam seminar "Re-Desain Pendidikan Profesional Guru" pada 18 Desember yang lalu, menyampaikan rasa herannya atas capaian program seritifikasi melalui portofolio. Katanya, seharusnya yang lulus melalui portofolio tidak lebih dari 20 persen. Hanya yang benar-benar guru mumpuni yang mestinya lolos. Sedangkan, yang sebagian besar harus lewat program Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Walaupun lewat program ini, sebetulnya juga tidak banyak yang bisa didapat oleh peserta, mengingat waktu pelaksanaannya yang hanya sembilan hari.

Memang, kebijakan adalah soal pilihan. Ketika orientasi pilihannya jatuh pada kuantitas yang masif demi mengejar target dan terserapnya anggaran, aspek kualitas bisa saja terabaikan. Akan tetapi, dalam masalah profesionalisasi guru, apakah kita akan tetap bilang: "Lanjutkan...!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar