Sabtu, 02 April 2011

Sebuah Tanda Tanya

Oleh Mohammad Akbar

Memotret kehidupan yang penuh konflik.

Seperti apakah memaknai kemajemukan etnis dan agama yang ada di negeri ini? Sepantasnyakah kita harus bertengkar hanya karena perbedaan? Dua pertanyaan sederhana ini mungkin saja mudah terucap, tetapi kenyataannya negeri ini kerap kali terkungkung oleh satu masalah besar bernama perbedaan.

Hanung Bramantyo, pembuat film yang pernah meraih trofi Citra sebagai Sutradara Terbaik Festival Film Indonsia (FFI) 2005 dan 2007, tergelitik hatinya. Ia berupaya masuk dan mencoba merekam ulang perbedaan-perbedaan itu dalam kapasitasnya sebagai pembuat film.

Sejatinya, Hanung tak sedang mencela, apalagi memancing sengkarut di negeri kita. Tetapi, sineas berusia 35 tahun asal Yogyakarta ini hanya ingin mengajak kita semua untuk kembali lagi merenung, masih pentingkah kita berbeda?

Hasilnya? Sebuah film berjudul "?" (baca: tanda tanya) dihadirkannya. Film ini merupakan produksi perdana dari Mahaka Pictures bekerja sama dengan Dapur Film. Sebuah tanda tanya sengaja diberikan kepada judul film ini karena Hanung memang masih menyimpan tanda tanya besar ketika melihat atas nama perbedaan agama, suku, dan ras, ternyata sebagian anak negeri ini bisa saling bertikai, bahkan juga membunuh.

Mengawali cerita film, Hanung langsung menghadirkan sebuah konflik. Seorang pastur yang tengah menyambut para jemaat di muka gereja ditikam seorang pemuda. Dugaan Anda tak keliru rupanya, karena pikiran kita akan digiring pada tudingan bahwa umat Islamlah yang telah dengan sengaja melakukannya. Tetapi, benarkah demikian?

Setelah memberikan konflik berbau agama, cerita film ini lebih banyak memotret pada lingkup kehidupan yang lebih kecil, tetapi cukup menyimpan persoalan pelik di dalamnya. Panggung cerita itu disajikan di salah satu sudut kota tua di Semarang bernama Pasar Baru.

Di sana ada masjid, gereja, dan klenteng. Lalu, untuk membuat cerita ini hidup, Hanung menghadirkan tiga keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi dan suku yang berbeda.

Ada keluarga Tan Kat Sun (diperankan oleh Hengky Sulaeman), yang memiliki restoran Canton Chinese Food. Ia adalah seorang kepala keluarga yang toleran terhadap perbedaan, tetapi ternyata menyimpan persoalan dengan putranya, Hendra (Rio Dewanto), dalam menjelaskan betapa pentingnya bertoleransi dengan tetangga yang berbeda agama dan budaya. Bentuk tolorensi Tan Kat Sun ini salah satunya ditunjukkan dengan membedakan perkakas memasak untuk makanan tidak halal dan halal, serta memberikan libur selama lima hari kepada karyawannya yang Muslim ketika masa Lebaran tiba.

Lalu, ada lagi kehidupan sepasang suami-istri, Soleh (Reza Rahadian) dan Menuk (Revalina S Temat). Keduanya adalah warga lokal yang taat pada agamanya. Menuk, perempuan yang digambarkan berjilbab, bekerja sebagai pelayan restoran di keluarga Tan Kat Sun. Sedangkan Soleh, hanyalah seorang kepala keluarga yang labil. Sepanjang hidupnya, ia selalu berupaya untuk mendapatkan pengakuan eksistensi sebagai suami sekaligus kakak bagi adiknya.

Kemudian, kehidupan lainnya disajikan pada tokoh bernama Rika (Endhita) dan Surya (Agus Kuncoro). Rika ini berstatus janda satu orang anak. Bagi lingkungan sekitar, Rika dicibir karena keputusannya bercerai dan berganti agama menjadi penganut Katolik.

Sementara itu, Agus digambarkan sebagai seorang pemuda Muslim yang semasa kariernya sebagai sineas hanya mendapatkan peran figuran. Hingga pada satu titik ia berhasil mendapatkan peran utama. Tetapi, kata hatinya beradu, apakah ia harus bersedia menerima peran sebagai Yesus pada perayaan malam Paskah dan Natal?

Secara cerita, skenario yang ditulis oleh Titien Wattimena ini cukup kuat. Cerita tersebut juga menjadi apik ketika diperkuat lagi dengan seting lokasi yang ditata rapi sebagai lingkungan urban masa lampau dan pengambilan sudut gambar yang tak mengganggu pandangan.

Untuk sebagian besar konflik yang dibangun di dalam cerita ini, seperti diakui Hanung, banyak diinspirasi dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri ini. Salah satunya, ketika Soleh mencoba mengamankan perayaan malam Natal.

Soleh yang kala itu sudah mendapat pekerjaan sebagai anggota Banser NU, dengan keberaniannya menjadi tameng terhadap bom yang meledak. Hanung sempat mengatakan, sosok Soleh ini terinspirasi dari kisah anggota Banser NU bernama Riyanto, yang wafat ketika bertugas mengamankan malam Natal di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, sepuluh tahun silam.

Tetapi, sebagai sebuah karya populer, Hanung tetap tidak mau melupakan bumbu cinta di dalam filmnya. Namun, bukan cinta sepasang ABG yang hendak disajikannya. Tetapi, cinta di sini bisa juga menjadi universal, bagaimana seorang anak mencintai ibunya atau juga hubungan cinta Rika-Surya.

Lalu, ada pula api cemburu yang terletup hingga menghadirkan konflik, seperti amarah Hendra kepada Soleh. Hendra dan Menuk sebelumnya sempat menjalin kasih. Namun, cinta keduanya tak berlanjut ke pelaminan karena perbedaan agama.

Sebelum Soleh dan Hendra menemukan kesadaran bahwa perbedaan itu adalah anugerah, keduanya sering kali beradu mulut dan fisik. Hendra menyebut Soleh sebagai teroris, karena streotip bahwa Islam itu kerap berperilaku anarkis. Sedangkan, Soleh secara rasial menghardik Hendra sebagai 'Cina'-sebuah ucapan bentuk kesal yang merujuk pada satu etnis tertentu.

Segala konflik dan roman cinta yang ada di film ini cukup apik pula dituntaskan menjadi sebuah karya yang happy ending. Tak lupa pula, sebagai jawaban atas kegelisahan Hanung sebagai Muslim yang kerap dituding teroris, ia mencoba memberikan jawaban atas kegelisihan tersebut. Lewat dialog antara ustaz (David Chalik) dan Hendra ketika bertanya tentang Islam, sang ustaz menjelaskan bahwa Islam sejatinya adalah agama pembawa rahmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar