Jumat, 01 April 2011

Demokrasi dan Euforia Politik

Marwan Ja'far
Legislator PKB

Demokrasi di negeri kita tampaknya tidak hanya makin riuh, tapi juga makin keruh. Ternyata, euforia kebebasan tidak selalu berbanding lurus dengan pendewasaan politik dari para pelakunya. Kebersediaan untuk hidup bersama dalam perbedaan mungkin saja sebuah angan yang retak dengan tiadanya kesiapan untuk terlibat dalam dialog yang sehat ketika dibenturkan dengan problem kemasyarakatan yang semakin kompleks.

Demokrasi memang telah membawa perubahan dramatis dalam masyarakat seiring dengan semakin dibukanya ruang untuk berekspresi. Namun, apakah mentalitas yang berkembang sejalan dengan bangun demokrasi yang diharapkan? Mengutip Fransisko Budi Hardiman dalam bukunya, Memahami Negativitas (2005), mentalitas tradisional yang berakar dari tatanan sosial politik yang feodalistik dan paternalistik tidak serta merta lenyap seiring dengan berlangsungnya modernisasi politik. Mereka justru berkoeksistensi dengan konsep-konsep modern tersebut.

Dalam kondisi demikian, beragam tuntutan untuk membangun tatanan demokrasi modern, seperti kebebasan berekspresi, berpolitik, dan birokrasi yang bersih dan efisien, ikut berpotensi meningkatkan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat itu sendiri. Faktanya, masih mengecambah kekerasan kolektif, membiaknya dinasti-dinasti politik di daerah minus kompetensi, mentalitas juragan dalam birokrasi yang menghambat tercapainya pelayanan publik yang efektif dan memuaskan, juga mafia korupsi dalam birokrasi yang tumbuh subur dan sulit diberantas sedikit banyak berakar dari karakter komunal masyarakat itu sendiri.

Negara kita agaknya masih belum selesai dengan urusan state-building. Jargon demokrasi masih kerap dijadikan komoditas politik para elite. Alih-alih menghimpun energi politik untuk mewujudkan tatanan kenegaraan yang lebih mantap, para elite politik tertentu justru selalu sibuk bermanuver untuk selalu ikut menikmati kekuasaan dan memperalat nilai-nilai demokrasi untuk kepentingan kelompok masing-masing. Hipokrisi partai politik tertentu pun lebih mengemuka daripada daulat rakyat, sehingga tindakan hipokrit menjadi halal untuk dilakukan tanpa malu. Daulat rakyat sering kali dimanipulasi demi pencitraan.

Apakah ini tetanda bahwa sistem demokrasi modern yang coba dicangkokkan di Indonesia mengidap problematika? Kebebasan tidak dibarengi dengan perbaikan manajemen politik, kelembagaan, dan rasa tanggung jawab. Semestinya, perlu prasyarat institusional yang wajib dipenuhi demi membangun basis demokrasi yang kukuh. Birokrasi yang efektif, bersih, dan transparan jelas dibutuhkan untuk mengimbangi tuntutan publik yang makin berkembang. Begitupun akuntabilitas hukum sebagai pilar utama kehidupan berdemokrasi.

Dalam konteks ini, kapasitas negara perlu diperkuat untuk merespons meningkatnya dinamika masyarakat dengan potensi benturan kepentingan yang makin besar pula. Jika negara lemah dalam merespons aspirasi publik, mereka akan cenderung mencari jalan pemenuhannya sendiri-sendiri dan yang terandaikan adalah chaos. Demokrasi yang sehat tidak bisa tercipta hanya dengan memperkuat civil society, ia pun mensyaratkan adanya bangun institusi (negara) yang kukuh.

Aturan main
Dalam berdemokrasi, hal yang paling menguras energi untuk mewujudkannya adalah bagaimana masing-masing pihak yang terlibat di dalam dinamikanya bersedia tunduk pada aturan main (rule of game) yang disepakati bersama. Pada tahap berikutnya, pelaksanaan demokratisasi akan memperoleh jaminan kualitas dan kesempurnaan tujuan-tujuannya. Apabila didukung oleh aturan main dan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang sejak proses penyusunannya, di samping memberikan prasyarat demokrasi, juga mencerminkan pemahaman yang relatif selesai atas kondisi dan prediksi tantangan bangsa di masa depan.

Penyatuan diri dalam bangsa ini sekaligus secara final menyepakati pilihan sistem demokrasi. Ini berarti memutuskan dan melucuti realitas masa lalu untuk memasuki kesepakatan pilihan sistem demokrasi baru melalui sikap-sikap yang mencerdaskan. Demokrasi perlu ekspresi secara konstruktif, sehingga mampu memperkuat fondasi demokrasi di negeri ini.

Tak jarang, kita disuguhi fenomena politik dari fungsi-fungsi demokrasi yang justru mereproduksi kebijakan dan tindakan hingga agenda-agenda yang sesungguhnya antidemokrasi. Dan, ini terjadi terus hingga lahir persepsi keliru di tengah-tengah rakyat terhadap demokrasi itu sendiri. Bila menyebut demokrasi adalah menyebut sistem dan tata kelola kemasyarakatan yang tidak efektif, rumit, dan tidak produktif, bahkan hingga ke dalam praksis demokrasi tercitrakan peluang atau tindakan melanggar berbagai norma dan aturan, maka hal ini jelas tidak bisa ditoleransi.

Elemen demokrasi membutuhkan partisipasi yang benar, kompetisi yang sehat, dan akuntabilitas. Semua tindakan elite politik harus bisa dipertanggungjawabkan di publik.. Dalam kaitan ini, pendidikan politik perlu diperbaiki dan digencarkan sehingga kita mampu melakukan kompetisi yang sehat.

Menuntaskan agenda proses demokrasi harus diikuti dengan pengembangan instrumen yang bisa dipakai masyarakat. Sebab, bila rakyat tidak melakukannya, demokrasi hanyalah impian kosong. Tata kelembagaan pemerintahan harus membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat berikut organisasi-organisasi di dalamnya supaya bisa merawat, memiliki, dan menertibkan institusi politik, termasuk di dalamnya partai-partai politik .

Kepada para elite, pemimpin dan siapa pun yang berada dalam posisi berpotensi untuk menggerakkan kesadaran, perlu dikerek kesadaran bahwa tidak pada tempatnya demokrasi dipertaruhkan bagi kepentingan yang tidak mengabdi pada kelangsungan negara di masa depan. Berbagai potensi disintegrasi dan konflik horizontal, tindakan-tindakan demoralisasi terhadap dan atas nama demokrasi, sudah waktunya dibenamkan.

Energi demokrasi yang mestinya diperuntukkan bagi pelaksanaan pelayanan dan agenda-agenda pembangunan jangan sampai terkuras habis pasca peristiwa demokrasi diselenggarakan. Yang harus dilakukan, bagaimana mendorong prakarsa-prakarsa demokrasi sekaligus mengembangkan tradisi rekonsiliasi yang memang semestinya menjadi bagian dari semenjak agenda yang melibatkan kepentingan paling kompleks ini menjadi pilihan yang disepakati.

Dari semua yang kita pahami mengenai proses demokrasi, kita menjadi sadar bahwa proses demokrasi bukan sesuatu yang final. Inilah yang sekiranya harus terkristalisasi dalam kesadaran kita semua untuk selalu menumbuhkembangkan mental dan sistem demokrasi yang sehat. Demokrasi bisa mengandung potensi disintegrasi dalam dirinya yang mesti secara cerdas kita kelola dan kita sikapi. Bukan sebaliknya, justru diposisikan sebagai peluang untuk dikapitalisasi, dieksploitasi, dan dipolitisasi. Sebab, itulah perlunya bagaimana membangun tradisi rekonsiliasi yang dapat berjalan seiriing dengan tradisi demokrasi.
(-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar