Jumat, 01 April 2011

Belanda, Tionghoa, dan Film Nasional

Chairil Gibran Ramadhan
Sastrawan Betawi


Meski dalam sejarah perfilman nasional tercatat bahwa film cerita pertama yang dibuat di Indonesia dan menampilkan cerita asli dari Indonesia adalah "Loetoeng Kasaroeng", film bisu yang tergolong sukses pada zamannya itu tidak mendapat penghormatan apa-apa dari insan perfilman dan pemerintah kita yang berhubungan dengan penobatan seseorang atau sebuah perayaan, kecuali dianggap sebagai "Film Indonesia Pertama", termasuk peran besar The Teng Chun dan Tan Koen Yauw sebagai regisseur (dipakai sebelum munculnya istilah sutradara) sekaligus produser yang turut membangun perfilman nasional.

Sebab, dalam surat keputusan yang dikeluarkan Dewan Film Indonesia tertanggal 11 Oktober 1962, ditetapkan bahwa hari syuting pertama film "The Long March" (Darah dan Doa), 30 Maret 1950, sebagai Hari Film Nasional-dengan Usmar Ismail (Pemilik Studio Film Perfini, Persatuan Film Nasional Indonesia) dan Djamaludin Malik (pemilik Studio Film Persari, Perseroan Artis Indonesia) sebagai Bapak Perfilman Nasional.

Ketetapan ini sendiri baru mendapat pengakuan pemerintah 30 tahun kemudian, melalui penandatanganan Undang-Undang Perfilman pada 30 Maret 1992 oleh Presiden Soeharto.

Dalam sejarahnya, sejak masa prakemerdekaan hingga lebih satu dekade sesudahnya, tumbuh dan berkembangnya dunia perfilman Indonesia tidak lepas dari peran orang Belanda dan orang Tionghoa, dengan Batavia sebagai pusat kegiatannya.

Namun, terhitung sejak 1940, terlihat orang Tionghoa tidak lagi membuat film dengan cerita-cerita yang diambil dari hikayat Tiongkok atau tentang orang Tionghoa atau menggunakan judul dalam bahasa Tionghoa. Meski begitu, peran mereka dalam dunia perfilman Indonesia tetap kuat terasa hingga pertengahan dekade 1950-an sebagai produser, sutradara, penata fotografi, penulis cerita dan skenario, atau pemain.

Dan seperti keberadaan orang Tionghoa yang terus menyusut dalam dunia perfilman Indonesia, setelah itu pun tidak ada lagi film Indonesia yang diproduksi langsung oleh orang Belanda atau tentang orang Belanda atau menggunakan judul dalam bahasa Belanda. Namun demikian, sumbangsih mereka tetap saja tercium dan baru pupus ketika datangnya Jepang pada 1942.

Lantaran bersamaan itu pula, nama-nama non-Belanda dan non-Tionghoa (biasa disebut 'pribumi') yang turut muncul malu-malu sejak zaman "Loetoeng Kasaroeng" menjadi semakin percaya diri dan menyeruak secara jumlah di sela jayanya Indonesia sebagai negara merdeka. Orang Belanda yang dianggap penjajah dan penjahat banyak yang pulang ke negerinya, atau anak-cucu keturunannya yang terlahir sebagai Indo banyak yang memilih pekerjaan-pekerjaan lain. Dan orang Tionghoa yang dianggap tamu, lebih banyak mengurusi perniagaan yang berhubungan dengan kebutuhan primer dan sekunder.

Hingga jatuhnya Orde Lama dan gemilangnya Orde Baru, di awal dekade 1970-an, orang berdarah Belanda dan orang Tionghoa yang menjadi tokoh perfilman nasional hanyalah tersisa dalam hitungan sebelah tangan, seperti Tan Tjeng Bok, Fifi Young, dan Fritz G Schadt. Nama yang disebutkan terakhir bahkan bertahan hingga pertengahan 1980-an.

Lupakah sejarah?
Di sisi yang berbeda, Batavia yang menjadi pusat ekonomi, sosial, politik, seni, dan budaya memegang peranan yang tidak kalah penting dalam tumbuh dan berkembangnya sejarah perfilman nasional pada sebelum zaman normal. Sebab, selain sebagai ibu kota pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan tempat berdirinya perusahaan-perusahaan film, Batavia dengan Betawi sebagai etnis asli sudah menjadi penyumbang cerita dengan warna lokalnya yang kaya.

Maka, selain cerita-cerita yang menampilkan tokoh dan nuansa Belanda dan Tionghoa, cerita-cerita dengan tokoh dan nuansa Betawi pun mendapat tempat tersendiri di kalangan boemipoetra, bahkan memberi banyak keuntungan materi bagi pembuatnya.

Cerita dengan aroma Betawi yang pertama diangkat ke dalam film dengan teknologi hitam-putih dan tanpa suara yang ada saat itu adalah Nyai Dasima, lewat film berjudul sama-berdasarkan novelette "Tjerita Njai Dasima" karya G Francis yang diterbitkan Kho Tjeng Bie & Co di Batavia pada 1896. Menurut pihak studio, "Njai Dasima" dibuat dengan maksud menarik perhatian penonton-penonton boemipoetra dari klas moerah.

Keberhasilan film yang dibuat hingga tiga seri ini dalam menyedot orang untuk datang ke wayang gambar (bioskop), kemudian mendorong Tan's Film untuk membuat ulang ketika teknologi film bicara sudah ditemukan-meski tetap dengan tampilan hitam-putih-dan menjadikannya sebagai film bicara pertama yang dihasilkan Tan's Film.

Cerita dengan tokoh dan nuansa Betawi lain yang kemudian ditampilkan dalam film nasional di zaman normal adalah "Si Ronda" dan "Si Pitoeng", yang sebelumnya juga banyak dipentaskan dalam teater Lenong Betawi. Keduanya bercerita tentang kepahlawanan tokoh jawara Betawi dalam menentang kezaliman yang dilakukan penguasa Hindia Belanda, kebathilan melawan kejahatan.

Perbedaan keduanya dengan "Njai Dasima" terletak pada unsur drama tidak begitu menjadi perhatian utama, lantaran yang dijual adalah unsur action. Sementara dalam "Njai Dasima" justru unsur drama itulah yang ditonjolkan untuk mengaduk-aduk perasaan penonton-dengan berbagai intrik dan konflik yang terjadi di dalamnya. Adapun action hanya merupakan penyedap, lewat tokoh Samiun dan Bang Puasa.

Tulisan ini semata sebagai pengingat sejarah dari sebuah kebudayaan populer yang la hir, tumbuh, dan berkembang. Karena ketika 30 Maret ini adalah Hari Film Nasional. Mereka adalah perintis perfilman nasional lewat peran besarnya—namun kerap di ang gap sebagai pen jajah dan tamu: orang Belanda dan orang Tionghoa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar