Jumat, 01 April 2011

Petani Masih Diabaikan

Sumarno
Profesor Riset Badan Litbang Pertanian


"Pangan yang murah faktanya diproduksi oleh petani-petani miskin bukan atas dasar tujuan kemanusiaan, melainkan semata-mata untuk tujuan ekonomi. Mereka itu tidak memproduksi bahan pangan berdasarkan target kecukupan pangan bagi bangsanya, tetapi mereka pasti akan memproduksi pangan lebih banyak asalkan memperoleh insentif ekonomi yang layak." (Dari: Amartya Sen, 1994)

Pesan moral dari kutipan seorang cendekiawan pertanian arif tersebut adalah bahwa harga pangan yang murah cenderung memiskinkan petani, dan sebaliknya, petani akan lebih bergairah memproduksi pangan lebih banyak apabila dengan itu pendapatan mereka meningkat. Memang era harga pangan murah sebenarnya telah lewat bersamaan dengan kondisi biaya pendidikan anak menjadi mahal, biaya kesehatan meroket selangit, dan harga-harga produk manufaktur sangat mahal.

Petani adalah warga negara seperti kita-kita juga, yang ingin menyekolahkan anak. Kalau ada keluarganya yang sakit, harus dibawa ke rumah sakit, ingin beli alat hiburan, transportasi, komunikasi, dan sedikit beli pakaian, setahun sekali. Dari mana mereka mendapatkan uang untuk itu semua kalau bukan dari menjual hasil panen padinya?

Kalau gelar pahlawan diperuntukkan bagi warga bangsa yang sangat berjasa kepada kelangsungan hidup bangsa dan negara, petani tidak dapat diragukan adalah pahlawan bangsa sejak zaman dulu secara turun-temurun. Petani secara tulus dan rela bekerja membanting tulang, berkeringat, dan bermandi lumpur untuk memproduksi beras yang akhirnya dijadikan pangan bagi warga negara setiap hari sepanjang masa.

Masyarakat (maunya) membayar harga bahan pangan dengan harga yang sangat murah. Oleh kondisi yang demikian, petani menjadi warga yang berpenghasilan rendah dan sering diposisikan sebagai warga kelas bawah, kurang dihormati, sering dipanggilnya sebagai "hanya seorang petani" oleh berbagai pihak.

Petani adalah pengusaha
Petani tanaman pangan Indonesia memang umumnya adalah petani kecil dengan median luas pemilikan lahan sekitar 0,35 ha per rumah tangga petani (RTP). Bandingkan dengan petani padi di Thailand yang luas lahannya 4 ha/RTP; Malaysia: 7 ha/RTP; Vietnam 2 ha/RTP; Myanmar 3-4 ha/RTP; atau petani padi Australia 150 ha/RTP; Amerika Serikat 200 ha/RTP.

Sebenarnya, betapa hebatnya petani tanaman pangan Indonesia yang dengan luas lahan hanya 0,35 ha/RTP dapat menghidupi keluarganya dan mencukupi pangan bangsanya, subhanallah. Tidakkah sudah semestinya kita salut dan hormat kepada petani yang telah begitu banyak berjasa atas kekuatan mereka sendiri tanpa ada korupsi, kolusi, dan nepotisme?

Dengan luas pemilikan lahan 0,35 ha/RTP (di Jawa Barat disebut dengan istilah 250 bata, di Jawa Tengah 0,5 bau, di Jawa Timur 1/3 ha), petani sebenarnya memiliki nilai aset sekitar Rp 175 juta/RTP, ditambah dengan nilai aset pekarangan dan rumahnya, rata-rata pemilikan aset petani menjadi sekitar Rp 300 juta/RTP. Namun sungguh disayangkan, petani pengusaha dengan aset Rp 300 juta per RTP tersebut dinilai belum layak bank atau tidak bankable, apabila ingin memperoleh dana untuk memproduksi pangan (beras) bagi keluarga dan bangsanya.

Padahal, bertanam padi pada zaman sekarang harus mempunyai modal tunai. Untuk mudahnya, kita hitung biaya produksi padi per ha, yang di Pulau Jawa berkisar antara Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per ha (di luar pulau Jawa berkisar antara Rp 4,5 juta hingga Rp 6,5 juta/ha). Dari total biaya tersebut, 75 persennya harus berupa modal tunai, yang berarti petani harus memiliki modal Rp 3,75 juta hingga Rp 4,5 juta per ha.

Bagi sebagian besar petani, yang luas lahannya 0,35 ha, modal tunai yang harus tersedia adalah Rp 1,5 juta hingga Rp 2,0 juta/RTP, yang sayangnya mereka tidak memiliki uang sebanyak itu pada waktu menjelang musim tanam. Dari mana lagi memperoleh modal kalau bukan dari pinjam ke pemilik uang?

Hasil dari panen padi 0,35 ha setelah dipotong bawon adalah sekitar 2,1 ton gabah kering panen (GKP), dengan nilai jual waktu sekarang (Rp 2.800/kg) sekitar Rp 5,9 juta/RTP. Pinjaman modal Rp 2,0 juta yang bukan dari bank resmi, dalam waktu empat bulan petani harus mengembalikan Rp 3 juta. Pendapatan petani dari bekerja keras selama empat bulan, bila tenaganya tidak dihitung upahan adalah Rp 2,9 juta/RTP, atau hanya Rp 725.000/bulan. Pendapatan tersebut jauh lebih rendah dari ketentuan upah minimum dan yang jelas tidak mencukupi untuk menyekolahkan anak, membiayai pengobatan bila keluarganya sakit, dan untuk keperluan dasar lain.

Itulah sebabnya keluarga petani tanaman pangan sebagian besar termasuk warga miskin. Dari gambaran tersebut, memang petani pada umumnya adalah warga yang berpendapatan rendah, penghasilan mereka hanya setara dengan upah seorang pembantu rumah tangga di Jakarta. Tetapi, bukankah misi kerja petani begitu mulia? Dari mana kita semua memperoleh makanan apabila petani tidak menanam padi?

Banyaknya rumah tangga petani tanaman pangan sekitar 18 juta RTP, atau dengan keluarga mereka total sekitar 90 juta orang. Seandainya, petani yang kurang kita hargai tadi ngambek dan menanam padi hanya untuk mencukupi pangan keluarganya, dari mana kita yang berjumlah 150 juta warga Indonesia nonpetani akan mendapatkan beras untuk makan sehari-hari? Impor beras dari luar negeri pun tidak akan mencukupi karena persediaan beras di pasar dunia sangat terbatas.

Sudah waktunya kita memosisikan petani menjadi warga negara yang terhormat dengan cara memberikan fasilitas dan berbagai kemudahan. Alangkah baiknya apabila pemerintah dapat memberikan pelayanan kesehatan secara layak kepada keluarga petani dengan biaya murah, memberikan pendidikan secara gratis bagi anak-anak petani hingga tingkat sekolah menengah atas, dan menyediakan beasiswa bagi anak petani yang cerdas-pandai yang dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Dan yang terpenting, menyediakan kredit modal kerja usaha tani dengan bunga rendah atau tanpa bunga, disertai dengan penetapan harga jual gabah yang memberi insentif ekonomi bagi petani.

Dalam kehidupan berbangsa kita secara keseluruhan harus saling membantu. Tidak elok dan tidak pantas apabila kekayaan ekonomi sebagian besar mengalir hanya ke kelompok masyarakat tertentu. Kita perlu membantu kehidupan petani pangan skala kecil, yang secara historis lahan mereka memang sempit, tetapi toh mereka sangat berjasa dalam menyediakan pangan bagi bangsanya.

Membantu petani tanaman pangan bermakna menjamin lapangan pekerjaan bertani secara layak untuk kehidupan. Tidak ada cara lain untuk memberikan jaminan stabilitas sistem produksi pangan nasional dan ketahanan pangan nasional, selain membalas budi baik petani, melalui tindakan-tindakan seperti yang disebutkan di atas. Marilah kita hormati pahlawan penyedia pangan bangsa Indonesia sebelum terlambat. Semogalah demikian halnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar