Sabtu, 02 April 2011

Terima Kasih NH!

Oleh Zaim Uchrowi

Sungguh ia memang layak menerima ucapan terima kasih. Ya, siapa lagi kalau bukan Nurdin Halid? Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) paling terkenal sepanjang sejarah. Bukan karena prestasinya yang membuat dia sukses membuat liga paling menarik di Asia Tenggara, tapi sepak terjangnya.

Sikap Nurdin memperjelas sampai mana kemajuan bangsa ini. Terkadang kita merasa Indonesia sudah sangat maju. Dalam banyak hal, bangsa ini sudah tak beda dengan bangsa maju. Pemakaian elektronik dan dunia digital, misalnya. Para musisi asing hilir mudik ke negeri ini. Justin Biebers, penyanyi biasa saja yang populer itu, pun menyempatkan ke Indonesia dalam tur dunianya.

Namun, di sisi lain, ternyata bangsa ini masih tradisional. Bahkan, masih agak primitif. Nurdin Halid mengingatkan itu. Tolok ukur penting kemajuan masyarakat atau bangsa adalah etika. Makin maju bangsa, makin ketat menjaga etika. Menlu Jepang mundur karena menerima uang Rp 27 juta. Bukan untuk pribadi. Tapi, buat kegiatan politiknya. Yang memberi adalah sahabat lamanya, yang masih berkewarganegaraan asing. Itu tak dibenarkan di Jepang.

Etika masyarakat tradisional tak sekental pada masyarakat maju. Namun, masyarakat tradisional memegang teguh norma. Secara umum tak ada yang mencoba melanggar norma. Jika melanggar, umumnya semua rela menerima sanksi atas pelanggaran itu. Nurdin menunjukkan, di negeri ini bukan etika dan bukan norma yang penting. Yang penting kuat. Untuk itu harus kaya, banyak koneksi, dan 'sanggup membiayai'. "Jer basuki mowo beyo."

Menginjak-injak etika di bangsa ini tak apa-apa. Itu ditunjukkannya lewat statuta PSSI. Dasar statuta FIFA pun dipelintir hingga dia, sebagai mantan narapidana, tetap bisa memimpin PSSI. Manipulasi penerjemahan dipakai dasar untuk berkuasa. Itu didukung oleh hampir seluruh pihak yang membawa label PSSI.

Presiden Soeharto dulu dianggap otoriter. Tapi, ia memilih mundur saat sebagian rakyat protes. Soeharto legowo dengan keputusannya. Nurdin tak begitu. Publik hanya mengharapkannya tahu diri. "Kalau Nurdin menyatakan tak akan maju lagi buat memimpin PSSI, persoalan selesai." Itu kata Tjipta Lesmana, dari Komisi Banding PSSI. Publik akan menerimanya. Tapi, Nurdin terus bersiasat adu kuat.

Bersiasat adu kuat tanpa etika adalah ciri masyarakat primitif. Hukum sering dipakai sebagai alasan. Tapi, hukum tanpa etika akan menjadi akal-akalan manipulatif. Itu terjadi di sini. Tak cuma dalam kasus PSSI. Namun, ada pada hampir pada sekujur tubuh bangsa. Sebagian besarnya dilakukan tanpa terang-terangan.

Maka, sungguh bersyukur Allah SWT menciptakan Nurdin Halid. Sosok yang terang-terangan menunjukkan bahwa kita, bangsa ini, memang masih agak primitif. Itu membuka kesadaran kita agar bekerja lebih keras. Bekerja membenahi kehidupan keluarga secara umum, dunia pendidikan, dakwah agama, budaya politik, dan keteladanan pemimpin yang belum mampu melahirkan manusia-manusia beretika.

Generasi mendatang haruslah generasi yang teguh beretika. Jangan ada pribadi seperti Nurdin Halid. Apalagi seperti dia namun seolah lebih baik. Bangsa ini memerlukan transformasi mendasar. Keluarga, pendidikan, seruan agama, praktek politik, hingga keteladanan nasional harus mampu melahirkan generasi beretika. Hal yang akan membuat bangsa ini dapat sungguh menjadi bangsa maju.

Nurdin Halid, lewat segala manuvernya, menjadi pengingat atas keadaan itu. Terima kasih NH. Semoga Allah SWT menjadikanmu manusia lebih baik di mata-Nya. Bukan di matamu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar