Sabtu, 02 April 2011

Petualangan Imperialisme Barat Masih Berlanjut

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sebenarnya, rakyat di dunia Islam ingin sekali agar penguasa-penguasa korup dan ganas di negaranya masing-masing pada tumbang. Rakyatnya diberi kebebasan sebagai manusia penuh, bukan setengah budak, sebagaimana masih terlihat di beberapa negara Arab. Dipicu oleh drama Tunisia, menjalar ke Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, Suriah, Yordan, dan lain-lain, adalah pertanda peringatan keras kepada penguasa mereka: stop kekuasaan korupmu!

Perjuangan untuk merebut kebebasan ini harus dibayar mahal oleh rakyat di kawasan itu. Kita tidak tahu persis berapa ribu yang telah menjadi mayat, demi kebebasan dan keadilan. Sementara itu, sebagian besar penguasanya masih saja merasa benar di jalan yang sesat itu. Di Tunisia dan Mesir, perjuangan pro-demokrasi itu relatif berhasil, penguasa otoritariannya telah tersingkir.

Namun, di negara-negara selain yang dua itu, perlawanan rakyat masih membara, sedangkan penguasanya berdegil, tetap saja ingin bertahan, sekalipun dengan membunuh rakyatnya sendiri. Libya adalah yang paling dramatis. Negara yang kaya minyak itu sudah terbelah. Perang saudara telah meledak.

Tripoli tidak mau kompromi dengan kelompok perlawanan. Peluang ini dimanfaatkan Barat untuk melanjutkan petualangan imperialisme yang tidak pernah puas dan tidak pernah jera. Berlindung di balik Keputusan Dewan Keamanan PBB beberapa hari yang lalu yang menetapkan no fly zone (larangan terbang) bagi pesawat rezim Qadafi, Barat malah menggempur Libya.

Negara-negara Barat yang terlibat adalah Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Spanyol, Kanada, dibantu pula oleh beberapa negara Arab yang pro-Barat. Petanya menjadi semakin runyam. Rusia dan Cina yang memilih abstain dalam pemungutan suara dalam Dewan Keamanan, hanya bereaksi lunak atas bombardir Barat atas bumi Libya.

Tetapi Vladimir Putin, perdana menteri Rusia, menuduh Barat tengah mengulang Perang Salib yang dulu antara abad ke-11 sampai dengan abad ke-14 telah menempatkan Dunia Islam berhadapan dengan Eropa. Sekalipun di ujung peperangan yang sangat panjang itu, kekuatan Eropa akhirnya dapat diusir, dunia Islam juga telah babak belur, energi mereka terkuras habis. Semua infrastruktur masyarakat dan kebudayaan telah jadi puing. Perang Salib terjadi bersamaan dengan serangan Mongol dari arah Timur atas dunia Islam yang meluluhlantakkan Kota Baghdad pada 1258, pusat ilmu dan peradaban ketika itu.

Sekarang situasinya berbeda. Dunia Islam sama sekali tidak siap tempur. Peradaban mereka berada di titik nadir. Sekalipun Saddam Hussein (saat Perang Teluk) dan Qadafi misalnya berkoar-koar untuk mempertahankan inci demi inci bumi Tanah Airnya masing-masing, pasti pada akhirnya mereka tersungkur. Bukan semata-mata karena serangan Barat yang brutal dan imperialistik, tetapi juga rakyatnya sendiri telah lama muak menonton kelakuan penguasanya yang zalim.

Ajaibnya, Dunia Islam tak pernah belajar dari kelampauan yang sarat tragedi penderitaan itu. Langkah salah selalu saja diputar berulang-ulang. Itulah sebabnya Iqbal (baca Resonansi Selasa, 22 Maret) mempertanyakan dengan sangat serius, siapa kita sebenarnya, apakah Muslim betul atau manusia lain dalam jubah Islam.

Barat yang imperialistik adalah manusia paling rakus di muka bumi. Dukungan mereka, terlebih Amerika, terhadap Israel adalah dalam strategi untuk kepentingan syahwat penguasaan minyak. Presiden Obama tak berdaya. Lobi Yahudi jauh lebih perkasa. Negara-negara, seperti Saudi, Kuwait, Qatar, dan Bahrain, adalah sekutu Barat, bukan atas dasar persamaan pandangan politik, tetapi semata-mata karena nafsu imperialismenya yang tak pernah kendur.

Negara-negara Arab ini telah lama dijadikan sapi perahan Barat, sementara para penguasanya masih saja berleha-leha, tidak jarang didukung oleh dalil-dalil agama, rumusan ulama. Pertanyaan saya adalah: sampai kapan kebahluan yang memalukan ini dipertahankan, dan Dunia Islam kembali berdaulat di atas fondasi pemahaman Islam yang autentik, Islam Qurani, Islam kenabian? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah kerja intelektual kolektif kita yang sangat mendesak dan tidak boleh ditunda lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar