Jumat, 01 April 2011

Jati Diri Film Indonesia

Imam S Arizal
Penikmat Film,
Peneliti Humaniush UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Setiap 30 Maret kita memperingati Hari Film Nasional. Setelah Republik ini sempat dihebohkan soal pajak film impor yang berujung pada ancaman MPA (Motion Picture Association) yang hendak menyetop peredaran film Hollywood di Indonesia, kiranya Hari Film Nasional menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas film Tanah Air. Para sineas harus bangkit, membangun film nasional yang berkarakter dan menjadi tuan di rumah sendiri.

Ruang untuk memperbaiki mutu film nasional kini terbuka lebar. Dukungan tidak hanya datang dari bawah, tapi juga dari pihak pemerintah. Presiden RI melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik elum lama ini mewacanakan hendak memproteksi film nasional dengan cara mengurangi beban pajak. Menbudpar juga menyebutkan bahwa Presiden ingin pajak pertambahan nilai (PPN) film nasional menjadi nol persen. Tujuannya adalah demi memperbaiki kualitas dan kuantitas film kita. Apalagi, pemerintah menargetkan 200 film tercipta pada 2011 ini.

Bentuk pemanjaan terhadap film Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Pada 1970-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat monumental, setiap importir yang memasukkan tiga judul film impor wajib memproduksi satu film nasional. Di zaman Menteri Penerangan RI Ali Murtopo (1978-1983) lebih seru lagi. Produksi film dilecut. Promosi dan pemasaran film nasional di luar negeri, termasuk ke Eropa dan Amerika, digalakkan. FFI pun dibiayai.

Ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta (1966-1977), film Indonesia diperlakukan dengan sangat baik. Pusat perfilman dibangun. Lengkap dengan Pusat Dokumentasi (Sinematek). Pajak tontonan di DKI Jakarta waktu itu setiap tahun dikembalikan ke produser film untuk mendorong mereka meningkatkan kualitas film Indonesia. Pengembalian pajak tontonan juga diberikan kepada pengusaha bioskop supaya bisa meningkatkan fasilitas dan pelayanan kepada penonton.

Pada 1986, pengusaha Soedwikatmono bekerja sama dengan Raam Punjabi mempelopori pembangunan jaringan bioskop Sinepleks atau kompleks bioskop. Setelah sukses dengan percobaan Sinepleks di Bioskop Kartika Chandra, dilanjutkanlah dengan nama jaringan 21 (baca: Twenty One). Gedung pertamanya megah. Gedung megah 21 pertama itu terletak di jalan utama Ibu Kota, yaitu di Jalan MH Thamrin Kavling 21 (sekarang Menara BII).

Secara kuantitas, dukungan pemerintah dan pengusaha terhadap film memang cukup baik. Tetapi, ternyata tidak ada hubungan langsung antara pemanjaan itu dengan kualitas film. Hingga saat ini, industri film nasional belum mampu berbenah diri, melahirkan film yang berkualitas tinggi. Alih-alih membangun jati diri, malah banyak film kita yang masih meniru gaya-gaya film luar negeri.

Mencari jati diri
Pemanjaan pemerintah terhadap film lokal kiranya perlu diimbangi dengan evaluasi bersama. Lebih-lebih mengingat film Indonesia masih terhegemoni oleh kepentingan pasar. Penjualan seakan menjadi target utama dari para sineas Indonesia. Film didesain sesuai dengan kebutuhan pasar. Di saat dunia perfilman global memproduksi film-film horor, drama, komedi, dan action yang berbau seks, film kita ikut-ikutan di belakangnya. Film seakan dicipta sebagai ladang bisnis belaka.

Apa yang terjadi dalam tiga tahun terakhir kiranya patut dijadikan bahan refleksi bersama. Film kita jauh sangat merosot ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Film "Cinta Dalam Sepotong Roti", "Bulan Tertusuk Ilalang", "Laskar Pelangi", "Sang Pemimpi", "Denias", "Garuda di Dadaku", "Ayat-Ayat Cinta", dan "Perempuan Berkalung Sorban" yang mengisi deretan film film bermutu Indonesia hanyalah satu dari puluhan film dengan kualitas memprihatinkan.

Ironisnya, adegan seks telah seakan menjadi menu utama film Tanah Air. Tengoklah misalnya film "Hantu Puncak Datang Bulan", "Suster Keramas", "Dendam Pocong Mupeng", "Paku Kuntilanak", "Hantu Binal Jembatan Semanggi", "Menculik Miyabi", dan lain-lainnya. Nuansa seksnya begitu kentara sampai-sampai kita bingung membedakan antara kualitas akting dan kualitas tubuh pemerannya. Di sinilah kemudian kita menemukan titik kesangsian antara dukungan pemerintah dan wajah film nasional.

Rupa-rupanya pemerintah belum mengetahui petunjuk yang tepat bagaimana menuju industri film yang bagus di Indonesia. Upaya yang dilakukan baru sebatas hitung-hitungan ekonomi dengan menaikkan pajak film impor yang masuk Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah dengan meningkatkan pajak film impor dan menghapus pajak film nasional akan meningkatkan kualitas film Tanah Air? Inilah yang perlu dievaluasi bersama. Jika tidak, upaya pemerintah hanya akan menuai kegagalan.

Sebenarnya, upaya untuk meningkatkan kualitas film tidak semata-sama alasan ekonomis. Kemampuan para sineaslah yang lebih menentukan nasib perfilman kita. JB Kristanto (2004) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang medium film itu sendiri sangat diperlukan, seperti teori-teori editing, teknologi kamera dan pencahayaan, kemampuan manipulasi yang bisa dilakukan kamera maupun laboratorium film, teori-teori akting, dan dramaturgi.

Pengetahuan ini betul-betul dipakai hanya sebatas sebagai alat bantu, karena kita tahu bahwa kesenian berkembang bersama dengan usaha sang seniman untuk selalu melanggar kaidah-kaidah yang sudah ada sebelumnya baik kaidah estetik maupun penemuan-penemuan teknologi baru perfilman yang membuat sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin menjadi mungkin.

Selain itu, film mesti dibuat karena rangsangan konteks sosial dan konteks pemikiran tertentu. Konteks itu dijawab oleh penciptanya yang hidup dalam konteks sosial dan pemikiran yang sama. Seberapa hebat pencapaian estetisnya, film harus bisa bicara dalam konteks masyarakat Indonesia. Artinya, bila film itu tidak bisa bicara dengan konteks suatu masyarakat, film itu belum bisa dikatakan baik.

Dari uraian di atas, kiranya peningkatan mutu dan pencacian jati diri film nasional menjadi hal yang utama daripada sekadar dukungan pemerintah yang bersifat materi. Jika memang pemerintah ingin membantu industri film, kualitas harus lebih diutamakan daripada target kuantitas semata. Para sineas juga mesti memperhatikan sisi pendidikan, budaya, sosial, dan keindonesiaan kita sebagai jati diri perfilman nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar