Jumat, 01 April 2011

Demokratisasi Arab dan Masa Depan Israel

Riza Sihbudi
Pemerhati Timur Tengah, Mantan Diplomat


Gelombang gerakan prodemokrasi-menuntut reformasi politik-di dunia Arab, yang diawali dengan keberhasilan mereka menjatuhkan Presiden Tunisia Zaenal Abidin Ben Ali, dan kemudian disusul oleh tergulingnya Presiden Husni Mubarak di Mesir, kini telah menjalar ke bagian lain di dunia Arab, terutama Libya, Yaman, Bahrain, dan Yordania.

Gelombang tersebut diperkirakan tidak akan berhenti sampai di situ, tetapi akan terus menjalar ke negara-negara Arab lainnya, termasuk Palestina dan Arab Saudi. Kendati ada kecurigaan intervensi militer NATO-yang sesungguhnya tidak untuk memaksa Pemimpin Libya Kolonel Muamar Qadafi mundur-memiliki tujuan politik strategis lebih jauh untuk menghentikan gelombang prodemokrasi itu sendiri agar tidak menjalar ke negara-negara Arab sekutu Barat.

Jatuhnya Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir menandakan "kekalahan" cukup telak bagi Barat (baca AS/NATO) sejak jatuhnya Syah Reza Pahlevi di Iran sekitar 40 tahun silam. Jatuhnya Mubarak sekaligus menandai akan adanya perubahan strategi politik Barat di Dunia Arab dan Timur Tengah secara keseluruhan. Mubarak adalah "boneka" Amerika yang paling setia, termasuk dalam melindungi eksistensi negara Zionis Israel.

Mubarak tidak segan-segan untuk menutup rapat-rapat perbatasan Mesir-Gaza agar warga Palestina tidak dapat menghindar dari keganasan serdadu Zionis. Kini, dengan jatuhnya Mubarak, ditambah belum adanya kepastian siapa yang bakal berkuasa di Mesir, akan semakin membuat posisi rezim Zionis Israel kian terjepit. Namun, bagaimana sebenarnya masa depan Zionis Israel dengan makin derasnya gelombang demokratisasi di dunia Arab?

Kaum Hawkish/Neocon
Selama bertahun-tahun, dunia Arab dicitrakan seakan-akan jauh dari politik yang demokratis. Peralihan kekuasaan senantiasa hanya melibatkan "lingkaran dalam" istana, baik kalangan keluarga maupun klik elite politik yang berkuasa. Namun, kondisi ini justru "dipelihara" oleh Barat. Mereka sama sekali tidak peduli pada kenyataan bahwa rezim-rezim itu telah menindas rakyatnya selama berpuluh-puluh tahun.

Bagi Barat, yang lebih penting, rezim-rezim tersebut dapat melayani kepentingan ekonomi dan politik Barat, terutama dalam hal suplai minyak dan melindungi eksistensi negara Zionis Israel. Itulah sebabnya, masalah Palestina tetap dibiarkan terkatung-katung. Apa yang disebut sebagai "proses perdamaian" pada hakikatnya tidak lebih dari sekadar "sandiwara" dengan AS sebagai "sutradaranya" dengan tujuan utama untuk "menghibur" publik di dunia Arab.

Pengaruh kaum Hawkish dan Neo-Conservative (yang dikendalikan lobi Israel) dalam politik Amerika Serikat, tampaknya masih cukup kuat, kendati George W Bush dan Dick Cheney sudah tidak lagi bercokol di Gedung Putih. Obama tampak bagai pion yang tak mampu berbuat banyak untuk menciptakan situasi yang lebih baik di kawasan Timur Tengah.

Ketidakmampuan Presiden Barack Hussein Obama untuk menghentikan ambisi PM Israel Benyamin Netanyahu yang terus membangun permukiman Yahudi di wilayah Palestina, serta retorika Obama yang terus mengancam Iran (terkait dengan kasus program nuklir Teheran), membuktikan asumsi di atas.

Keputusan Obama untuk terlibat langsung dalam Krisis Libya pun kemungkinan besar akibat tekanan kuat dari kaum Hawkish dan Neocon yang memang selalu "haus darah" dan "haus minyak". Sulit dimungkiri, intervensi militer AS dan kawan-kawan, meski atas nama "kemanusiaan", pada hakikatnya lebih didorong oleh nafsu menguasai ladang-ladang minyak Libya. Kaum Hawkish dan Neocon-khususnya yang tergabung dalam PNAC (Project for New American Century)-selalu berdalih, untuk "menguasai dunia, harus pula menguasai sumber energi minyak bumi."

Akibatnya, AS/NATO hanya "berani" mengintervensi secara militer terhadap Libya, tapi tidak kepada negara-negara Arab lain (kendati sudah banyak warga sipil yang tewas akibat kebrutalan penguasa) seperti Yaman dan Bahrain. Libya merupakan negara kaya minyak dan sekaligus menjadi negara Arab yang dikendalikan oleh pemimpin yang sulit dikendalikan Barat, berbeda dengan Yaman dan Bahrain.

Nasib Israel
Selama berpuluh-puluh tahun, negara Zionis Israel selalu dicitrakan sebagai sebuah negara "paling maju" di Timur Tengah. Negara ini dianggap memiliki keunggulan di segala bidang dibanding negara-negara Arab tetangganya yang selalu dicitrakan "terbelakang". Pandangan ini tidak sepenuhnya salah. Terutama, jika mengacu pada beberapa kali kekalahan Arab dalam perang melawan Israel serta kelihaian kaum Lobi Zionis dalam mengendalikan elite politik dan media massa Barat.

Namun, mitos keunggulan Israel mendadak mulai runtuh, terutama setelah tiga kejadian penting, yaitu perang Israel vs Hizbullah Lebanon pada 2006, perang Israel vs Hamas di Jalur Gaza (2008), serta penyerangan atas kapal sipil "Maxi Marmara" dan "Rachel Corie" di perairan Jalur Gaza (2010).

Perang Isral vs Hizbullah dan Hamas membukakan mata dunia bahwa keunggulan militer Israel ternyata hanya tinggal mitos belaka. Sementara kasus "Maxi Marmara" dan "Rachel Corie" berhasil membalikkan sikap mayoritas warga Barat, yang semula bersimpati berbalik menjadi antipati pada rezim Zionis Israel, yang terbukti tak segan-segan mengorbankan warga sipil untuk tujuan politiknya. Dalam hal ini sebenarnya Israel layak disejajarkan dengan Alqaidah sebagai kaum "teroris" dunia.

Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad pernah menegaskan, Israel layak "dihapuskan" (wipe off) dari peta dunia lantaran eksistensinya dianggap "ilegal". Israel memang didirikan di atas fondasi kebohongan yang bernama "holocaust" yang konon telah mengakibatkan tewasnya "enam juta" warga Yahudi di tangan Hitler pada masa Perang Dunia.

"Holocaust" menjelma menjadi "kebenaran mutlak" yang nyaris "menyamai" agama. Di Eropa, misalnya, ada seorang sejarawan yang dijebloskan ke penjara hanya karena dia menyanggah kebenaran ilmiah "holocaust".

Sudah tentu, pernyataan Ahmadinejad tersebut menyulut api kemarahan di Barat dan para anteknya. Namun, Ahmadinejad justru memperoleh simpati dari kalangan rabi Yahudi "anti-Zionis" yang tergabung dalam kelompok "Neturei Karta" yang berbasis di Washington DC. Sudah lama kelompok rabi "ortodoks" ini meyakini bahwa eksistensi negara Zionis Israel justru bertentangan dengan Kitab Suci mereka, Taurat (lihat, www.nkusa.org).

Jika mayoritas warga Arab kini menatap masa depan yang lebih cerah akibat gelombang demokratisasi, tidak demikian halnya dengan warga Israel. Rezim Zionis Israel kini sudah kehilangan hak moral untuk membanggakan diri sebagai negara Timur Tengah yang paling demokratis. Israel kini bahkan diselimuti rasa waswas dengan gelombang demokratisasi di dunia Arab.

Pasalnya, cepat atau lambat, gelombang demokratisasi yang tengah melanda Dunia Arab bak Tsunami yang bakal menyapu bersih para sekutu Zionis Israel dan para "boneka" Barat di kawasan ini. Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar