Rabu, 09 Februari 2011

Buku dan Pencerdasan Bangsa

Tb Dedi S Gumelar
Anggota Komisi X DPR-RI Fraksi PDI Perjuangan

Hanya dalam hitungan minggu, buku yang mengulas profil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditemukan di banyak kabupaten. Buku-buku ini dikirimkan bersamaan sebagai paket Dana Alokasi Khusus (DAK). Berbagai kontroversi muncul, bahkan arah untuk mempolitisasikan isu ini menjadi celah untuk menghantam Presiden.

Dalam obrolan politik yang berkembang di masyarakat, kasus ini terkesan ada unsur kesengajaan bahwa pihak-pihak yang dahulu kala tergabung dalam tim sukses Presiden SBY ingin memunculkan kembali sosok pemimpinnya agar dapat memudahkan tugas dalam kompetisi politik pada 2014 nanti. Memang, sekalipun secara hukum presiden tidak dapat menjabat kembali, setidaknya dipastikan calon presiden yang diajukan oleh partai pemenang Pemilu 2009 tentunya mendapatkan restu terlebih dahulu oleh pemimpin besarnya.

Namun, sebagai anggota Komisi X DPR-RI yang menjalankan fungsi kontrol di bidang pendidikan, penulis ingin mengajak publik memahami fakta legal-akademis bahwa kasus ini tidak perlu secara berlebihan dipahami sebagai fenomena politik.

Pertama, penulis melihat terjadi kesimpangsiuran dalam proses pencairan Dana Alokasi Khusus. Baik pihak sekolah, kabupaten (dinas pendidikan dan olahraga), maupun pemerintah pusat sebagai pihak yang memberikan hibah dana alokasi khusus ini terlihat saling lempar dan seolah secara ajaib buku itu muncul begitu saja, tanpa jelas asal muasalnya.

Di sisi lain, Kemendiknas yang telah melahirkan Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No 19 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2010 untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) beserta lampiran-lampirannya justru tidak melaksanakan peraturan yang dibuatnya itu.

Permendiknas ini dengan jelas mengamanatkan bahwa judul-judul buku yang diajukan oleh sekolah harus menjalani proses seleksi dari tim teknis yang dibentuk oleh kabupaten terlebih dahulu sebelum diajukan ke pusat. Lebih lanjut, baik buku pengayaan, referensi, panduan pendidik, maupun lembar kerja, kesemuanya telah diatur secara detail. Apalagi dalam kategori pengayaan, tidak diperbolehkan sembarang memasukkan buku, melainkan harus mengacu pada kurikulum yang ada.

Kedua, setelah penulis melakukan konsultasi dengan beberapa pakar pendidikan, bahkan guru mata pelajaran jenjang SMP di beberapa daerah, konten buku ini dinilai tidak tepat untuk dijadikan sebagai buku nonteks pengayaan, referensi, ataupun panduan bagi pendidik. Buku ini membatasi pengetahuan anak pada figur ketokohan tertentu tanpa memperhatikan asas objektivitas dan nondiskriminatif.

Di sisi lain, Mendiknas dalam Republika (4/2/2011) berpendapat bahwa membaca adalah jendela informasi di mana buku dianalogikan sebagai oksigen. Di sinilah buku yang merupakan oksigen harus murni dan menyehatkan. Dalam konteks ini, fungsi buku harus menjunjung tinggi nilai-nilai netralitas dan objektivitas.

Ketiga, tersurat dalam buku-buku Seri Lebih Dekat dengan SBY, bahwa buku-buku itu dapat dipergunakan untuk memberikan pengayaan pendidikan politik dan pendidikan kewarganegaraan.

Janggal
Ada dua kejanggalan yang harus diperhatikan. Kejanggalan pertama, tidak terdapat mata pelajaran pendidikan politik dalam silabus yang diberikan untuk seluruh mata pelajaran jenjang SMP di Indonesia. Oleh karenanya, bisa dipastikan bahwa pencairan DAK tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, petunjuk teknis Permendiknas No 19 Tahun 2010 tidak menuliskan pendidikan politik sebagai salah satu mata pelajaran yang diizinkan untuk mendapatkan bantuan buku pengayaan.

Kejanggalan berikutnya, dari silabus mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) SMP yang disusun oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Kemendiknas (2006), tidak terdapat satu pun dasar kompetensi dalam dimensi keilmuan politik yang menuntut siswa mempelajari figur ketokohan tertentu. Sebaliknya, di sana dijelaskan tentang pengenalan terhadap lembaga-lembaga tinggi negara, sistem perundang-undangan, dan sebagainya.

Atas berbagai alasan ini, penulis ingin mengajak masyarakat untuk sekali lagi tidak berpikir serba politis. Kehadiran buku SBY ini menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakpatuhan di antara para pengampu kebijakan di bidang pendidikan, khususnya pemerintah pusat dan daerah atas peraturan yang telah mereka hasilkan sendiri.

Oleh karenanya, dalam rangka menghindari berkembangnya berbagai wacana negatif, pemerintah perlu membenahi dan mengklarifikasi kepada seluruh pihak terkait dengan kekisruhan ini, serta menarik buku-buku SBY yang tengah beredar di sekolah-sekolah sesuai dengan rekomendasi dari dewan pendidikan setempat.

Efektivitas anggaran
Terjadinya kasus ini juga menunjukkan bahwa banyak anggaran yang masih tidak tepat sasaran disalurkan dalam mendukung peningkatan sarana/prasarana pendidikan kita. Di sisi lain, perjuangan semua pihak untuk mendesak negara menyepakati anggaran pendidikan sebesar 20 persen bukanlah proses yang mudah. Sebagai generasi penerus yang yakin bahwa pendidikan adalah wahana untuk mencetak pribadi yang berguna bagi masa depan bangsa, tentunya kita berharap semua pihak, khususnya pemerintah, dapat segera berpikir secara rasional dan tidak menjadikan kasus ini sebagai bentuk politisasi yang kurang dapat dipertanggungjawabkan.

Kita semua tidak ingin membiarkan anak didik kita tergiring untuk tidak berpikir kritis dan objektif dalam menyikapi berbagai persoalan di negeri ini. Tentunya, salah satu cara yang tepat adalah dengan memberikan bahan-bahan bacaan yang objektif dan kreatif di sekolah tempat mereka menimba ilmu.

Integritas kinerja jajaran pemerintah pusat dan dinas pendidikan di seluruh kabupaten/kota merupakan aspek yang sangat vital dalam memajukan sumber daya manusia Indonesia. Kini, penulis mengajak semua pihak agar menjadi bagian dari pemilik anggaran negeri ini, khususnya dalam mengawasi penggunaannya di bidang pendidikan sehingga mampu mengimplementasikan tujuan konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar