Selasa, 22 Februari 2011

Urgensi Mengaplikasikan Pembuktian Terbalik

Wednesday, 23 February 2011
Salah satu poin penting dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus Hukum yang Berkaitan dengan Penyimpangan Pajak adalah perintah untuk menerapkan pembuktian terbalik.


Pembuktian terbalik dinilai efektif untuk menjerat koruptor sekaligus merampas hartanya sehingga dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum. Apalagi setelah jatuhnya vonis terhadap mafia pajak, Bahasyim Asyafie, yang dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp250 juta serta hartanya Rp60,9 miliar dan USD681.147 dirampas untuk negara. Vonis berat itu merupakan hasil dari pembuktian terbalik yang diterapkan pada kasus tersebut.Kemudian, semakin banyak pihak yang mendesak penerapan pembuktian terbalik dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan dan kasus korupsi lainnya.

Pembuktian Terbalik

Dalam strategi pemberantasan korupsi, sistem pembuktian terbalik— atau dikenal dengan shifting burden of the proof atau omkering van bewijslast—diyakini sebagai cara ampuh untuk menjerat pelaku korupsi. Dalam pembuktian terbalik, orang yang dituduh melakukan korupsi yang harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian biasa, di mana jaksa yang harus membuktikan seseorang bersalah atau tidak.Namun, pelaksanaannya tidak pernah absolut karena sifatnya yang khusus (lex specialis) terhadap kasus-kasus tertentu misalkan pelanggaran delik pemberian (gratification) yang berkaitan dengan suap (bribery).

Secara internasional, pembuktian terbalik telah diakui dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), tepatnya diatur dalam Pasal 31 Ayat 8.Banyak negara maju yang sukses memberantas korupsi menerapkan sistem ini misalnya Hong Kong.Robert Klitgaard (2000) mencatat bagaimana Independent Commission Against Corruption (ICAC) sukses membersihkan korupsi khususnya di jajaran kepolisian Hong Kong. Pada 1971 Pemerintah Hong Kong meloloskan sebuah UU Pencegahan Suap yang memperluas jenisjenis pelanggaran. Para pejabat yang kekayaannya melampaui pendapatan atau yang menikmati tingkat hidup di luar tingkat penghasilannya, beban pembuktiannya beralih. Mereka harus bisa membuktikan hartanya diperoleh dengan cara legal. Sementara di Indonesia, pembuktian terbalik sudah diperkenalkan sejak 1960, tepatnya dalam UU No 24/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh jaksa”. Selanjutnya,UU No 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga mengatur hal serupa. Namun,penerapannya masih amat terbatas.Keterbatasan itu karena jaksa penuntut umum masih berkewajiban membuktikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa, sekalipun terdakwa telah gagal menjelaskan asal kekayaannya. Pascareformasi, pembuktian terbalik diatur secara lebih tegas.

Setidaknya saat ini mekanisme pembuktian terbalik diatur dalam dua rezim hukum pidana yakni pidana korupsi dan pidana pencucian uang.UU Tipikor No 20/2001 sebenarnya telah lebih dulu membuka jalan penerapan pembuktian terbalik.Namun, tidak pernah digunakan oleh penegak hukum.Kemudian yang terbaru,pembuktian terbalik dapat digunakan dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana diatur dalam UU No 8/2010 tentang TPPU. Terkait pidana pencucian uang, Pasal 77 UU TPPU menyatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Pembuktian tersebut dilakukan atas perintah hakim. Kemudian, terkait Tipikor, UU No 20/2001 membedakan pembuktian terbalik menjadi 2 (dua) hal. Pertama, terhadap harta yang berhubungan langsung dengan perkara yang didakwakan. Pasal 37A menegaskan, terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Jika tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya, hal itu memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan korupsi. Kedua, terhadap harta yang belum didakwa, tapi diduga hasil korupsi.

Pasal 38B menyatakan, terhadap harta benda lainnya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari korupsi, maka terdakwa juga harus membuktikan bahwa harta tersebut bukan hasil korupsi. Jika tidak dapat membuktikannya,harta benda tersebut dianggap hasil korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Terlihat jelas bahwa kedua UU di atas telah mengizinkan penegak hukum untuk menggunakan pembuktian terbalik. Sistem pembuktian ini dapat digunakan di persidangan. Dengan demikian, jaksa dan hakim memiliki peran sentral.

Selain dalam kasus Bahasyim, jaksa dan hakim juga belum pernah menggunakan kesempatan ini untuk menjerat koruptor.Padahal jika mekanisme pembuktian terbalik di atas diterapkan secara konsisten, baik atas inisiatif jaksa maupun hakim, para koruptor akan sulit menghindar dari jeratan hukum dan hartanya dapat dengan mudah dirampas untuk negara.

Kasus Gayus

Sukses menjerat Bahasyim, pembuktian terbalik patut diterapkan dalam kasus Gayus Tambunan. Namun, pidana yang disangkakan pada Gayus harus ditegaskan t e r l e b i h dahulu. Perihal pidana yang disangkakan, Gayus dapat didakwa pasal berlapis yakni pidana suap dan pencucian uang. Pidana suap karena Gayus telah melanggar ketentuan Pasal 12 a dan b UU Tipikor yang melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima suap yang diberikan untuk menggerakkan atau sebagai akibat telah melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Selain itu,Gayus juga dapat didakwa melakukan penyuapan kepada aparat penegak hukum, baik di kejaksaan, kepolisian, maupun pengadilan pajak.Pengakuan Susno Duadji yang menyebutkan ada uang mengalir ke sejumlah jaksa dan jenderal polisi dalam proses pencairan rekening Gayus Rp28 miliar yang sebelumnya diblokir dapat memperkuat dugaan tersebut. Kemudian, pidana pencucian uang juga dapat didakwakan. Karena harta Gayus yang kabarnya mencapai Rp100 miliar rupiah diduga berasal dari tindak kejahatan (penyuapan). Berdasarkan Pasal 2 UU TPPU,harta kekayaan yang diperoleh dari penyuapan merupakan salah satu tindak pidana asal dalam pidana pencucian uang.

Dengan begitu, ketentuan Pasal 3 UU TPPU dapat diterapkan bahwa dipidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak sepuluh miliar rupiah, setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (salah satunya penyuapan) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.

Pada titik inilah pembuktian terbalik dapat diterapkan.Sebagaimana diatur dalam Pasal 38B UU Tipikor dan Pasal 77 UU TPPU bahwa terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Jika Gayus tidak dapat membuktikan, hartanya dapat disita negara karena tidak seimbang dengan penghasilannya sebagai pegawai negeri golongan III-A. Last but not least, KPK harus memimpin penuntasan kasus ini.

Dakwaan suap dan pidana pencucian uang merupakan pintu masuk bagi KPK untuk mengusut kasus ini. Terkhusus untuk pidana pencucian uang,Pasal 74 dan 75 UU TPPU telah memberikan kewenangan pada KPK untuk menyidiknya. Ini merupakan kewenangan baru yang diperoleh KPK sehingga kesempatan ini tidak boleh disia-siakan.KPK harus mengungkap tuntas kasus yang telah menyedot perhatian publik tersebut.(*)

Oce Madril
Mahasiswa Pascasarjana Nagoya University, Peneliti Pukat FH UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar