Selasa, 22 Februari 2011

Negara Alpa

Wednesday, 23 February 2011
Negara tidak boleh kalah oleh kekerasan, demikian pernyataan Presiden Republik Indonesia pascaperistiwa Monas,1 Juli 2008.

Namun,selama 2011 hingga saat tragedi Cikeusik di Pandeglang (6/2/2011),kerusuhan Temanggung (8/2/2011), dan penyerangan Pondok Pesantren Al- Ma’hadul Islam,YAPI, Bangil-Pasuruan (15/2/2011), negara telah lima kali dikalahkan oleh kekerasan SARA. Sementara selama 2010—menurut Kapolri di depan Komisi VIII DPR RI (9/2/2011)— telah terjadi 16 kali kekerasan atas nama agama. Hasil riset dari Setara Institute yang dirilis sebulan lalu bahkan menyebutkan bahwa pada 2009 terjadi 33 kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah dan pada 2010 menjadi 50 kasus. Sedangkan selama 2010 telah terjadi 286 bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan.Kemudian,ada 119 tindakan pidana yang terjadi, tindakan provokasi oleh tokoh publik sebanyak 12 tindakan, dan intoleransi ada 52 kejadian.

Sederet fakta di atas menunjukkan negara telah gagal menegakkan hukum dan ketertiban. Kegagalan negara dalam membina kerukunan umat beragama dan menjaga kemajemukan juga terjadi berulang kali.Apalagi,negara (baca: pemerintah) selama ini lebih banyak hanya mengimbau,prihatin, atau mengecam setiap kekerasan setelah jatuh korban. Padahal, dalam kasus kekerasan, tugas negara adalah menjaga dan melindungi segenap warga negara, bukan menyatakan keprihatinan. Pernyataan keprihatinan dan kecaman terhadap aksi kebrutalan cukup dilakukan oleh elemen masyarakat seperti partai politik atau organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.

Sampai kini tindakan hukum yang tegas terhadap para aktor dan pelaku kekerasan jarang sekali terdengar. Hal ini menjadikan publik menilai bahwa negara telah abai dalam menjamin hak-hak warga negaranya. Penilaian tersebut muncul karena faktor tidak dirasakannya kehadiran pemerintah yang mengelola negara untuk melindungi dan mencegah terjadi aksi-aksi kekerasan. Karena itu, negara harus sadar bahwa kekerasan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini adalah contoh nyata dari apa yang disebut Johan Galtung (1969) sebagai “lingkaran setan kekerasan” (vicious cycle of violence) yang tidak hanya melibatkan kekuatan politik (kekerasan struktural), tetapi juga otoritas agama (kekerasan kultural).

Kekerasan di negara kita telah mengalami institusionalisasi sedemikian rupa sehingga,meminjam istilah Helder Camara dalam The Spiral of Violence(1973),di Indonesia tengah muncul semacam “lingkaran (setan) kekerasan”. Spiral kekerasan ini pada awalnya berujung pada ketidakadilan— dalam pengertian yang luas—dari kebijakan sosial, politik, ekonomi yang timpang hingga hukum yang tebang pilih. Sampai kini spiral kekerasan terus merambah ke penjuru negeri sehingga kekerasan telah menjadi banalitas (Abd A‘la, 2010), dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Jika negara terusmenerus me-lakukan pembiaran, bangsa ini bukan tidak mungkin hanya tinggal menunggu saat-saat kehancuran.

Karena itu,lingkaran kekerasan harus segera diakhiri. Negara tidak boleh lagi kalah untuk kesekian kalinya oleh kekerasan. Inilah momentum yang tepat bagi negara untuk menumpas tuntas segala tunas dan akar kekerasan di Indonesia, tanpa kompromi dan tanpa memandang agama, ras, ataupun kelas sosial-ekonominya. Untuk itu, negara harus kembali diperkuat, bukan memperkuat aparatus kekerasannya seperti intelijen, polisi, dan kejaksaan, melainkan memperkuat keberadaan negara dengan mendorong pemerintah mengambil langkah tegas dan komprehensif untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan tersebut.

Sejumlah langkah yang harus ditempuh untuk mengamputasi spiral kekerasan di Tanah Air dan agar keberadaan negara kembali dirasakan nyata oleh rakyatnya. Di antaranya adalah; Pertama, memfungsikan kembali secara profesional semua alat negara yang bertugas menjamin dan melindungi keamanan dan hak-hak warga negara. Untuk itu, kinerja aparat keamanan, baik Polri maupun intelijen negara, harus segera dibenahi. Ada indikasi kuat telah terjadi pembiaran oleh aparat keamanan dalam sejumlah kerusuhan. Padahal aparat keamanan— baik aparat intelijen negara, aparat kepolisian, maupun TNI—memiliki perangkat untuk mencegah kerusuhan tersebut.

Karena itu, lemahnya fungsi pencegahan dini dari intelijen dan polisi harus segera diperbaiki. Selanjutnya, sinergi di antara aparat keamanan, intelijen, dan TNI juga harus ditingkatkan pada tindakan preventif berupa pengerahan kekuatan yang sesuai untuk mencegah kekerasan. Kemudian,Polri juga harus segera melakukan evaluasi total terhadap sistem dan prosedur pengamanan di lapangan.Peristiwa Cikeusik dan Temanggung menunjukkan bahwa ada yang tidak jalan di tubuh kepolisian dalam melakukan pengamanan dan menjaga ketertiban. Seiring dengan itu perlu dilakukan evaluasi komprehensif terhadap jalannya reformasi Kepolisian.

Pembaruan institusi Polri yang kini tengah berjalan harus dirancang-bangun kembali dan dipercepat serta diefektifkan agar dapat meningkatkan kinerja Polri. Hal ini penting dilakukan mengingat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri semakin meluruh. Kedua, tutup semua peluang bagi individu ataupun kelompok yang berpotensi melakukan tindak kekerasan maupun main hakim sendiri. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika pemerintah berani tegas menindak semua pelaku kekerasan dengan menangkap serta menghukum seberat-beratnya semua aktor (dalang) intelektual dibalik aksi-aksi kerusuhan, termasuk di dalamnya organisasi masyarakat penebar kekerasan. Pengakhiran lingkaran kekerasan hanya akan mungkin dilakukan jika hukum ditegakkan seadil-adilnya.

Upaya penegakan hukum tersebut jelas menuntut hadirnya aparat keamanan yang berwibawa dan efektif. Jumlah orang yang tidak takut main hakim sendiri akan semakin banyak jika hukum dan penegak hukum tidak berwibawa lagi. Krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum pun terjadi. Sementara, jika aparat keamanan tidak efektif, masyarakat akan mengambil alih peran mereka,termasuk melakukan fungsi kekerasan, dan cenderung main hakim sendiri. Semua elemen bangsa sangat tidak menghendaki hal ini terjadi. Ketiga, kuatkan kembali trust publik kepada negara.Pelbagai kekerasan yang terus terjadi semakin menipiskan kepercayaan publik terhadap negara.

Karena itu, negara harus kembali hadir di tengah rakyatnya.Kehadiran negara itu harus benar-benar dapat dirasakan secara nyata melalui ketegasan dan konsistensi mengimplementasikan konstitusi dan undangundang dalam segenap praktik kehidupan kebangsaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan. Sebagaimana amanat preambule,Pasal 28E dan 28G UUD 1945, negara tidak boleh membiarkan ada satu orang pun warga negaranya yang terluka atau bahkan kehilangan nyawa karena tindakan kekerasan. Negara juga harus tegas melindungi kaum minoritas dan kelompok lemah dari pelbagai ancaman kekerasan, baik dari kelompok mayoritas maupun dari aparatus koersif.

Selain itu, negara juga harus mulai membatasi diri untuk tidak memproduksi kembali pelbagai kebijakan dan pelaksanaan pembangunan nasional yang melahirkan diskriminasi sosial,disparitas ekonomi, dan ketidakadilan hukum. Kemiskinan, ketidakadilan, ketimpangan pembangunan, dan pengangguran dapat memicu seseorang berbuat kekerasan terhadap orang lain. Karena itu, negara harus sesegera mungkin mewujudkan pembangunan yang hasil dan manfaatnya dapat dirasakan secara konkret oleh seluruh rakyat.

Terakhir, negara harus mampu menghentikan dicabik-cabiknya hukum dan keadilan oleh aparat negara sendiri sebab fenomena tersebut selama ini telah membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pemerintah dan menjadikan ‘jalan kekerasan’ sebagai solusi menyelesaikan semua masalah.(*)

A Malik Haramain
Anggota Komisi II FPKB DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar