Rabu, 09 Februari 2011

Industri Bangsa Pejuang

Mahfudz Siddiq
Ketua Komisi I DPR RI

Kamis (10/2) DPR RI berencana mengadakan rapat dengan Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS). Pertemuan ini menjadi relevansi estafet harapan dari paparan ide BJ Habibie, presiden ketiga RI, Senin (31/1) lalu tentang industri strategis nasional di Komisi I DPR. Saya pernah membaca orasi ilmiahnya di Bonn, Jerman, pada 1983 berjudul "Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Sedang Berkembang". Namun, penyampaiannya kali ini memiliki nuansa tersendiri dalam batin dan membuat saya merasa penting mendorongnya agar tersambung kepada BUMNIS.

Berkali-kali beliau menghentak meja dan menegaskan bahwa kita adalah bangsa pejuang. Itulah rasanya ruh dari gagasan beliau bahwa industri ini akan berhasil dimulai dari adanya penempaan sumber daya manusia (SDM) berkarakter pejuang dan berkualitas, bukan sekadar mengeksploitasi sumber daya alam (SDA). Semangat beliau ini berakar dari semangat Bung Karno pada Januari 1950 yang pernah menekankan urgensi menguasai sektor-sektor strategis seperti kapal laut dan dirgantara. Awal yang baik pula bagi DPR di tengah proses pembahasan RUU Revitalisasi Industri Strategis Pertahanan dan Keamanan (Rindham).

Tulisan ini saya hadirkan untuk menjelaskan konstruksi berpikir mengenai industri strategis yang mandiri, terintegrasi, dan berkualitas. Implikasi dari wujudnya industri semacam ini akan memperluas efek manfaat kebijakan pertahanan kepada dunia non-pertahanan. Di sinilah kita dapat menemukan kemampuan pertahanan untuk mewujudkan kehidupan ekonomi yang lebih baik (economic well-being) dan tatanan dunia yang menguntungkan (favourable world order).

Integrasi industri strategis
Robohnya fundamen industri strategis nasional, sebenarnya terletak pada ketidaksabaran pemerintah dalam menjalani maraton yang ada. Hal ini terlihat ketika PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS) yang secara resmi berdiri dengan PP No 35 Tahun 1998 dengan mudahnya dibubarkan melalui PP No 52 Tahun 2002. Hilangnya PT BPIS sebagai Holding Company (perusahaan induk) pertama di lingkungan Kementerian BUMN yang berperan menaungi 10 industri strategis, membuat 10 industri dan 10 visi besarnya ikut melemah drastis.

Di antara industri strategis tersebut beserta visi dan spesifikasinya, yaitu: (i) PT DI sebagai pusat unggulan industri dirgantara yang dapat membuat roket/rudal, helikopter, dan fixwing aircraft. (ii) PT PAL pusat unggulan industri maritim yang dapat diharapkan untuk rekayasa kapal perang. (iii) PT Pindad pusat unggulan industri senjata yang dapat merekayasa senjata infanteri, meriam, amunisi, dan panser. (iv) PT Dahana pusat unggulan industri amunisi yang andalannya amonium nitrat, propelan dapat membantu untuk pembuatan peledak.

Kemudian (v) PT Krakatau Steel pusat unggulan industri baja. (vi) PT Barata Indonesia pusat unggulan industri alat berat. (vii) PT Boma Bisma Indra pusat unggulan industri diesel. (viii) PT Industri Kereta Api pusat unggulan industri kereta api. (ix dan x) PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) dan LEN pusat unggulan industri telekomunikasi, elektronika, dan komponen yang menciptakan alkomsus, siskomsat, dan radar.

Pertimbangan Indonesia dalam membubarkan holding company memang tidak pernah ditemukan landasan rasionalnya hingga sekarang. Kisah dari Instituto National de Industria (INI) Spanyol dan Instituto per la Ricostruzione Industriale (IRI) Italia dapat dijadikan pelajaran. Mereka melakukan pembubaran dan pengalihan melalui bursa kepada masyarakat setelah melalui tiga tahap. Pertama, pembentukan dan pertumbuhan industri strategis. Kedua, pengembangan dan reorganisasi. Ketiga, restrukturisasi industri nasional dan proses mengakhiri.

Kemandirian proses industri
Kemandirian hanya dapat dicapai jika diawali dukungan pemerintah untuk mengayominya secara tekun dan transformatif. Jika melihat contoh kasus INI yang berlangsung 54 tahun (1941-1995) dan IRI yang mengamankan jam kerja hingga 67 tahun (1933-2000), maka proses pembubaran BPIS yang baru empat tahun berjalan (1998-2002) merupakan tindakan prematur. Dampaknya terasa sekarang BUMN/S banyak yang sekarat. Tahun 1995 PT PAL karyawannya berjumlah 4.464 sekarang 1.414. PT DI, jumlah karyawan awalnya (1995) 15.651, sekarang hanya 2.988 orang.

Potensi Industri Indonesia untuk mandiri dan bersaing di tengah pergaulan masyarakat dunia itu sangat mungkin. Kuncinya adalah politik yang memahami, memberikan pengertian, dan memayungi kebijakan industri. Kemudian, kesadaran akan keterbatasan anggaran tahun jamak (multiyears), membutuhkan penyiasatan yang diistilahkan Defense Offset. Orientasinya, negara membeli yang terbaik, tapi siap meniru dan memproduksi yang terbaik pula di masa depan.

Pada titik inilah komitmen untuk memperbaiki tiga dimensi neraca (perdagangan, pembayaran, dan jam kerja) dibutuhkan. Perbaikan "neraca jam kerja" diwujudkan dengan perbaikan SDM yang berkualifikasi menjalankan roda industri militer ideal dalam jangka panjang.

Prioritas pembelanjaan
Komitmen integrasi dan kemandirian butuh didukung prioritas jangka menengah. Bagaimana dalam jangka menengah (5-15 tahun) terjadi efisiensi anggaran, namun tetap efektif menjaga kedaulatan NKRI. Titik ini disebut paling krusial karena segalanya baru berjalan dan serba terbatas.

Ada beberapa prioritas yang harus diperhatikan. Pertama, mengutamakan kekuatan antiserangan laut (Anti-Navy Force), sebelum memiliki kekuatan maritim yang tangguh dalam jangka panjang. Tujuannya untuk pencegahan penetrasi akses laut dari armada laut negara lain yang hendak masuk ke teritorial. Kedua, kerja sama multinasional untuk keamanan laut. Hal ini tentu saja untuk menunjang pengamanan di titik-titik vital, di antaranya, empat titik sumbat dunia: Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar.

Ketiga, mengandalkan payung kerja sama militer, dengan segera membuat pakta pertahanan atau perjanjian militer sejenis. Alternatif dukungannya dapat dengan siapa saja, selama tetap memperhatikan kedaulatan NKRI dan prinsip negara anggota ASEAN yaitu non-interference (tidak mengintervensi). Misalnya, kerja sama dengan Australia.

Prinsipnya, tema Rindham ini harus serius di tingkat RUU dan implementasi sehingga tidak berujung pada pemborosan, pengamanan teritorial berjalan, dan kemakmuran masyarakat dapat terus meningkat. Kemandirian industri strategis tujuannya tidak lain untuk memakmurkan ekonomi keluarga Indonesia yang berjumlah 240 juta rakyat itu. Seperti kebersamaan yang diistilahkan Bapak BJ Habibie dengan Indonesian incorporated atau PT Indonesia. Jika komitmen terhadap hal tersebut bergeser, maka habislah kisah bangsa pejuang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar