Rabu, 09 Februari 2011

Utopia Angkutan Massal

Marwan Ja’far
Ketua Fraksi PKB DPR RI

Lagi, tabrakan maut kereta api kembali tak terelakkan. Kali ini menimpa KA Mu tiara Selatan (Bandung-Surabaya) dengan KA Kuto ja -ya Selatan (Jakarta-Kutoarjo) di Lawangsari, Kota Banjar, Ja wa Barat (28/01/2011). Dalam tabrakan maut tersebut, li ma nyawa manusia mela -yang. Sebelumnya, tabrakan maut antarkereta api juga sudah sering terjadi dan mengakibatkan puluhan hingga ra -tusan orang jadi korban.
Rentetan kejadian kereta api ini, seolah membangkitkan kembali pesimisme publik terhadap ekspektasi kereta api sebagai transportasi publik yang aman, nyaman, dan murah bagi masyarakat. Kecelakaan maut KA Mutiara Selatan dengan KA Kutojaya Selatan juga menandai semakin sulitnya Kementerian Perhubungan dalam memenuhi target implementasi program roadmap to zero accident.

Insiden di atas seolah meleng kapi statistik jumlah kecelakaan kereta api selama enam tahun terakhir. Tercatat, dalam enam tahun terakhir (2004-2009) rata-rata kecelakaan kereta api sebanyak 115 kejadian. Pada 2004 terjadi 128 kali kecelakaan, tahun 2005 ada 91 kejadian, 2006 sebanyak 102 ke celakaan, tahun 2007 ada 140 kejadian, tahun 2008 sebanyak 114 kecelakaan, dan 2009 ada 90 kejadian.
Sedangkan korban meninggal dunia, luka berat, maupun ringan telah mencapai ratusan orang. Hingga 2011 ini, kecelakaan kereta api dengan jumlah korban meninggal dan lukaluka masih terus terjadi. Ini me nambah daftar panjang noda hitam manajemen perkeretaapian kita.

Sejumlah faktor dan penyebab kecelakaan kereta api sangat lah beragam. Mulai faktor alam (longsor/banjir), human error, dan yang dominan justru disebabkan oleh minimnya kelaikan operasi prasarana serta sarana kereta api, yang disebabkan backlog pemeliharaan dan masih kurangnya kompetensi sumber daya manusia operator bidang perkeretaapian. Menurut catatan Ditjen Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan, faktor sarana dan prasarana yang menjadi penyebab kecelakaan persentasenya mencapai 23 persen dan 18 persen. Semua pihak tentunya sa ngat menyesalkan dan cukup prihatin dengan terjadinya kecelakaan maut antara KA Mutiara Selatan dengan KA Ku tojaya Selatan maupun masih tingginya statistik kecelakaan kereta api di atas.

Sejumlah kalangan melontarkan kritikan sampai seruan perlunya pembenahan total di tingkat para pengambil keputusan, baik pemerintah sebagai regulator maupun perusahaan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) sebagai operator. Mereka di anggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Sebab, seiring membaiknya infrastruktur transportasi, tidak membuat kinerja perkeretaapian di Indonesia menjadi semakin lebih baik. Bahkan, dengan kondisi sarana dan prasarana yang tak jauh ber be da dibanding sekitar 10 ta hun lalu, keadaan perkereta apian sungguh memprihatinkan.

Namun, kondisi di atas ti dak akan pernah teratasi jika kita terjebak saling tuding, sa ling kritik, dan menyalahkan satu sama lain. Peristiwa itu harus kita ambil pelajaran untuk mem perbaiki kualitas dan pelayanan transportasi—khu susnya kereta api—publik yang aman, nyaman, dan ra mah untuk masyarakat. Sebab, permasalahan yang mendera sektor transportasi perkeretaapian nasional sangatlah kompleks dan tidak mungkin ha nya dibebankan pada pemerintah atau PT KAI. Diperlukan keterlibatan dan kerja sama pelbagai pihak untuk membenahinya.

Sejatinya, salah satu permasalahan mendasar di sektor perkeretaapian nasional bila dikaitkan dengan angka kecelakaan adalah banyaknya sara na dan prasarana yang sudah tua sehingga tidak layak lagi. Faktanya, jaringannya sebagian besar adalah peninggalan zaman Belanda yang cukup tua dan membutuhkan penanganan yang khusus dan intensif.

Sebagai perbandingan, di ne gara maju seperti Jepang dan negara-negara Eropa, misal nya, umur ekonomis kereta api guna menjamin keselamatan penumpang maksimal adalah 5-10 tahun. Setelah itu, diganti dengan sarana yang sama sekali baru. Sedangkan di Indonesia, untuk dapat dipermak kembali hingga seperti baru, usia kereta rata-rata harus mencapai 25 tahun lebih da hulu untuk kemudian sarana tersebut di-retrofit tanpa penggantian perangkat yang mendasar seperti Bogie.
Karena itu, untuk menga tasi persoalan di atas, kita ber harap agar Kementerian Per hubungan dan PT KAI lebih berbenah, serius, dan bekerja lebih keras lagi mewujudkan revitalisasi sektor perkeretaapian sebagaimana termaktub dalam Ren cana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2010 yang mengarahkan sasaran kebijakan pembangunan perkeretaapian.

Terlebih prioritas alokasi APBN Kementerian Perhubung an tahun 2010 hampir 38 persen diperuntukkan sarana dan prasarana serta 30 persen fa silitas keselamatan. Sementara alokasi anggaran pengembangan sumber daya manusia cukup kecil, yakni hanya dela pan persen. Karena itu, selain berkonsentrasi pada pembenahan sarana dan prasarana perkeretaapian, mendesak bagi pemerintah dan PT KAI untuk menjadikan masalah peningkatan kualitas sumber daya ma nusia operator perkeretaapian sebagai salah satu prioritas utama pembangunan perkeretaapian nasional.

Lebih dari itu, peningkatan sum ber daya manusia ini penting untuk mewujudkan sumber daya manusia perkeretaapian yang lebih profesional da lam melaksanakan tugas dan pekerjaan mereka serta da lam rangka menurunkan ting kat human error penyebab kecelakaan kereta api. Kita juga berharap agar pemerintah lebih maksimal lagi dalam upaya peningkatan ke selamatan menuju program roadmap zero accident. Yakni, dengan lebih mengintensifkan pengujian dan sertifikasi kelaikan prasarana dan sarana serta peningkatan keselamatan di JPL (penjaga perlintasan KA).

Artinya, masalah pengujian, sertifikasi, audit, dan pengujian petugas jangan hanya diserahkan kepada PT KAI an sich, tetapi sebaiknya ditangani oleh pemerintah atau badan independen di luar PT KAI. Hal ini penting untuk menciptakan independensi, profesionalitas dan kualitas pengujian, serta audit dan kelaikan prasarana dan sarana perkeretaapian.

Di samping itu, untuk mewu judkan revitalisasi sektor perkeretaapian nasional, peme rintah dan PT KAI harus segera mengakselerasi implementasi UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Salah satunya adalah membuka partisipasi pemerintah daerah dan swasta dalam penyelenggaraan perkeretaapian. Dengan begitu, mimpi rakyat untuk menjadikan transportasi perkeretaapian sebagai salah satu tulang punggung moda transportasi angkutan darat yang memegang peranan penting dalam melayani pergerakan penumpang dan barang dapat segera terwujud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar