Rabu, 02 Februari 2011

Revolusi Biru Untuk Siapa?

Orang awam tentu berpikir sederhana saja: laut kita luas dan menyimpan potensi luar biasa untuk dimanfaatkan, tapi mengapa sampai sekarang belum terwujud juga? Bahkan impor produk perikanan makin meningkat sebesar 32% pada triwulan 1 tahun 2010.

Tak terbayangkan sebelumnya bila ikan lele, patin, kembung,dan teri pun kita harus mengimpor dari Vietnam,Thailand, Myanmar,serta Pakistan. Lalu para ahli dan pemerintah serempak menjawab bahwa blue revolution atau revolusi biru adalah jawabannya. Kata “revolusi” mengandung arti perubahan besarbesaran secara cepat dan menyentuh sendi-sendi sosial masyarakat.

Artinya pembangunan kelautan dan perikanan (KP) harus menyentuh perubahan teknologi, tatanan sosial, sikap mental,kelembagaan,tatanan ekonomi dan politik.Dengan kata lain, urusan laut tidak bisa dikelola dengan business as usual. Ini mirip sekali dengan revolusi hijau yang “sukses”mendongkrak produksi beras di era Orde Baru.

Karena hal itulah menteri kelautan dan perikanan selalu mencobanya: Gerbang Mina Bahari (Rokhmin Dahuri), Revitalisasi Perikanan (Fredy Numberi),dan Minapolitan (Fadel Muhammad). Setiap menteri telah menyadari hanya dengan “revolusi” maka sektor KP akan maju. Apa yang mesti dipertimbangkan dalam revolusi biru yang baru ini? Pilihan model apa yang tepat untuk Indonesia?

Memahami Kondisi

Ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama,sumber daya ikan di dunia makin menipis. Data FAO 2011 menunjukkan bahwa dari 441 spesies ikan, sekitar 32% sudah tangkap-lebih ataupun sudah nyaris punah, 3% belum dieksploitasi, dan 12% dieksploitasi skala sedang, dan 63% dieksploitasi secara penuh. Artinya tinggal 15% ikan di dunia yang masih bisa dieksploitasi.

Begitu pula di Indonesia, produksi perikanan tangkap sudah mendekati potensi sumber daya sebesar 6,4 juta ton.Dengan pertumbuhan produksi tangkap sebesar 1,3% per tahun tentu sulit untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang tumbuh sebesar 1,49%. Inilah yang membuat para ahli menyebutnya sebagai gejala malthusian overfishing.Kondisi sumber daya kita juga sudah menunjukkan tangkap-lebih secara ekonomi (economic overfishing).

Indikasinya, terlalu banyak kapal untuk terlalu sedikit ikan, serta tangkap- lebih secara biologis (biological overfishing) yaitu semakin banyak ikan-ikan ukuran kecil yang tertangkap.Sulit untuk mengandalkan perikanan tangkap di wilayah perairan kita, baik teritorial maupun zona ekonomi eksklusif (ZEE). Kedua, fakta bahwa masyarakat pesisir masih belum begitu berdaya. Sayangnya jumlah nelayan yang miskin belum tersedia. Data terbaik yang ada hanyalah nilai tukar nelayan (NTN).

Idealnya NTN di atas 100, yang berarti nelayan tidak rugi atau “sejahtera”. Berdasarkan data BPS (2010) Pada kurun waktu 2008–2010,NTN nelayan secara konsisten di atas 100, dan pada tahun 2010 sebesar 104,05.Namun kita pun mestinya bisa melihat sebaran NTN di tingkat provinsi. Ternyata disparitas antarprovinsi sangatlah tinggi. Sebagai contoh beberapa provinsi memiliki NTN yang sangat tinggi, seperti Maluku (123,54), NTT (121,43), Papua (112,52),dan Yogyakarta (113.54).

Pada saat yang sama terdapat NTN yang jauh di bawah 100, seperti Bangka Belitung (88,07), Jambi (91,24),Papua (86,13), dan Kalimantan Selatan (88,62). Mestinya pemerintah bisa memanfaatkan data ini untuk menentukan titik-titik pertumbuhan perikanan baru di wilayah dengan NTN rendah. Ketiga, paradoks otonomi daerah telah terjadi. Ini menjadi variabel yang mesti dipertimbangkan mengingat pusat makin susah mengendalikan daerah, tidak seperti saat revolusi hijau dulu.Tidak hanya soal kepentingan politik,tetapi juga soal kapasitas daerah yang memang sulit untuk diandalkan.

Pilihan Model

Dengan memahami tiga situasi tersebut, saatnya kita tentukan model revolusi biru. Ada tiga opsi model dalam revolusi biru ini. Pertama, model teknokratik, yang berorientasi pada peningkatan produksi, padat modal, dan mengandalkan pelaku besar.Peru adalah contohnya. Produksi perikanan tangkap Peru pernah menjadi nomor satu dunia dan pada tahun 2010 menempati urutan kedua dengan produksi 7,4 juta ton. Di Peru, kapal-kapal penghasil bahan baku tepung ikan dikuasai perusahaan besar.

Di negara-negara Barat model ini sangat populer,dan instrumen pasar digunakan dalam pengelolaan sumber daya. China dan Vietnam sudah mulai meniru model ini sehingga China cepat menjadi produsen nomor satu dunia dengan nilai produksi 14,8 juta ton, dan menjadi eksportir nomor satu dunia dengan nilai USD10,11 miliar (FAO, 2010).Vietnam pun sudah mulai masuk ke lima besar dunia dalam hal ekspor.Vietnam dalam kurun 10 tahun meningkatkan ekspornya dari USD1 miliar tahun 2000-an menjadi USD4,5 miliar tahun 2010 (FAO, 2010).

Indonesia pada kurun waktu yang sama hanya naik dari USD1 miliar menjadi USD2,6 miliar. Kedua,model populis,yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dan mengandalkan pelaku- pelaku kecil seperti Filipina. Pilihan model ini tidak menghasilkan angka-angka spektakuler dalam hal produksi dan ekspor. Akibatnya, kinerja perikanan Filipina pun jauh tertinggal dari Vietnam. Ketiga, model tekno-populis seperti negara-negara sosialis-demokrat (Jepang dan Norwegia).

Kedua negara tersebut sangat melindungi nelayan kecil, tapi pada saat yang sama mereka mengembangkan usaha skala besar pada jenis usaha yang sama. Nelayan artisanal dilindungi dan nelayan besardidorong ke perairan internasional. Hasilnya adalah nelayan kecil sejahtera namun produksi tetap tinggi.Bahkan Norwegia menjadi eksportir terbesar kedua di dunia (USD6,94 miliar). Model mana yang paling tepat untuk Indonesia? Jawabannya adalah tergantung pada keputusan politik: untuk siapa revolusi biru?

Bila wacana yang dibangun adalah keadilan sebagaimana amanat konstitusi, maka tentu model populis atau tekno-populis yang lebih tepat. Nelayan tradisional kita yang masih sekitar 90% harus dilindungi dan diberdayakan. Tidak saja karena nelayan miskin sehingga harus dilindungi,tetapi juga karena posisi mereka sangat strategis dalam konteks pertahanan bangsa di negara kepulauan ini.

Hanya saja pengembangan ini akan terkendala pembiayaan, karena bank-bank di Indonesia masih sulit percaya bahwa sektor perikanan masih menjanjikan, apalagi industri pengolahannya. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa pada kurun waktu 2005–2009 alokasi kredit untuk perikanan hanya naik dari 0,22% menjadi 0,23%. Perbankan melihat sektor ini berisiko tinggi yang terlihat dari non-performing loan (NPL) sebesar 11,76%, sebuah angka yang melebihi ambang batas NPL.

Untuk Rakyat Kecil

Menyadari kondisi sumber daya ikan di laut kita yang sebagian sudah tergolong tangkap-lebih, maka budi daya akan terus digenjot. Untuk itu model populis yang lebih tepat karena selama ini sektor budi daya udang dan rumput laut serta komoditas lain digerakkan oleh pembudi daya ikan skala usaha kecil dan menengah (UKM). Persoalannya yang lagi-lagi muncul, siapa yang tertarik membiayai UKM perikanan? Kredit usaha rakyat masih belum menyentuh sektor perikanan secara optimal, apalagi bank-bank komersial.

Juga, aspek penguatan teknologi sehingga usaha skala ini bisa tetap produktif dan memiliki daya saing. Pemerintah pun harus mampu melindungi usaha budi daya skala kecil dari ancaman produk impor melalui regulasi perdagangan. Namun, model tekno-populis bisa dipilih dalam pengembangan industri penunjang, hulu,maupun industri hilir. Untuk menopang revolusi biru dalam budi daya diperlukan industri pakan dan pengolahan yang tangguh.

Industri perbenihan rakyat juga perlu terus dikembangkan untuk semakin mampu memenuhi kebutuhan pasar serta makin kompetitif. Revolusi biru sudah saatnya tidak sekadar jargon, sehingga perlu desain besar yang memerlukan komitmen berbagai pihak.Pemerintah, swasta, perbankan, masyarakat, perguruan tinggi, legislatif,harus memiliki komitmen yang sama untuk bekerja sama.Harmoni relasi antaraktor ini mesti diperkuat dengan ocean leadershipyang tangguh. Namun,yang tetap harus dijaga sebagai prinsip pokok adalah menjawab pertanyaan: revolusi biru untuk siapa? Semoga revolusi biru bisa menyejahterakan rakyat.(*)

Dr Arif Satria
Dekan Fakultas
Ekologi Manusia IPB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar