Rabu, 02 Februari 2011

TAJUK, Waspadai Imbas Gejolak Mesir

GEJOLAK politik yang sudah sepekan melanda Mesir mulai dirasakan imbasnya di dalam negeri. Setidaknya masyarakat pengguna bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi terpaksa harus mengorek kocek lebih dalam lagi.

Terhitung sejak 1 Februari lalu, harga pertamax tembus Rp8.050 per liter dan pertamax plus Rp8.450 per liter. Hal itu sebagai konsekuensi dari penetapan harga BBM nonsubsidi yang berdasarkan harga pasar.Yang menjadi pertanyaan apakah program pembatasan BBM subsidi yang rencananya diberlakukan awal April bakal hanya tinggal rencana? Mengingat disparitas harga antara pertamax dan premium nyaris 100%. Krisis politik di Mesir telah mendongkrak harga minyak mentah dunia hingga menembus level USD100 per barel.

Kok bisa? Ya,memang Mesir bukan produsen minyak utama dunia, namun jangan lupa Terusan Suez yang mengalirkan 2,4 juta barel minyak per hari atau setara dengan produksi minyak Irak dan Brasil berada di wilayah Negeri Piramida tersebut.Mesir menjamin kilang yang ada di wilayahnya tetap beroperasi penuh. Namun, dampak pemogokan juga tak luput pada para pekerja di sektor minyak sehingga pengapalan minyak ikut tertunda.

Sebelumnya para analis minyak sudah memprediksi bahwa harga minyak mentah dunia bakal tembus pada level USD100 per barel,namun tidak secepat dugaan sebelum meletusnya krisis politik di Mesir.Beberapa faktor yang bisa melambungkan harga minyak mentah dunia adalah berhentinya suplai minyak dari jalur pipa Trans Alaska akibat kebocoran awal tahun ini.Jalur pipa tersebut menyalurkan 12% dari produksi minyak mentah Amerika Serikat.

Faktor lainnya,musim dingin yang masih melanda di berbagai wilayah belahan bumi bagian utara sehingga konsumsi minyak di sana masih tinggi.Sedangkan kontribusi kenaikan harga minyak mentah juga dipicu dari Asia-Pasifik.Di antaranya Pemerintah China yang belum meningkatkan suku bunga untuk pengendalian inflasi dan peningkatan heating oil Jepang.Selain itu,keputusan OPEC yang tidak serius menanggapi kenaikan harga minyak yang dinilai bukan persoalan fundamental pasar,melainkan ulah para spekulan.

OPEC tetap pada keputusan tidak menambah kuota produksi sebesar 24,845 BOPD. Kenaikan harga minyak mentah dunia juga turut mendongkrak harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP). Sepanjang Januari 2011 ICP telah merangkak dari USD91,37 per barel pada periode Desember 2010 menjadi USD97,09 per barel pada Januari lalu atau terjadi kenaikan harga sebesar USD5,72 per barel .

Dengan demikian,ICP tersebut telah melampaui asumsi harga minyak sebesar USD80 per barel sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011. Namun, keuntungan dari kenaikan harga minyak tersebut tidak bisa mengecilkan anggaran subsidi BBM. Justru yang menjadi kekhawatiran, jika harga minyak mentah dunia terus bertengger di atas USD100 per barel, pemerintah dengan sangat terpaksa harus menambah subsidi APBN yang tidak kecil jumlahnya.

Berdasarkan perhitungan ReforMiner Institute, bila harga minyak tetap bercokol di level USD100 per barel sepanjang tahun, pemerintah harus menanggung tambahan subsidi sekitar Rp14 triliun. Subsidi BBM bakal membengkak menjadi Rp66 triliun, sementara kenaikan penerimaan minyak hanya berkisar Rp52 triliun sehingga terdapat defisit sebesar Rp14 triliun. Yang harus segera diantisipasi pemerintah atas kenaikan harga minyak tersebut untuk jangka pendek adalah bagaimana mengamankan kebijakan penghematan BBM subsidi yang mulai diberlakukan awal April mendatang.

Melihat tren harga minyak yang terus melaju di atas USD100 per barel sangat berpeluang mendongkrak harga pertamax pada kisaran Rp10.000 per liter.Kalau itu terjadi,besar kemungkinan masyarakat yang seharusnya menggunakan BBM nonsubsidi enggan beralih dari BBM bersubsidi. Hal ini memang ujian bagi pemerintah untuk tetap konsisten pada keputusan yang sudah ditetapkan.

Apakah pemerintah akan mengakomodasi suara-suara yang mulai muncul untuk menunda pelaksanaan penghematan BBM bersubsidi atau tetap melaksanakan kebijakan yang sudah disosialisasikan ke masyarakat .Pilihannya memang tidak gampang,tetapi kalau pemerintah memutuskan menunda kebijakan tersebut, artinya sama saja pemerintah memilih untuk tetap disandera subsidi BBM yang terus menggerogoti anggaran negara.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar