Selasa, 22 Februari 2011

Jamal dan Pak Mantri Nuh

Oleh Zaim Uchrowi

"Cepat-cepat ayo foto sama Pak Mantri!" Hari gerimis. Tanah becek sisa hujan. Tapi, orang-orang berlarian menyambut seruan itu. Mereka berkerumun di pekarangan sempit yang terjepit di antara rumah-rumah sederhana. Kapan lagi bisa berfoto bersama Pak Mantri. Untuk pertama kalinya, pejabat besar datang ke kampung itu.

Pak Mantri? Begitulah orang menyebutnya. Pejabat itu Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh. Pak Nuh, panggilannya. Hari itu, saat mendung sebagaimana biasa mewarnai hari Imlek, Pak Nuh tak ingin menghabiskan waktu beristirahat di rumah. Pak Nuh justru mau memanfatkan hari libur buat menyalurkan hobi: Keluar masuk kampung menemui para mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Di situlah, ia disebut Pak Mantri.

"Sebagian besar kita dulu kan miskin," kata Pak Nuh. Kuliah telah membuat banyak orang terbebas dari kemiskinan. Maka, semestinya anak miskin-yang memang berotak cemerlang- mendapat kesempatan kuliah. Dengan kewenangannya, Pak Nuh berusaha mewujudkan itu. Ia terus menyeru perguruan tinggi untuk membantu anak-anak miskin agar kuliah. Kementerian yang dipimpinnya pun menebar beasiswa.

Sebuah program yang dinamai 'Bidik Misi' menjangkau 20 ribu mahasiswa setiap tahun. Mereka dibebaskan dari membayar uang kuliah. Juga masih mendapat bantuan bulanan Rp 600 ribu sebulan. Seperti Jamal, mahasiswa yang ditemui siang hari itu di sebuah rumah yang disebut beberapa orang sebagai layak untuk jadi objek 'bedah rumah'. Sebuah tayangan televisi tentang memperbaiki rumah rusak milik warga miskin.

Ayah Jamal tukang bangunan. Tak selalu ada pekerjaan buatnya. Apalagi kalau sakit hingga sebulan seperti saat itu. Ibunya mengurus rumah. Dalam hitungan normal, tak ada jalan buat membiayai Jamal kuliah. Tetapi, Jamal bisa kuliah di IPB, Bogor. Bantuan bulanan yang diterimanya bukan hanya cukup buat kebutuhan makan. Ia masih bisa menyisihkan uang buat adiknya membeli buku. Nilai kuliahnya, untuk ukuran sekarang, sedang-sedang saja. Tetapi, cerahnya masa depan telah terukir di wajahnya.

Ditanya ingin menjadi apa setelah lulus, Jamal menjawab tegas. "Entrepreneur!" Mengapa? "Karena tak perlu mencari-cari, tapi menciptakan pekerjaan. Tak akan pernah minta gaji namun menggaji orang." Menurutnya, ia yakin akan berhasil. Menteri pun bisa datang ke rumahnya yang reyot. Sangat tidak mustahil ia akan sukses sebagai pengusaha kelak. Kampusnya pun banyak memotivasi dan memfasilitasi mahasiswa seperti dirinya untuk menjadi pengusaha. Tak sedikit kakak kelasnya yang sudah berhasil. Beban keluarga yang dipikulnya tak terlampau berat. Adiknya cuma dua dan sudah termotivasi untuk mengikuti jejak kakaknya.

'Garis sukses' yang dimiliki Jamal (dan keluarganya) tak serta-merta tersebar ke lingkungannya. Begitu keluar dari rumah Jamal, puluhan anak pun mengerubung Pak Mantri. "Banyak sekali anak kecil di sini," celetuk Pak Nuh. Sebuah pernyataan spontan yang menggambarkan betapa berat beban bangsa dan negara ini. Ledakan penduduk tak terhindarkan. Bahkan, di kantong-kantong masyarakat agamais yang mengikuti ajaran Rasul yang membawa risalah agar "takutlah meninggalkan generasi lemah." Wilayah Pamijahan, Bogor, yang dikenal subur pun tak mampu menanggung beban masalah itu.

Jamal, insya Allah, dapat dientaskan dari kemiskinan. Tetapi, dari setiap 'Jamal', ada puluhan atau malah ratusan 'Jamal' lain yang tetap terperangkap dalam kemiskinan. Mereka akan terus melahirkan warga miskin bergenerasi-generasi. Berbagai upaya selamai ini hanya mampu mengurangi, dan bukan mengatasi beban masalah itu. Kebanyakan pemimpin umat belum paham soal itu. Sebagian lainnya tak peduli. Padahal, semua tahu, begitu dekat kefakiran dengan kekafiran. Para pejabat publik yang lebih sibuk dengan urusan kursi dan dompet sendiri tentu lebih tak peduli.

Masihkah kita akan menutup mata dengan kemiskinan yang dipicu oleh ledakan penduduk? Masihkah kita lebih mementingkan kuantitas dibanding kualitas? Masalah itu bukan sekadar urusan sosial ekonomi yang harus diatasi negara. Itu juga persoalan mendasar agama: Kemiskinan gampang membuat orang tersesat. Dengan caranya di jalur pendidikan, Pak 'Mantri' Nuh bekerja mengatasi masalah itu. Semestinya kita semua juga bekerja keras berbuat serupa. Itulah yang akan membuat jutaan Jamal terbebas dari perangkap kemiskinan. Jutaan Jamal yang akan dapat menatap masa depan dengan antusias seperti Jamal di Pamijahan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar