Senin, 07 Februari 2011

Imlek dan Perayaan Multikulturalisme

Mohammad Affan
Alumnus Pascasarjana UGM

Jauh sebelum Belanda menjajah negeri ini sebenarnya sudah terjadi akulturasi budaya Tiong hoa dan budaya nusantara. Hasil akulturasi itu tampak dalam berbagai elemen budaya seperti arsitektur bangunan, makanan, pakaian, dan lain nya. Bukti-bukti hibriditas budaya itu secara apik diulas Den nis Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya. Sebut saja, misalnya, Masjid Agung Demak atau beberapa kelenteng di pantai utara Jawa yang sisa-sisanya masih terlihat sampai sekarang.

Ironisnya, percampuran budaya itu coba disekat oleh rezim Or de Baru dengan mengeluarkan Inpres No 14/1967 yang me larang segala bentuk ekspresi ber bau Cina, mulai dari huruf, sim bol, kesenian (barongsai dan Hong), termasuk peraya aan Imlek. Orde Baru ketika itu, demi meraih simpati ma sya rakat untuk menegakkan re zimnya, mengembuskan “po litik identitas” bah wa orang-orang pribumi ber beda dengan etnis Tionghoa yang penda tang.

Lebih dari 30 tahun lamanya budaya Tionghoa dipinggirkan dari panggung budaya nusantara. Beruntung negeri ini kemudian melahirkan salah seorang sosok pemimpin yang me miliki kesadaran multikultu ralisme tinggi. KH Abdurrah man Wahid, Presiden ke-4 RI yang mengambil keputusan bersejarah dengan mengeluarkan Inpres No 6/2000 yang mencabut Inpres No 14/1967.

Dengan kebijakan itu, etnis Tionghoa bebas melakukan kegiatan keagamaan, adat istiadat, serta mengekspresikan ke budayaan mereka. Perayaan Imlek adalah salah satu buah ke bebasan itu yang kemudian di kukuhkan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Keppres No 19/2002 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.

Puncaknya, pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bam bang Yudhoyono, pemerin tah dan DPR menorehkan tonggak sejarah baru dengan menghapus diskriminasi kewar ganegaraan, yaitu mengesahkan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Undang-undang itu menyatakan: “Orang-orang bangsa In donesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kela hirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.

Dengan demikian, etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia ada lah orang In do nesia asli yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan lainnya. Tidak ada kate gori pribumi dan penda tang. UU di atas sekaligus dapat di baca sebagai politics of recog nition yang memberi pengakuan setara kepada setiap ragam budaya yang berbeda. Spirit UU itu adalah bangsa In donesia merupakan ejawantah dari rajutan pernak-pernik ke bangsaan yang berane karagam. Dia seperti mozaik yang merupakan satu kesatuan warna-warni tak terpisahkan satu sama lain. Dan itulah esensi multikulturalisme.

Multikulturalisme
Perayaan Imlek juga mengan dung spirit multikul turalis me. Hal itu tampak dari ke anekaragaman cara orang m erayakan Imlek. Tidak ada standar baku dan model tunggal dalam merayakannya. Kebe basan demikian menjadikan Imlek sebagai perayaan inklusif yang penuh ragam bu daya. Sekadar contoh, penulis pernah menyaksikan pertunjukan seni barongsai dalam su-a sana Imlek yang tidak biasa. Mereka memadukan budaya Cina dengan budaya nusantara. Perpaduan atau akultu ra si ini makin menambah in dah kedua budaya dalam se ma ngat persatuan dan kesatuan.

Keanekaragaman Imlek juga berbanding lurus dengan ke nyataan bahwa etnis Ti onghoa sendiri tidak homogen. Mereka terdiri atas bermacam subetnis, dialek, marga, asalusul geografis, dan agama yang berbeda-beda. Namun, semangat multikulturalisme mampu menyatukan jiwa etnis Tionghoa setiap merayakan Imlek.

Bagi etnis Tionghoa yang beragama Tao, Kong Hu Cu, atau Buddha, Imlek kental dengan ritual keagamaan, sedang kan bagi Tionghoa Muslim atau Kristen, Imlek adalah pe rayaan keluarga, mereka dipersilakan berdoa dalam rangka Imlek seperti yang bia sanya ramai di Masjid Cheng Ho Surabaya atau Masjid Karim Oei Jakarta. Di Masjid Syuhada Yogyakarta juga per nah digunakan Tionghoa Mus lim untuk berdoa. Keunikan lainnya yang khas Indonesia adalah tradisi makan lontong Cap Go Meh pada puncak perayaan Imlek.

Padahal, tradisi semacam itu tidak pernah ada di Tiongkok, negeri asal tradisi Imlek. Bahkan, saat ini mulai bermunculan simbol-simbol baru, seperti aneka ragam kuliner Imlek khas Indonesia, pernak-pernik, hingga munculnya Semar dan tokoh-tokoh pewayangan berbusana Tionghoa dalam pawai perayaan Imlek. Contoh-contoh di atas adalah bukti perayaan Imlek sema kin terintegrasi dengan budaya nusantara. Jadi, biarkan bu daya berkembang secara alami, tanpa perlu diatur dengan undang-un dang.

Tohmasya rakat ternyata lebih pandai dan bijak me nyikapi multikulturalisme di Indonesia. Satu hal yang perlu diperha tikan, jangan sampai perayaan Imlek terlalu menonjolkan sisi glamor dan konsu merisme seperti fenomena yang muncul di mal-mal, dan tempat-tempat hiburan. Prak tik se macam itu tidak saja melenceng dari mak na spiritual pera yaan Imlek, tetapi juga dapat melukai perasaan saudaraki tayang sebagian masih hidup dalam kemiskinan, atau yang sedang ditimpa bencana.

Pera yaan semacam itu akan berujung pada eksklusivisme, bukan multikulturalisme. Ke depan, kita berharap perayaan Imlek semakin ken t al dengan nuansa Indonesia melalui perpaduan berbagai unsur budaya nusantara se hingga Imlek memberikan sum bangan besar bagi pemba ngunan kebera gaman dan mem perkokoh persatuan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar