Selasa, 22 Februari 2011

Revolusi Tahrir dan Demokrasi

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Salah satu tuntutan utama Revolusi Tahrir di Mesir ialah ditegakkannya prinsip-prinsip demokrasi. Salah satunya adalah hak kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin negara. Ini adalah sesuatu yang hilang selama puluhan tahun. Kelompok Ikhwan yang dilarang selama ini, tetapi tetap hidup dan bergerak secara diam-diam dengan organisasi yang rapi, juga menginginkan tegaknya demokrasi di Mesir.

Dengan demikian, sistem demokrasi sudah menjadi kehendak sebagian besar rakyat Mesir, kecuali faksi minoritas HI (Hizbut Tahrir), yang menganggapnya sebagai sistem kafir yang harus ditentang karena berlawanan dengan sistem khilafah yang mereka anut dan perjuangkan.

Orang boleh saja berdebat tentang demokrasi dalam kaitannya dengan Islam, tetapi dengan segala kelemahan sistem ini, seorang warga negara tidak mungkin terjamin hak-haknya secara penuh, kecuali dalam kultur demokrasi.

Siapa mengira sebelumnya bahwa pada awal dasawarsa kedua abad ke-21, bumi Afrika Utara digoncang oleh demonstrasi lautan manusia dengan tujuan tunggal: mengakhiri sistem otoritarian yang membelenggu kebebasan warga. Dimulai dari Tunisia, melebar ke Mesir, kemudian entah ke mana lagi. Sistem demokrasi sedang menjadi tuntutan publik untuk dilaksanakan.

Perkara masih ada umat Islam yang menentang sistem ini, saya rasa tak perlu terlalu dihiraukan, sebab pada saatnya mata mereka akan terbelalak jika mengamati secara cerdas bahwa dunia Islam selama sekian ratus tahun, hanya melahirkan penguasa-penguasa yang memonopoli kemerdekaan. Sedangkan yang tersisa bagi rakyat adalah kewajiban tunggal: taat. Maka itu, tidaklah mengherankan kemudian mengapa bangsa-bangsa Muslim pasca penjajahan berada di persimpangan jalan dalam menentukan sistem politik yang harus dipilih.

Negeri-negeri Arab pada umumnya tetap melestarikan sistem dinasti, warisan imperium Umayyah sejak abad ke-7 yang lalu. Indonesia, Malaysia, dan Pakistan, secara formal memilih sistem demokrasi, terlepas dari kualitasnya. Mesir, sekalipun berbentuk republik, secara de facto tidak ada bedanya dengan kerajaan. Sekiranya Revolusi Tahrir tidak berlaku, Husni Mubarak berharap akan digantikan oleh anaknya Gamal (Jamal) Mubarak.

Syahwat dinasti ini hanya bisa dihalau oleh sebuah revolusi rakyat dengan segala korban yang ditinggalkannya. Untuk Mesir, lebih dari 300 pengunjuk rasa telah terbunuh. Mubarak, yang sekutu Barat, dengan berbagai cara telah berupaya untuk tetap bertahan. Tetapi, rakyat Mesir terlalu muak dengan apa yang terjadi selama berada di bawah kekuasaannya. Di samping memerintah dengan hukum besi, korupsi juga marak di mana-mana. Akibatnya, sekitar 40 persen rakyat Mesir yang berjumlah 83 juta tetap hidup dalam kemiskinan.

Siapa yang tahan hidup dalam realitas yang serbapahit dan terbelenggu ini. Islam yang autentik memberikan kemerdekaan penuh kepada manusia. Tetapi, realitas di berbagai negeri Muslim, kemerdekaan itu pulalah yang dipasung, tidak jarang dengan fatwa ulama.

Saya menyarankan, agar perdebatan tentang demokrasi di dunia Islam lebih baik dihentikan. Kita cobakan dulu sistem itu yang disesuaikan dengan doktrin syura (musyawarah) seperti yang diajarkan Alquran. Siapa tahu, sistem ini akan lebih baik dibandingkan apa yang berlaku selama sekian ratus tahun dalam format kerajaan, khilafah, atau sejenisnya, yang ternyata telah membelenggu pemikiran kreatif umat dengan segala akibat buruknya. Perlawanan rakyat Tunisia dan Mesir terhadap bentuk sistem politik yang membelenggu, patut dijadikan pelajaran bagi mereka yang masih ragu terhadap demokrasi.

Tentu, demokrasi yang kita inginkan adalah demokrasi yang bertujuan untuk menegakkan keadilan, demi terwujudnya kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Jika demokrasi hanya sebagai seremoni dan prosedur via pemilihan umum, sementara substansinya dilupakan, cita-cita bagi tegaknya keadilan akan sia-sia. Kita sungguh berharap pengorbanan rakyat Tunisia dan Mesir agar terbebas dari cengkeraman autoritarianisme, tidak dipermainkan oleh penguasa baru yang berlawanan dengan cita-cita mulia rakyat kedua bangsa Muslim itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar