Selasa, 22 Februari 2011

Kekerasan Berbalut Agama

Oleh Dr O Hasbiansyah
Dekan Fikom Universitas Islam Bandung

Pada masa perjuangan kemerdekaan India, kaum Muslim dan Hindu bahu- membahu bekerja sama menentang kolonialis Inggris. Di antara para pejuang itu, ada Viyaya Lakshmi Pandit, gadis Hindu yang cantik, adik Yawaharlal Nehru dan seorang pemuda Muslim, Dr Said Husain. Keduanya berpendidikan tinggi; keduanya menjalin asmara.

Di samping terlibat perjuangan membela negara, dua sejoli itu juga terlibat upaya memperjuangkan hak asasi mereka untuk bisa bersatu dalam cinta. Kendalanya begitu besar. Semua keluarga Viyaya menentang hubungan cinta mereka. Namun, kedua pemuda yang dimabuk asmara itu tetap bertahan.

Akhirnya, Gandhi, Bapak India itu, turun tangan. Dia bertiarap di bawah kaki putri jelita itu. Dia berkata, ia tidak akan mengangkat kepala sebelum Viyaya berjanji bahwa perkawinan itu tidak akan dilangsungkan. Di hadapan tokoh yang sangat berwibawa dan legendaris itu, Viyaya pun patah! Gadis itu akhirnya terpaksa menerima pemuda pilihan Gandhi yang seagama dengannya.

Islam, seperti agama lain pada umumnya, menuntut penganutnya memiliki keyakinan penuh pada ajarannya. Keyakinan itu akhirnya akan membawa konsekuensi: mempertahankan keyakinan itu dan jika mungkin menyebarkan keyakinan itu kepada orang lain.

Islam mengajarkan, mempertahankan keyakinan agama tidak hanya sekadar memperkukuh keimanan pribadi, tetapi juga mempertahankan komunitasnya dari tarikan ajaran lain yang berbeda.


Kasus Ahmadiyah
Ahmadiyah pada awalnya muncul di India dengan tokoh sentralnya Mirza Ghulam Ahmad yang membawa sebuah pemahaman tentang Islam. Setelah tokoh ini wafat tahun 1908, putranya, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, mendeklarasikan bahwa bapaknya adalah nabi. Gerakan ini berpusat di Qadian sehingga sering disebut Ahmadiyah Qadian. Sementara itu, sebagian pengikut Mirza Ghulam Ahmad yang lain menolak penobatan sang tokoh itu sebagai nabi; ia dipandang sekadar pembaru (mujadid). Kelompok ini berpusat di Lahore sehingga sering disebut sebagai Ahmadiyah Lahore.

Di Indonesia, Ahamdiyah Qadian dikenal dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sedangkan Ahmadiyah Lahore dikenal dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Dalam kehidupan agamanya, pengikut Ahmadiyah Qadian membangun komunitas eksklusif dan tidak mau berbaur dengan komunitas Muslim lainnya. Masjidnya pun tersendiri, sedangkan Ahmadiyah Lahore bisa berbaur dengan komunitas Muslim pada umumnya, termasuk dalam menjalankan ibadah. Kehadiran Ahmadiyah (Qadian) tentu saja menimbulkan kegelisahan bagi sebagian besar ulama Islam.

Melalui kajian mendalam, berbagai lembaga Islam yang memiliki otoritas telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah (Qadian) adalah ajaran menyimpang, sesat, dan menyesatkan. Lembaga-lembaga yang telah mengeluarkan fatwa itu adalah Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia) pada tahun 1974, Organisasi Konferensi Islam pada tahun 1985, Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1980, dan dikukuhkan kembali pada tahun 2005. Lalu, muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tahun 2008 yang mengatur keberadaan Ahmadiyah.

Di Pakistan, Ahmadiyah diakui sebagai agama tersendiri, tetapi di luar Islam. Di Malaysia dan Brunei Darussalam, Ahmadiyah dilarang sama sekali. Sementara itu, di Indonesia, meskipun sudah ada fatwa MUI dan SKB, eksistensi Ahmadiyah masih kukuh dan bisa berkembang.

Kita memang sangat prihatin dengan munculnya berbagai tindak kekerasan atas nama agama yang terjadi belakangan ini. Kita belum menemukan solusi yang tepat. Usulan yang dilontarkan tampaknya belum komprehensif karena lebih cenderung hanya menggunakan satu kacamata: pendekatan hukum untuk pelaku tindak kekerasan dengan memprosesnya secara hukum atau pendekatan HAM bagi korban tindak kekerasan, yaitu memberikan perlindungan kepada mereka. Pendekatan ini tentu saja benar, tetapi masih belum lengkap. Pendekatan seperti ini tidak menyentuh akar masalahnya.

Dari berbagai peristiwa kekerasan agama, memang ada kesan terjadinya pembiaran oleh aparat. Amuk massa begitu saja mengalir terjadi. Lalu, pelaku kekerasannya pun tidak segera ditangani. Kehadiran dan peran negara di sini nyaris tidak ada, atau sangat minimal. Kondsi seperti ini akhirnya bereskalasi lebih luas, massa makin sering menyelesaikan konflik agama dengan kekerasan. Negara memang harus menunjukkan kehadirannya melalui aparat yang berwenang untuk menegakkan hukum dan sebagai "wasit" menengahi berbagai kepentingan warganya.

Di sisi lain, para penganut agama pun butuh perlindungan dari pihak pemerintah. Perlindungan yang dibutuhkan mencakup rasa aman dari gangguan agresivitas penyebaran agama yang berbeda, aman dari pelecehan dan penodaan keyakinan agama oleh pihak mana pun, dan terpeliharanya keyakinan agama dari kemungkinan pemahaman yang menyimpang.

Dalam hal hadirnya sebuah "keyakinan baru" agama, memang sesuatu yang sangat problematik. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, kemunculan agama apa pun bukanlah persoalan. Ekstremnya, bila pada masa sekarang muncul orang yang mengaku nabi, itu tidak masalah. Orang boleh memiliki keyakinan apa pun. Namun, dari sisi "doktrin" agama, pembiaran yang demikian dapat menimbulkan chaos dalam beragama. Agama dipandang sekadar tempelan keyakinan yang terlalu personal dan individualistik. Padahal, bagi para penganutnya yang taat, agama bukan sekadar keyakinan, melainkan juga sebagai jalan hidup yang memberi bimbingan menuju kehidupan abadi.

Oleh karena itu, penanganan kekerasan agama tidak cukup hanya berdasarkan perspektif hukum dan HAM, tetapi juga harus melibatkan perspektif ajaran agama itu sendiri berdasarkan pemahaman para penganutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar