Selasa, 22 Februari 2011

Sungai Musi Urat Nadi Pusri

Tuesday, 22 February 2011
Tidak dapat dipungkiri,Sungai Musi yang membelah Kota Palembang menjadi dua,yakni Seberang Ulu (SU) dan Seberang Ilir (SI),merupakan ikon kebanggaan masyarakat Palembang.

KEBERADAAN kali yang memiliki panjang 750 km ini menjadi jalur transportasi air serta sebagai urat nadi perekonomian Palembang. PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) Palembang, hingga memasuki usianya yang ke 51 tahun ini, tetap bergantung dengan Sungai Musi,bukan saja untuk jalur distribusi hasil produksinya, melainkan juga memanfaatkan air Sungai Musi sebagai bahan baku untuk membuat urea.

Sayangnya,keberadaan Sungai Musi yang memiliki sejarah panjang sebagai jalur transportasi air sejak zaman Kerajaan Sriwijaya abad ke-7 hingga Kesultanan Palembang berkuasa ini kondisi terus memprihatinkan. Masalah klasik, yakni pendangkalan alur sungai tersebut seolah-olah tidak pernah terpecahkan, sehingga menjadi momok bagi kapal-kapal angkutan yang berbobot besar 10.000 ton (gross register tonnage/GRT). Manajemen Pusri mengakui, mendangkalnya alur Sungai Musi sangat menghambat distribusi pupuk ke sejumlah daerah. Sebab, saat kapal angkutan menuju Muara Sungai di Selat Bangka sejauh 106 km mulai terbentur alur yang dangkal, begitu pula ketika hendak sandar di dermaga Pusri.

“Ya, keberadaan Sungai Musi ibarat urat nadi Pusri, karena hampir 80% hasil produksi pupuk urea angkutan ke luar (saving out) tetap menggunakan kapal, tapi distribusi belum mampu berjalan optimal menyusul kerap terjadi pendangkal alur Sungai Musi,” ulas Dirut PT Pusri Palembang Eko Sunarko belum lama ini. Dia menjelaskan, dulu tujuh kapal model konvensional PT Pusri bisa mengangkut 8.500 ton pupuk, apalagi saat itu kedalaman alur Sungai Musi masih sekitar 7 meter.Tetapi, karena kedalaman di beberapa titik hanya 4,5 meter, terpaksa angkutan pupuk hanya menggunakan kapal berbobot berukuran kecil.Hal ini tentu menambah cost angkutan semakin membengkak. Pasalnya, setelah pupuk sampai di Muara Sungsang (Muara Sungai Musi) akan dipindahkan ke kapal-kapal besar.

Artinya, untuk satu angkutan pupuk,Pusri terpaksa menggunakan dua kapal angkutan,yakni satu berbobot 5.000–10.000 ton serta di bawah 5.000 ton. Idealnya, lanjut Eko, kapal yang digunakan tersebut berkapasitas 8.500 ton harus diturunkan menjadi 5.000 ton.“Kondisi ini jelas tidak efektif, pendangkalan begitu cepat dan dampaknya juga banyak pupuk urea masih tertahan di gudang,karena kapal hanya mampu mengangkut rata- rata 3.000–5.000 ton,”akunya.

Tak Sebanding

Eko menjelaskan, berbagai upaya telah dilakukan Pusri agar distribusi pupuk tetap lancar,salah satunya melakukan pengerukan Sungai Musi. Namun, ternyata kecepatan pendangkalan tak sebanding. Makanya untuk jangka pendek, Pusri mencari alternatif lain untuk mengangkut pupuk. Manajer Humas PT Pusri Palembang Zain Ismed menambahkan, untuk memperlancar operasi kapal angkutan pupuk yang hendak bersandar,Pusri beberapa tahun lalu menganggarkan dana sendiri untuk pengerukan di area dermaga.

Sebelumnya beberapa tahun lalu, untuk mengatasi pendangkalan itu,Pemprov Sumsel pernah menjajaki kerja sama dengan Otorita Pelabuhan Antwerp Belgia melalui Antwerp Port Education Centre (APEC). Melalui kerja sama itu, akan dilakukan pengerukan guna mengangkat endapan lumpur di alur Sungai Musi sebanyak 1,6–1,8 juta meter kubik per tahun. Pengerukan akan dilakukan PT Pelindo bersama BUMD dengan pendampingan tim ahli dari Belgia. Namun, hingga kini kerja sama itu tak kunjung terealisasi. Menurut Mawardi,pengamat dari Balai Wilayah Sungai Sumatra, pendangkalan yang terjadi di Sungai Musi disebabkan erosi akibat aktivitas penebangan hutan di bagian hulu sungai oleh beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit. Bila kondisi ini terus terjadi, masalah pendangkalan tersebut tetap akan berlanjut, apalagi Sungai Musi memiliki karak-teristik yang unik,yakni alur pasang dan surut.

Data Administrator Pelabuhan (Adpel) Boom Baru menyebutkan, kondisi pendangkalan Sungai Musi kian parah karena endapan lumpur mencapai sekitar 40 cm per bulan. Bahkan, volume endapan bisa mencapai 2,5 juta meter kubik.Sepanjang alur pelayaran Sungai Musi dari Pe-labuhan Boom Baru hingga Selat Bangka, terdapat 13 titik pendangkalan. Empat titik sudah sangat rawan, karena pendangkalannya mencapai 4 meter. Lokasi yang cukup rawan itu, yakni di C2 dan C3 , Pulau Payung bagian utara dan Muara Jaram, sedangkan lokasi yang mengalami pendangkalan paling parah, antara lain di ambang luar,Muara Selat Jaran, dan perairan bagian Selatan Pulau Payung serta panjang sedimentasi itu bisa mencapai 7 km.

Karena itu, kedalaman alur Sungai Musi sangat bergantung pada pasang surut air laut sehingga hanya kapal-kapal bertonase kurang dari 3.000 ton dapat berlayar. Perbedaan pasang surut antara muara sungai dengan pelabuhan berkisar enam jam,sehingga kapal-kapal yang mau masuk harus menyesuaikan jadwal dengan kondisi pasang. Sementara, keadaan pasang surut Sungai Musi antara 30 cm dan 275 cm bersifat harian tunggal. Artinya, kalau sedang surut, kapal harus menunggu satu hari baru dapat berjalan. Fakta yang memang masih sangat sulit dibantah, yakni pendangkalan alur Sungai Musi. Sebab, selain berkaitan erat dengan aspek perekonomian masyarakat, bagi Pusri sendiri, alur Sungai Musi merupakan urat nadinya.

Bila tidak dicari solusi, tentunya berpengaruh sekali dengan cost angkutan yang terus membengkak. Hal ini tidak sesuai dengan salah satu komitmen yang pernah terucap oleh manajemen Pusri sebelum spin off (pemisahan dari induk holding), yakni salah satunya efisiensi anggaran. Terlebih produksi urea Pusri sendiri hampir 80% untuk memenuhi kebutuhan pupuk bersubsidi secara nasional sudah barang tentu dengan terhambatnya distribusi akan berpengaruh juga dengan ketahanan pangan nasional. Semoga ke depan alur Sungai Musi tidak lagi mengalami pendangkalan, sehingga tetap seperti abad VII ketika kejayaan Kerajaan Sriwijaya menjadikan alur Sungai Musi sebagai jalur lintas ekonomi. (berli zulkanedi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar