Selasa, 22 Februari 2011

NU dan Keberagamaan Anti Kekerasan

Abdul Kadir Karding
Ketua Komisi VIII DPR RI
dan Ketua DPP PKB


Pada Maret 2010 yang lalu, sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga survei independen menyebutkan, tingkat kepuasan tertinggi responden terhadap peran Nahdlatul Ulama (NU) adalah menciptakan iklim toleransi (80,6 persen) dan menciptakan iklim demokrasi (60,8 persen). Banyak pengamat menyatakan, sejak tahun 1980-an, NU merupakan kekuatan utama bagi demokrasi dan toleransi beragama di Indonesia. NU menjadi contoh keberagamaan yang khas Indonesia.

Secara historis NU bisa dikatakan merepresentasikan Islam asli Indonesia, yaitu Islam yang toleran, terbuka, moderat, dan hidup berdampingan secara damai dengan berbagai agama dan keyakinan yang ada di tengah masyarakat, dalam suasana kebersamaan yang harmonis. Pluralitas diterima sebagai bagian dari hukum alam yang menjadi kehendak Tuhan, yang justru akan membuat kehidupan menjadi lebih dinamis dan produktif.

Sepanjang sejarahnya, NU juga diakui sebagai gerakan Islam yang anti kekerasan sejak dalam bangunan pemikiran dan filsafat keagamaannya. Bagi NU, kekerasan bukan hanya tidak memiliki dasar dalam ajaran agama, melainkan juga perbuatan itu akan mendegradasi nilai-nilai luhur dan ajaran mulia yang dibawa agama. Islam masuk dan berkembang di Indonesia menjadi agama mayoritas, juga karena agama ini disebarkan dengan cara-cara yang damai dan santun. Jauh dari cara-cara kekerasan.

Basis kultur
Sikap yang anti kekerasan ini didasarkan pada basis kultur, pemikiran keagamaan dan pandangan hidup NU. Pertama, pemikiran keagamaan NU mewakili suatu gagasan besar, yang disebut sebagai "peradaban fikih", meminjam istilah Muhammad Abid al-Jabiri. Peradaban fikih merupakan sintesis dari peradaban Yunani (Barat) yang lebih merupakan "peradaban filsafat", di mana filsafat Barat diintegrasikan secara sistematis ke dalam kerangka umum pemikiran hukum Islam melalui metode usul fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah. Keberhasilan merumuskan sintesis ini merupakan prestasi besar peradaban Islam, yang pertama kali dilakukan oleh Imam Syafii dalam karya monumentalnya, ar-Risalah (Masdar, 1999).

NU mentradisikan pemikiran serbafikih dalam berbagai aspek kehidupannya, meski pemikiran itu bukan jalan satu-satunya. Kalau dicermati dengan saksama, pemikiran serbafikih mampu menarik dan merumuskan sejumlah prinsip universal dari ajaran agama, untuk kemudian dilakukan sejumlah proses penyesuaian dengan budaya setempat, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip umum dari hukum agama itu sendiri.

Pemikiran serbafikih ala NU berhasil mengelaborasi Alquran dan hadis dalam konteks sejarahnya yang kompleks, untuk kemudian dimodifikasi dengan persepsi humanitarian yang utuh, sehingga pemikiran agama bisa diterjemahkan dan diimplementasikan sebagai motor penggerak perubahan sosial, yang menjunjung tinggi martabat manusia. Karena itu, radikalisme dan fundamentalisme tidak pernah bisa tumbuh dalam kultur NU.

Sikap anti kekerasan begitu menyatu dalam denyut nadi masyarakat NU. Kerangka berpikir mazhab dan serbafikih, membuat pemikiran NU tidak pernah buntu dalam melihat suatu masalah, karena fikih selalu menyediakan daerah sangga dalam bentuk teori hukum (usul fikih) dan kaidah-kaidah fikih (qawaid al-fiqhiyyah), yang bisa menampung kompleksitas kebutuhan masa dan tempat (Abdurrahman Wahid, 1986).

Kedua, pandangan hidup NU juga diwarnai secara kental oleh pandangan-pandangan dalam 'peradaban sufi'. Peradaban sufi adalah level peradaban di atas peradaban fikih. Menurut Seyyed Hossein Nasr (1981), sufisme merupakan dimensi batin dan esoteris Islam. Sebagai jantung ajaran Islam, sufisme juga seperti jantung manusia, tersembunyi dari pandangan meskipun ia menjadi sumber batin kehidupan, dan menjadi pusat yang mengatur seluruh organisme keagamaan Islam. Sufisme adalah aspek yang paling sulit dimengerti.

Pandangan hidup sufi merupakan pandangan yang melampaui fikih (syariat). Orang yang menempuh jalan hidup sufi, tidak lagi memandang orang lain dari apa yang dilakukan secara fisik, tetapi lebih pada sisi batinnya.

Katakanlah dari sudut pandangan fikih dan teologi, amalan dan keyakinan Ahmadiyah dinilai sesat. Namun seorang sufi akan melihat penganut Ahmadiyah dengan cara lain: "yang penting di hati mereka masih ada Tuhan, ada kebaikan. Karena itu, perbuatan menyimpang yang mereka lakukan, kita wajib meluruskannya dan kita tidak boleh bertindak anarkis pada mereka."

Itulah dua peradaban besar yang hidup dan berkembang dalam kultur NU, sehingga organisasi keagamaan ini senantiasa menjadi yang terdepan dalam hal toleransi, keterbukaan dan anti-kekerasan.

Memayungi kebhinekaan
Dengan dua pilar peradaban itu, tidak heran jika NU bisa dekat dengan semua agama, kepercayaan dan berbagai golongan yang hidup di bumi Indonesia. NU menjadi jangkar dan payung kebhinekaan dalam rumah besar bernama Indonesia. Kita tidak bisa membayangkan seandainya di Indonesia tidak ada NU, tentu kekerasan dan perang saudara akan menjadi peristiwa rutin yang akan menghancurkan bangsa dan menimbulkan perpecahan dahsyat di kalangan umat Islam sendiri.

Dalam pandangan NU, Indonesia ibarat sebuah kereta api. Di dalam kereta api, tentu ada beraneka macam jenis penumpang. Ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu. Ada berbagai profesi, misalnya pedagang, pegawai, buruh, petani, bahkan ada pencopetnya. Semua warga negara boleh naik dalam kereta itu. Tugas para pemimpin adalah menjamin agar setiap penumpang bisa menikmati perjalanan dengan aman dan nyaman, dan sampai tujuan dengan selamat.

Itulah dasar-dasar keberagamaan NU yang anti-kekerasan, mengedepankan kebersamaan dan kemaslahatan. Suatu keberagamaan yang sesungguhnya menjadi tiang utama eksisnya nusantara selama berabad-abad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar