Rabu, 09 Februari 2011

Sudah Sesuaikah Berita Kriminal di Televisi?

Dede Mulkan
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad

Tayangan berita penyerbuan Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, beberapa hari lalu sempat menghiasi layar kaca kita. Dengan kasat mata kita melihat orang-orang memegang golok dan bambu yang merusak rumah seorang penganut Ahmadiyah. Menurut saya, tayangan berita kriminal seperti ini sudah kelewat batas walaupun mengatasnamakan 'eksklusivitas' gambar. Bahkan, ada juga semacam euforia yang berlebihan di kalangan petugas polisi untuk bisa tampil di televisi, dan situasi ini justru tidak mendidik masyarakat.

Betulkah telah terjadi 'penyimpangan' dalam penayangan berita kriminal yang selama ini dilakukan oleh stasiun televisi? Peristiwa jurnalistik disebut-sebut sebagai sebuah kejadian yang tidak bisa diulangi. Peristiwanya terjadi secara tiba-tiba tanpa ada rekayasa, tidak direncanakan, dan tentu saja kejadian itu sendiri harus tetap menarik bagi khalayak.

Profesi seorang jurnalis (wartawan)-apa pun jenis medianya, apakah cetak atau elektronik-ibaratnya sama dengan dokter. Di mana pun dan kapan pun seorang dokter berada, ketika melihat orang memerlukan bantuan medis, ia harus menolongnya. Begitu juga seorang jurnalis, ketika ia menyaksikan sebuah peristiwa yang sangat penting untuk diketahui khalayak, ia harus terpanggil untuk melakukan pekerjaan profesionalnya sebagai wartawan. Tuntutan profesi inilah yang mendekatkan wartawan (reporter televisi) dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Media televisi memiliki "kelebihan" yang hampir sama dengan radio, yaitu dalam hal kecepatan (aktualitas). Ketika sebuah peristiwa penting untuk segera diketahui oleh khalayaknya, kedua media itu (radio dan televisi) bisa melakukan apa yang disebut dengan breaking news, bahkan bila perlu siaran langsung (live).

Saking ingin "cepatnya" menyampaikan informasi, terkadang pengelola berita di televisi melupakan unsur penting lainnya dari kelayakan sebuah berita, yakni keakuratan. Unsur-unsur faktual dari sebuah peristiwa diabaikan, prosedur check and recheck tak lagi di kedepankan.

Bicara gambar
Televisi adalah media yang bersifat audiovisual (suara dan gambar). Sifat inilah yang menjadikan televisi memiliki kelebihan dibanding media lainnya. Bahkan, ada yang mengatakan: no picture no news. Artinya, media televisi tidaklah berarti apa-apa, jika sang kameramen tidak memiliki gambar yang akan ditayangkan.

Hasil survei membuktikan, pesan yang penyampaiannya disertai dengan gambar "hidup", 80 persen akan lebih mudah diterima oleh khalayak ketimbang pesan yang bersifat tertulis (media cetak) ataupun terdengar (media radio). Tentu saja, setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan tidak bisa dikatakan media satu lebih unggul dibanding media lainnya. Karena, setiap media memiliki karakteristik yang khas dan tidak dimiliki media lainnya.

Menurut karakteristiknya, program siaran televisi terbagi menjadi dua bagian: karya artistik dan karya jurnalistik. Sebuah karya artistik dalam media televisi lebih mementingkan keindahan gambar dan runtutan peristiwa agar khalayak yang menontonnya merasa terhibur. Sedangkan karya jurnalistik lebih mengutamakan terjadinya sebuah peristiwa yang direkam oleh kamera.

Bicara fakta
Fakta dan data adalah "jantungnya" karya jurnalistik, terlebih lagi jurnalistik televisi. Jika fakta dan data merupakan napas, sangatlah tidak mungkin seorang jurnalis televisi melakukan rekayasa terhadap gambar, apalagi melakukan dramatisasi agar bisa disaksikan.

Inilah yang saya khawatirkan dari perkembangan berita-berita kriminal yang ditayangkan di televisi. Suatu kali kita menyaksikan seorang polisi tengah memburu penjahat diikuti para kameramen televisi. Pada kesempatan lain, kita juga sering melihat petugas tramtib tengah mengobrak-abrik pedagang K-5 di pinggir jalan, suasana kekacauan itu terekam jelas di layar kaca.

Menyaksikan tayangan berita kriminal di televisi saat ini, seakan-akan kita dibawa ke dalam adegan action reality show. Muka pelaku yang berdarah-darah sehabis dihajar massa, adegan pengejaran maling, sampai rekonstruksi ulang pelaku kejahatan, sudah jadi menu sehari-hari dalam pemberitaan televisi kita. Namun, jarang sekali wartawan kriminal itu melakukan investigasi kasus-kasus korupsi, misalnya.

Jika rekayasa seperti itu masih tetap dilakukan terhadap sebuah karya jurnalistik, yang terjadi adalah sebuah kebohongan profesi dan mungkin juga menjadi sebuah "kebohongan publik". Karena, gambar-gambar hasil rekayasa itu disebarkan kepada masyarakat luas.

Di sinilah letak persoalannya. Ketika para pengelola stasiun televisi-khususnya tim di bagian program pemberitaan-melakukan rekayasa terhadap sebuah peristiwa atau fakta dan data yang terjadi, sebenarnya mereka telah menganggap khalayak penonton itu sebagai sebuah benda diam, tidak bergerak, yang tidak bereaksi apa-apa ketika melihat peristiwa yang tak "masuk akal" sekalipun.

Dalam kajian ilmu komunikasi, asumsi yang menganggap pemirsa itu pasif memang pernah muncul seiring lahirnya teori "jarum hipodermik", yang menganggap khalayak "bodoh", hanya mau disuapi, tidak berani menolak terhadap terpaan pesan media. Namun, teori ini ternyata gugur begitu saja ketika kemudian disadari bahwa khalayak itu ternyata pintar dan tidak diam. Mereka bergerak, mencari kebenaran sendiri yang hakiki, dan menolak ketika dipaksa harus menerima sebuah pesan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia (common sense).

Pertanyaannya kini, seperti apakah sebuah program berita (jurnalistik televisi) yang ideal di televisi? Jawabannya, tentu saja harus dikembalikan kepada tujuan yang hakiki dari tugas seorang jurnalis (wartawan). Seorang wartawan memiliki misi menyampaikan kebenaran yang didasarkan atas fakta dan data di lapangan. Sebesar apa pun sisi kepentingan bisnis yang menyertai keberadaan sebuah program pemberitaan, tetap saja seorang reporter dan kameramen televisi harus berpegang teguh pada prinsip kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar