Rabu, 02 Februari 2011

Trade off dalam Kebijakan Perberasan

Dr Andi Irawan
Pengamat Ekonomi Pangan

Salah satu prinsip dasar kebijakan ekonomi yang sering dilupakan oleh pengambil kebijakan dalam Kebijakan Pangan Nasional adalah apa yang diistilahkan ekonom sebagai "trade off". Makna //trade off secara harfiah adalah kalau anda punya selimut yang hanya bisa menutupi sepertiga badan, jika digunakan untuk menutup kaki, Anda harus rela bagian badan terbuka. Dan sebaliknya, jika digunakan untuk menutupi badan, Anda harus rela bagian kaki terbuka.

Di dalam ilmu ekonomi konsep trade off adalah keniscayaan karena adanya keterbatasan sumber daya. Ketika kita memutuskan penggunaan sumber daya untuk satu pencapaian kegiatan ekonomi tertentu, konsekuensinya kita harus maklum jika berdampak mengurangi pencapaian tujuan lainnya.

Di antara Trade off yang penting antartarget kebijakan pangan nasional menurut hemat saya adalah antara keberlanjutan swasembada beras dan terwujudnya diversifikasi pangan. Kita tahu bahwa target pencapaian swasembada beras adalah target pencapaian yang sulit berkorelasi searah dengan target terciptanya diversifikasi pangan. Yang niscaya dari kedua target ini adalah bersifat trade off.

Pencapaian swasembada sangat bergantung pada produktivitas usaha tani. Dan untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek, diperlukan intensifikasi penuh dengan menerapkan teknologi biokimia dan mekanisasi pertanian. Padahal, di sisi lain pertanian pangan kita adalah berbasis petani gurem.

Menurut Sensus Pertanian 2003, 55,11 persen rumah tangga petani terkategori sebagai rumah tangga petani gurem (kepemilikan lahan kurang dari 0,5 Ha). Ditinjau dari skala ekonomi, tidaklah menguntungkan jika menerapkan intensifikasi pada lahan-lahan sempit seperti yang dimiliki umumnya petani gurem. Itu artinya untuk meningkatkan produktivitas pangan menjadi sangat mahal karena perlunya subsidi yang masif untuk intensifikasi pertanian. Hal ini karena petani tidak mampu jika mereka harus membiayai sendiri intensifikasi usaha taninya.

Ketika resources dan anggaran negara dialokasikan sedemikian besar untuk meningkatkan produksi pangan khususnya beras, maka ini akan mendorong hilangnya kemampuan komoditas pangan lain menjadi bahan pangan pokok utama masyarakat Indonesia. Fenomena ini saya istilahkan dengan "berasisasi" kebijakan pangan.

Kebijakan "berasisasi" telah kita lakukan selama tiga dasawarsa terakhir. Produksi beras yang digenjot habis-habisan oleh pemerintah sejak zaman Orde Baru sampai hari ini menyebabkan keunggulan komparatif komoditas pangan lokal sumber karbohidrat lokal nonberas (sagu, ganyong, singkong, dan lain-lain) menjadi hilang.

Mengapa komoditas pangan lokal nonberas tidak mampu mengalahkan atau mensubstitusi posisi beras sebagai makanan pokok? Pertama, dari sisi produsen, budidaya beras/padi yang disubsidi dan diproteksi menyebabkan biaya produksi beras lebih murah dibandingkan komoditas pangan nonberas yang tidak disubsidi oleh negara.

Kedua, dari sisi konsumen, posisi beras yang dipersepsikan sebagai komoditas superior secara politik karena berkontribusi besar terhadap inflasi menyebabkan pemerintah pun akan selalu menjaga beras dalam keadaan, yang terjangkau melalui kebijakan proteksi dan subsidi untuk konsumen melalui operasi pasar ataupun program beras untuk rakyat miskin (raskin). Siapa yang mau makan singkong atau sagu ketika beras ada tersedia dan bisa dijangkau murah.

Tiga dasawarsa kita melakukan swasembada beras sebenarnya identik dengan gerakan berasisasi dari sisi produksi dan konsumsi. Berasisasi inilah yang menyebabkan beras unggul secara artifisial dibandingkan komoditas pangan sumber karbohidrat lokal nonberas.

Adalah suatu yang tidak aneh kalau kemudian seluruh anak negeri menjadi gandrung dengan beras. Gerakan berasisasi adalah trade off terhadap diversifikasi pangan. Kita harus mengorbankan program diversifikasi pangan jika kita memang tetap ingin menjadikan beras sebagai komoditas politik yang tidak boleh harganya naik sesuai harga ekonomi pasarnya.

Ke depan kebergantungan terhadap beras harus dihilangkan secara bertahap; Langkah pertama yang terpenting adalah pemerintah selaku decision maker harus menghilangkan fobia terhadap harga beras mahal. Cara yang baik untuk itu adalah dengan tetap membiarkan harga beras naik kalau faktor penyebabnya adalah fenomena siklus tahunan, sementara kita tahu pasti bahwa produksi beras dalam keadaan surplus dan stok beras di Bulog dalam posisi yang aman untuk melakukan operasi pasar.

Stabilisasi harga beras dalam bentuk operasi pasar baru dilakukan ketika harga naik 25 persen atau lebih. Pemerintah harus bisa mendisiplinkan diri untuk tidak terlalu cepat melakukan Operasi pasar ketika melihat fenomena kenaikan harga beras. Biarkan harga beras naik sampai pada ambang batas harga yang memang diperlukan untuk melakukan intervensi, yakni kenaikan harga rata-rata 25 persen.

Ketika terjadi kenaikan harga, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah fokus melindungi akses masyarakat miskin yang rentan secara ekonomi dari kenaikan harga beras, untuk kalangan menengah atas biarkan mereka membeli beras pada harga ekonomi pasarnya. Bantuan pangan dalam rangka proteksi terhadap rumah tangga miskin yang mengalami rawan pangan tersebut hendaknya tidak lagi melulu dalam bentuk beras.

Beras untuk rakyat miskin (raskin) seharusnya diubah menjadi pangan untuk rakyat miskin dalam makna bantuan untuk rakyat miskin tidak selalu dalam bentuk beras, tetapi pangan nonberas khususnya untuk daerah-daerah yang pangan pokoknya dahulu adalah nonberas, seperti sagu di Indonesia Timur, umbi-umbian untuk kawasan Papua, jagung untuk Madura, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar