Selasa, 22 Februari 2011

Semua Baik Adanya

Sunday, 20 February 2011
JADILAHbintang.Hidup dalam alunan mimpi masa yang akan datang.Merajut angan-angan dalam lembarlembar kehidupan.Menjadi orang yang terpandang. Berusaha selalu dalam sanjungan.


Melambungkan diri pada posisi tertinggi yang nantinya sia-sia belaka. “Rajin belajar,Nak.(Jik) sudah besar kau pasti sukses.”Ah,sudahlah, itu nasihat yang sering aku dengar di setiap lorong jalan.Apa itu kesuksesan, aku tidak banyak tahu tentangnya.Walau semua menunjukkan tangan ke arahnya.Lagipula aku wanita. Awalnya aku bilang itu wajar. Semua orang ingin dianggap berharga. Lebih tepatnya semua orang ingin dihargai. Dalam diri manusia ada kecenderungan untuk menempatkan diri sebagai pusat perhatian dunia sekeliling. Semua orang berusaha supaya potretnya dimuat di surat kabar. Sekarang itu yang membuat aku ingin muntah.Semakin merasa rendah. Tidak punya harga diri. Penjilat pujian. Bukan cuma itu, aku juga tidak puas dengan tubuhku sendiri.

Semakin haus dan terus semakin haus pujian. Menjadikan perasaan rendah menutupi tiap sel-sel tubuhku. Saat rasa rendah diri mencapai titik puncak. Saat kehausan pujian tidak pernah terpuaskan. Penderitaan hidup terasa sangat dalam. Upaya yang harus aku lakukan adalah menghilang dari muka bumi ini. Mengakhiri usaha ingin dihargai, inginsukses,ingineksisdengancara lari dari kehidupan sekarang ini. Akhirnya aku memulai. Aku meraih pil tidur dari meja di sebelah kanan ranjangku.Aku menelan pil-pil itu butir demi butir.Jika menelan sekaligus itu membuatku muntah. Beberapa menit kemudian aku sudah menghabiskan seluruhnya. Pada awalnya aku memilih bunuh diri dengan cara menyayat pergelangan tangan.

Biar lebih mudah dan prosesnya cepat. Jika itu yang terjadi,pasti kamarku berlumuran darah dan adikku repot membersihkannya. Karena itu aku mempersiapkan semuanya sebaik mungkin, supaya siapa pun yang aku tinggalkan tidak repot melihat kepergian ini. Dengan cara meninggalkan kehidupan, kita tidak melalui masamasa yang sulit. Semakin tua, dijangkit penyakit,gila dalam anganangan, berusaha eksis, dan akhirnya melihat teman-teman meninggal. Semakin lama hidup, penderitaan semakin bertambah. Saatnya pun tiba.Kepala terasa amat sakit.Telingaku berdenging. Semua terlihat kabur.Aku berusaha tidak memikirkan rasa sakit yang menerpa.

Aku berkonsentrasi pada dunia yang akan hancur.Muncul perasaan takut yang hadir terhadap sesuatu yang tidak jelas. Aku sudah tidak sadarkan diri. Aku menganggap di kehidupan selanjutnya aku merasa lebih damai. Di sana tidak ada pencarian nama baik, tidak akan ada penghinaan terdengar di telinga. Beberapa saat kemudian aku terbangun.Aku merasakan semuanya sangat ringan. Seakan-akan aku bisa terbang. Aku bangun tetapi tubuhku tetap di tempat tidur. Aku melihat tubuh itu terletak tak berdaya.Aku mengelilingi kamar dan memperhatikan semua yang ada di sana. Semua tersusun rapi dan sangat enak dipandang.Itu sudah aku rapikan sebaik mungkin. Setelah itu ada awan yang menutupi semua penglihatan.

Tak ada satu benda yang bisa terlihat karena mataku tertutup awan. Aku sepertinya terangkat, sepertinya terbang. Mungkin ini saatnya masuk ke alam kematian. Saat awan itu dihembus angin, aku melihat sesuatu yang begitu indah di depan mata.Aku melihat tumpukan-tumpukan awan yang membentuk seperti hewan yang sangat lembut. Pemandangannya sangat indah. Mataku seakanakan berusaha menangkap semua keindahan itu. Sangat indah. “Tunggu!. Aku mengenal danau ini. Danau Toba. Mengapa Danau ini terlihat sangat indah dan memesona? Sewaktu aku hidup bersama tubuhku, aku tidak pernah melihat seindah ini.” Ada seseorang yang memegang punggungku. Aku melihat ke belakang, ternyata dia seorang kakek tua dengan sebuah tongkat. Aku tidak mengenalnya.

Mungkin dia malaikat. “Inilah saat yang dikatakan bila mata tidak terhalang hasilnya adalah penglihatan. Kau merasakan semuanya indah bukan?” Dia bicara dengan senyum yang ramah. “Mengapa semua kelihatan indah, Kek? Padahal sewaktu aku hidup bersama tubuhku,aku tidak pernah merasakan keindahan ini.” Mendengar pertanyaanku dia tertawa.“Kau tidak pernah merasa alam ini indah bila pikiranmu dihantui masalah-masalahmu. Kau tidak pernah menyadari keindahan alam di sekelilingmu bila kau melihatnya bukan atas cinta. Kau orang yang berusaha dihargai, sukses, dan semua orang seperti itu. Itu alasan kalau kau berharap pujian orang lain terhadap dirimu, daripada pujianmu terhadap keindahan alam ini.” Saat aku mengangguk, awan putih kembali menutupi semua sudut pandangku.

Aku terangkat kembali sangat ringan. Melayang. Kembali angin menerpa awanawan di hadapanku, aku melihat keindahan hamparan laut. Sekarang aku tidak terkejut melihatnya. Aku tahu ini pulau Nias.Aku pernah ketempat ini. Aku menikmati keindahan itu lagi.Sangat indah.Tiba-tiba aku melihat si kakek sudah di sampingku. “Tugasmu sekarang hanya mendengar dan mengamati. Seiring dengan itu amati semua keindahan yang ada di hadapanmu.” “Jangan pikiranmu dihantui m a s a l a l u mu . Jangan pikiranmu dihalangi penghargaanpenghargaan yang pernah kau terima. Tugasmu mengamati dengan cinta.” Aku melaksanakan semua yang dikatakan si kakek.Aku sangat menikmati.

Aku menikmati semua alam ini. Aku melihat semua keindahan dan merasakan kesejukan yang sangat membahagiakan. “Kau harus menyadari mengenai satu hal: segala sesuatu dalam hidup ini baik adanya.Baik adanya.” “Manusia yang tidak menyadari itu tidak akan menikmati perjalanan hidupnya di bumi.Mereka selalu kekhawatiran tentang apa yang mereka makan dan minum. Mereka hidup dalam kekhawatiran tentang apa yang mereka pakai. Hidup dalam usaha supaya semua orang di bumi menghargai mereka.Mereka semua berusaha supaya masuk televisi dan nama mereka dikenal semua orang.Semua buru-buru seperti ada yang perlu dikejar.Itu yang membuat mereka tidak menyadari bahwa dunia ini baik adanya.” Kembali awan putih menutupi penglihatan.

Aku terangkat dan tiba di sebuah tempat yang tidak pernah aku lihat. Gerbang yang sangat indah.Besar dan kokoh. Aku berjalan mendekati gerbang itu. Seorang ada menjaga di sana.Dia memberi salam dengan ramah. “Saya malaikat yang ditugasi untuk menjaga gerbang ini, Tera, 12 Januari 1984. Silakan masuk ke dalam gerbang kematian ini.” Mendengar kata-kata itu aku terdiam dan tiba-tiba berlari menjauh dari gerbang itu.Aku lari sekuat tenaga dan berusaha agar malaikat itu tidak menemukan. Aku lari dan terus berlari tanpa tujuan, sekarang aku belum ingin mati. Mataku telah terbuka.Aku masih ingin merasakan keindahan, kebaikan dan cinta di bumi. Karena lariku sangat kencang dan tak terkendali, sebuah benda membentur kakiku.

Aku terjatuh dan merasakan sakit di seluruh tubuh.Terutama di punggung,aku merasakan sangat sakit.Aku mencoba membuka mata yang sangat berat.Saat membuka mata barulah aku menyadari aku berada di rumah sakit.Aku melihat infus di atas kepalaku. Orang yang pertama aku lihat pada saat itu adalah adikku Ryan. “Aku belum siap kakak mati,makanya aku menunggu kakak kembali”. Aku melihat wajahnya sangat lelah.Dia memelukku. Setelah itu ayah dan ibuku datang membawa makanan untuk Ryan yang sudah menjagaku.Melihat aku tersadar, mereka memelukku juga.“Dari mana saja kau?” tanya ayahku. Merekalah alasan mengapa aku hidup kembali. Mereka yang memanggil aku untuk menikmati baiknya kehidupan ini.

Aku mengajak ayah, ibu, dan adikku ke Danau Toba saat libur tiba.Aku mengajarkan cara menikmati keindahan alam yang benar. “Tugas kita hanya mendengarkan dan mengamati keindahannya.Tidak ada komentar,tidak ada kritik. Semua hanya mendengarkan dan mengamati.” Saat kami berjalan di sebuah toko lukisan di pinggiran Danau Toba.Aku melihat lukisan seorang kakek tua dipajang di antara lukisan-lukisan lainnya. Mataku tertuju pada lukisan si kakek yang tidak asing lagi bagiku.Aku ter-senyum saat melihat tulisan di bawah lukisan itu: “Semua baik adanya.”Aku membeli lukisan itu dan memajangnya di kamar tidurku.(*)

LAMBOK SIMATUPANG, lahir di Padangsidempuan, Tapanuli Selatan, 5 Mei 1985. Alumnus Sarjana Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Riau (2009). Pernah mengikuti diklat jurnalistik yang diadakan di kampus UNRI. Sampai sekarang aktif menulis cerpen dan mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar