Selasa, 01 Maret 2011

Al-Qadzdzafi, Mengapa Begini?

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Mungkin Anda mengira saya senang menulis tentang tokoh ini? Tidak sama sekali. Perasaan saya sangat getir dan luka bercampur marah, mengapa Qadafi (Mu'ammar al-Qadzdzafi) kehilangan akal sehat dengan membunuh ratusan rakyatnya sendiri, padahal dia sudah berkuasa sejak 1 September 1969 melalui sebuah kudeta militer terhadap Raja Idris. Sejak itu, kekuasaannya berlangsung tanpa ada yang berhasil melawannya, sampai meledaknya Revolusi Rakyat pada 17 Februari 2011, atau disebut juga sebagai Revolusi 17 Februari.

Tak seorang pengamat pun yang berpendapat bahwa Qadafi akan bisa bertahan. Kekuasaan otoritariannya yang berlangsung demikian lama pasti tumbang. Anaknya Saif al-Islam yang ingin berkompromi dengan rakyat yang sedang melawan ayahnya boleh jadi akan berujung dengan sebuah kesia-siaan. Sudah sangat terlambat. Saya pernah pula bertemu dengan Saif al-Islam ini di sebuah hotel di Jakarta beberapa tahun yang lalu.

Mengapa kegetiran dan kemarahan menguasai batin saya setelah mengikuti drama maut yang menimpa rakyat Libya? Cerita di bawah ini akan sedikit menjelaskan. Setidak-tidaknya tiga kali saya menemui Qadafi untuk berbagai kepentingan selama 13 tahun terakhir. Pertama, mendampingi Ketua PP Muhammadiyah Dr M Amien Rais di akhir 1998. Kami diterima di tendanya dengan digelar karpet merah sebagai tamu terhormat.

Kedua, tahun 2000 saya memimpin delegasi Muhammadiyah menemui Qadafi di Tripoli, juga dalam tenda, tidak jauh dari tempat untanya. Ketiga, tahun 2001, bersama Prabowo Subianto, MA Rais, Maher Algadrie, Muchdi, Fadli Zon, dan Ahmad Muzani (Gerindra), dalam rangka menjajaki perdagangan minyak Prabowo dengan Libya. Tampaknya misi dagang ini tidak menghasilkan apa-apa.

Pada kunjungan ketiga ini tidak semua anggota rombongan bisa bertemu dengan Qadafi yang saat itu lagi berada di sebuah kota kecil Sirte, di kawasan suku asal Qadafi. Anggota yang berangkat ke sana adalah Prabowo, MA Rais, dan saya sendiri dengan sebuah helikopter yang disediakan Qadafi. Kami didampingi oleh Dr Ahmed Muhammed Sharif, tangan kanan Qadafi dalam masalah dakwah Islam global. Selama krisis ini saya telah berusaha mencari di mana Dr Sharif berada, tetapi tanpa hasil.

Pada kunjungan kedua, rombongan kami diminta menghadiri semacam dialog dengan Garda Militer pimpinan Kol Abdul Wadud, jika saya tidak salah ingat namanya. Sebenarnya tidak ada dialog sejati yang berlaku. Suasananya terasa mencekam. Pada kesempatan itu saya mengajukan pertanyaan kepada sang kolonel: "Apakah sudah terpikir Libya pasca-Qadafi?" Sebuah pertanyaan yang semestinya tidak layak diajukan. Karenanya tidak ada jawaban yang jelas kala itu. Saya ajukan pertanyaan itu karena saya sudah menengarai banyaknya keganjilan yang kami rasakan selama kunjungan itu.

Untuk menemui Qadafi, kita harus melalui penjagaan berlapis-lapis. Ada yang menggelikan. Kami melihat di sebuah pos penjagaan ada petugas pembawa bedil dengan memakai tali rafia. Pakaiannya pun seadanya saja. Jam pertemuan pun gonta-ganti, bahkan kami pernah menunggu sampai tengah malam. Dr Sugiat AS, anggota rombongan, yang sudah siap dengan jas dan dasi merasakan kelelahan yang tak menentu. Anomali terasa di mana-mana, sebagai pertanda negara yang tidak sehat. Perdapatan per kepala sekitar 13 ribu dolar AS ternyata tidak menolong negeri itu dari kekacauan politik yang parah. Penyebabnya tunggal: tiadanya keadilan dan kemerdekaan.

Akhirnya, di tengah malam itu pertemuan dengan rombongan dalam sebuah tenda yang dikelilingi oleh kain warna-warni terlaksana juga. Qadafi ingin tahu tentang Muhammadiyah dan keadaan Islam di Indonesia. Melalui seorang penerjemah ke dalam bahasa Arab, saya jelaskanlah apa yang diminta itu. Usai pertemuan, masing-masing kami berfoto dengan Qadafi.

Kini Libya sedang tercabik, semoga bertaut kembali di bawah pimpinan baru yang adil dan siuman. Satu per satu kota sudah jatuh ke tangan lawan. Korban pun masih terus berjatuhan. Qadafi rupanya sedang berada di ujung tanduk kekuasaannya. Menteri kehakiman dan menteri dalam negeri yang sudah mundur memperkirakan Qadafi akan bernasib seperti Hitler: bunuh diri atau terbunuh. Qadafi, kata mereka, tidak akan meninggalkan Libya. Sampai di mana benarnya nanti perkiraan ini, hari-hari ini akan menjawabnya.

Sebuah kekuasaan otoritarian yang bengis dan kejam pada saatnya pasti ambruk. Tipe Islam yang dikembangkan Qadafi bukanlah Islam yang membawa rahmat dan keadilan. Para diktator lain semestinya mau belajar dari tragedi politik Libya ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar