Rabu, 23 Maret 2011

Sahkah Serangan ke Libya?

Oleh Pudak Nayati
Dosen Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia,
Kandidat Doktor International Law/Inequality of States, Monash University, Australia.

Baru-baru ini Libya bertubi-tubi diserang dari udara oleh negara-negara Barat-Prancis, Amerika Serikat, Inggris, dan mitra-mitra koalisinya. Mereka mengklaim bahwa serangan militer yang dilancarkan terhadap Libya ini merupakan usaha penerapan dan penghormatan larangan zona terbang (no-fly zone) yang diterapkan kepada Libya berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973/2011-sebuah Resolusi yang diklaim bertujuan murni untuk melindungi rakyat sipil dari tindakan sewenang-wenang rezim Muamar Qadafi.

Terlepas dari setuju tidaknya kita dengan rezim tirani Qadafi, benarkah tujuan pengeluaran Resolusi Dewan Keamana PBB 1973/2011 ini murni demi kemanusiaan?

Nonintervensi
Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB dengan jelas menyatakan pelarangan penggunaan kekuatan militer terhadap sebuah negara yang berdaulat, kecuali semata-mata untuk kepentingan self defense dari serangan militer negara lain. Prinsip nonintervensi dalam hukum internasional ini harus diterapkan demi menghormati prinsip kedaulatan sebuah negara (state sovereignty principle). Dengan prinsip nonintervensi ini, sebuah negara dilarang keras melakukan intervensi terhadap permasalahan dalam negeri sebuah negara yang berdaulat.

Akan tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, Bab VI dan VII Piagam PBB memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan PBB untuk menerapkan non-defensive use of force untuk merespons segala ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia. Dalama kasus Libya, pengeluaran Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 untuk Libya mendasarkan diri pada Bab VII Piagam PBB ini.

Permasalahannya sekarang terletak pada ambiguitas pengertian dari tindakan yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Bahkan dewasa ini, pengertian dari 'ancaman' ini diperluas mencakup permasalahan-permasalahan internal sebuah negara (Dmarosch, 1993). Inilah mengapa hampir semua-apabila tidak bisa dibilang semuanya-Resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB lebih cenderung merupakan pernyataan sikap suatu (kelompok) negara dibandingkan sebuah produk hukum.

Terlepas dari model pemerintahan Qadafi yang zalim dan otoriter, penerbitan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973/2011 untuk Libya ini kurang dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional.

Pertama, berkaitan dengan prinsip sovereign equality of states. Hukum internasional jelas-jelas memberikan garansi kedaulatan kepada semua negara anggota masyarakat internasional . Hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB. Jaminan pemilikan kedaulatan ini tidak dibeda-bedakan apakah negara tersebut merupakan negara demokratis ataupun tirani. Dalam kasus Libya, kedaulatan negara Libya secara otomatis ternihilkan karena sikap otoritarian dari rezim yang berkuasa.

Kedua, berkaitan dengan prinsip nonintervensi dalam hukum internasional. Kondisi di Libya bukanlah merupakan demonstrasi rakyat melawan rezim yang sedang berkuasa semata, akan tetapi sudah mengarah kepada kekerasan militer antara pihak pemerintahan yang sedang berkuasa dan pihak oposisi/pemberontak. Dalam hukum internasional terdapat larangan intervensi dengan tujuan untuk membantu pemberontakan di sebuah negara berdaulat, kecuali apabila kaum pemberontak telah dapat menguasai dan mengontrol secara efektif wilayah negara.

Dalam kasus Libya, kaum oposisi/pemberontak belum dapat dikategorikan telah dapat menguasai dan mengontrol wilayah negara Libya secara efektif. Dengan kata lain, pengeluaran Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973/2011 ini terlihat berat sebelah dan memihak kepada kaum oposisi yang belum terlihat keefektifannya dalam merebut dan menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Di samping itu, perintah gencatan senjata dan pelarangan tindakan sewenang-wenang terhadap penduduk sipil yang tercantum dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB ini pun hanya ditujukan secara sepihak kepada rezim Qadafi semata. Perintah yang sama tidak ditujukan kepada kaum oposisi meskipun tindakan sewenang-wenang dari kaum oposisi terhadap penduduk sipil pun dimungkinkan bisa berasal dari kaum oposisi/pemberontak.

Ketiga, berkaitan dengan pelaksanaan humanitarian intervention. Dalam kasus Libya, penerbitan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973/2011 juga mengatasnamakan humanitarian intervention, untuk melindungi rakyat sipil dari tindakan sewenang-wenang pemerintahan Qadafi. Akan tetapi, apabila kita menelisik isi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973/2011 ini, tidak ada satu poin pun yang menyebutkan secara tegas tujuan perlindungannya untuk rakyat sipil.

Resolusi ini lebih menekankan pada tindakan pengurangan kekuatan rezim Qadafi di bidang militer (perintah gencatan senjata, penerapan no-fly zone, dan embargo senjata) dan ekonomi (pembekuan aset-aset rezim Qadafi). Anehnya, mengapa inisiatif humanitarian intervention dari Dewan Keamanan PBB tidak muncul untuk kasus genosida di Kongo ataupun di Kosovo, tetapi dengan cepat muncul untuk kasus di Kuwait, Irak, juga Libya? Dalam hal ini, standar ganda tampak nyata dalam penerapan hukum internasional.

Motif minyak, bukan demokrasi
Dari beberapa poin di atas dapatlah dilihat bahwa tujuan dikeluarkannya resolusi ini bukanlah semata-mata untuk melindungi rakyat sipil, akan tetapi lebih pada keinginan suatu kelompok negara untuk menggulingkan rezim yang tidak sejalan dengan kepentingan kelompok negara yang bersangkutan.

Mengingat bahwa Libya merupakan salah satu dari sepuluh negara terkaya pemroduksi minyak bumi, resolusi ini lebih kepada demi mengisi pundi kekayaan pihak-pihak tertentu. Selain itu, pengeluaran Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973/2011 ini dikhawatirkan bukannya menyelesaikan permasalahan internal Libya, melainkan malah memperkeruh situasi yang sudah ada.

Oleh karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk berani bersikap kritis atas tindakan (kelompok) negara tertentu dengan mengatasnamakan kemanusiaan. Sudah saatnya Indonesia berani berperan aktif dalam mengawal penerapan hukum internasional yang sebenar-benarnya demi kemaslahatan bersama, agar hukum internasional tidak semata-mata dipakai sebagai apologia bagi kepentingan pihak-pihak tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar