Selasa, 01 Maret 2011

Keprimitifan Qadafi

Zaim Uchrowi

Roma, setahun silam. Ratusan perempuan dari berbagai kalangan mendadak mendapat undangan. Katanya, mereka diajak berpesta bersama Muamar Qadafi. Siapa yang mau melewatkan undangan seperti itu? Berpesta, bertemu 'presiden' kaya, dan diming-imingi hadiah uang pula.

Gebyar pesta yang mereka bayangkan itu tidak ada. Yang mereka temui hanya orang yang membagikan Alquran pada para tamu. Lalu, Qadafi muncul sebentar, berpidato dalam bahasa Arab yang diterjemahkan. Sang pemimpin mengajak mereka memeluk Islam. Acara pun selesai. Para perempuan dengan pakaian pesta itu pun terhenyak.

Itu potret kecil sosok Qadafi. Seorang yang mengundang kagum dengan gaya sederhananya: suka tinggal di tenda dan tak mau menaikkan pangkat 'kolonelnya'. Di sisi lain, seperti disebut seorang bekas pelajar Indonesia di Libya, ia juga salah satu dari tiga pemimpin Dunia Islam 'paling mengerikan' pada akhir abad 20. Lainnya adalah Saddam Husein dan Hafez Assad. Setidaknya, itu yang dituturkan seorang pelajar Indonesia di Libya sembilan tahun silam.

Di Irak, Libya, dan Suriah pada masa itu jangan pernah mengkritik pemerintah bahkan dalam percakapan pribadi sekalipun. Sahabat atau saudara bisa melaporkannya ke polisi. Menjadi mata-mata adalah jalan termudah mendapat uang karena pekerjaan susah. Tak sedikit ulama yang lenyap bersama seluruh keluarganya. Pelajar itu pernah ditangkap polisi, ditahan, serta disiksa untuk alasan yang tak jelas.

Wajah buram Libya terlihat jelas di Tripoli saat saya berkunjung beberapa tahun lalu. Aroma kemiskinan sangat kuat. Di sisi lain, pada sejumlah kalangan, perilaku hedonis berkembang luar biasa. Kebut-kebutan motor besar yang memekakkan sejumlah ruas jalan terjadi hampir saban malam. Kerja? Selain para pedagang pasar dan petani, etos bangsa itu menyedihkan.

Libya, di balik nama besarnya, masih sangat tradisional bahkan primitif dalam model kepemimpinannya, serupa dengan banyak negara Arab lain yang tampak kaya raya.
Padahal, 14 abad silam, peradaban Arab sudah lebih maju. Rasul mengajar agama bukan buat memberi iming-imingi surga. Agama buat mengubah dan membangun peradaban yang umumnya tumbuh melalui empat anak tangga: primitif, tradisional, modern, dan madani. Rasul mentransformasi peradaban primitif-tradisional tak cuma ke modern, tetapi langsung ke jenjang madani.

Jejak peradaban madani itu kini seperti tak berbekas. Yang tersisa tinggal formalitas dan ritual agamanya. Peradaban Arab umumnya masih sangat tradisional, kadang bahkan primitif. Itu yang membuat mereka, yang kaya raya, tak mampu menyejahterakan seluruh warganya sendiri, apalagi para tetangganya. Kehidupan bangsa-bangsa terdekat dengan Arab, seperti Somalia, Eritrea, Jibouti, bahkan Sudan sangat memprihatinkan. Justru Barat, bahkan Israel, yang memperoleh kemakmuran besar dari kekayaan Arab.

Bukan cuma Ka'bah yang menjadi kiblat umat Islam di Indonesia, melainkan ketradisionalan Arab pun ikut dikiblati. Itu menjelaskan mengapa wajah Islam di Indonesia seperti yang ada sekarang. Model kepemimpinan umat oleh kebanyakan ustaz, kiai, dan para habib saat ini masih serupa dengan beberapa abad lampau. Kultur 'ormas dan partai Islam' pun tetap tradisional, jauh dari peradaban madani. Dalam iklim begitu, fenomena 'sesat' macam Ahmadiyah dan radikalisme beragama akan menguat. Bangsa dan umat pun tak kunjung sejahtera dan bermartabat.

Persoalan Libya, seperti juga Tunisia dan Mesir bukan cuma persoalan mereka. Itu cuma puncak gunung es ketradisionalan peradaban Islam dunia. Cara primitif Qadafi menangani pemrotes kian memperjelas bahwa umat harus segera melompat keluar dari peradaban tradisional menuju peradaban madani. Syaiful Islam, anak Qadafi, berkemampuan melakukan itu. Kapasitasnya jauh di atas anak-anak pemimpin negara Arab lain. Bila ia berkesempatan memimpin, Libya akan lebih baik. Mungkin juga dapat menginspirasi Arab untuk membangun peradaban madani. Setidaknya, ia tak akan menceramahi agama para perempuan Roma yang ingin pesta seperti bapaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar