Jumat, 11 Maret 2011

Radio Kita, Kini dan Nanti

Oleh Rohmad Hadiwijoyo
Anggota PRSSNI

Salah satu tonggak penting perkembangan radio siaran di Indonesia adalah terbitnya surat edaran No 134/SK/MENPEN/1998 pada 5 Juni 1998. Surat ini berisi pengurangan kewajiban relay siaran berita RRI, radio swasta boleh membuat dan menyiarkan berita, boleh relay siaran radio asing, serta penggunaan bahasa siaran sesuai segmen pendengar masing-masing.

SE tersebut telah menjadi nyawa baru bagi radio swasta nasional sekaligus senjata baru untuk bersaing dengan media publik lainnya. Sejak itu, perkembangan radio nasional menjadi beragam, tidak semata radio hiburan, tapi juga hiburan plus berita (mix radio), dan bahkan tidak sedikit yang mengkhususkan sebagai radio berita (news radio).

Namun harus diakui, perkembangan media publik lainnya jauh lebih pesat sejalan dengan perkembangan teknologi informasi. Jika dulu radio adalah satu-satunya media yang bisa mengubah paradigma berita dari “peristiwa yang telah terjadi” menjadi “peristiwa yang sedang terjadi”, kini televisi dan internet lebih mampu menerjemahkan paradigma baru itu secara lebih baik dan menjawab ekspektasi publik.

Ketika pada 26 November 2008 teroris menembaki ratusan orang di Mumbai, publik seantero dunia mendapat info real time dari tangan pertama melalui Twitter. Pada perkembangannya, televisi dan media sosial semacam Twitter dan Facebook lebih bisa memenuhi idealitas fungsi media sebagai agent of change. Media-media itulah yang berperan di balik gerakan Koin Untuk Prita, dan yang paling fenomenal Revolusi Jasmin di Tunisia dan Revolusi Jumat di Mesir.

Pertumbuhan pesat media nonradio dari segi jumlah, teknologi, dan daya pikat terhadap publik pada gilirannya telah menekan jangkauan dan jumlah pendengar radio. Data Nielsen yang dilansir situs resmi Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) menyatakan, radio reach/radio listenership memperlihatkan kecenderungan menurun dari tahun ke tahun. Pada 2004, angkanya masih di atas 70 persen, tapi pada penelitian Wave 4 pada 2007, rata-rata pendengar radio di tujuh kota besar di Indonesia tinggal 56 persen. Time spent listening tidak banyak berubah-20 jam dalam seminggu, atau rata-rata tiga jam per hari.

Runyamnya, hal itu juga berimbas secara langsung pada iklan yang menjadi nyawa radio komersial. Total belanja iklan di media sepanjang 2009 mencapai Rp 48,5 triliun, tertinggi masuk di media televisi dan cetak. Dari jumlah itu, yang masuk ke radio baru Rp 635 miliar atau 1,3 persen, masih jauh di bawah rasio rata-rata iklan radio internasional 7,8 persen.

Kompetisi
Situasi tersebut ternyata tidak membuat bisnis radio surut. Tren yang ada menunjukkan telah terjadi semacam revolusi kepemilikan radio. Jika sampai tahun 90-an radio lebih banyak dibangun oleh individu semata karena hobi, atau oleh lembaga nirlaba untuk misi tertentu, kini pendirian radio lebih dipicu oleh motif bisnis. Yang tertarik untuk berinvestasi di bisnis ini adalah pengusaha skala besar, baik pengusaha media maupun nonmedia.

Hal itu telah mengantarkan radio di Indonesia sampai pada kondisi yang diistilahkan sebagai 3C, yaitu competition, consolidation, dan control. Radio dituntut berkompetisi dengan media publik lain, juga dengan sesama radio. Kompetisi yang ketat menyebabkan banyak pengelola memilih untuk konsolidasi. Hal itu ditandai dengan makin berkembangnya radio jaringan dan tumbuhnya grup bisnis yang menguasai banyak radio sekaligus. Jumlah radio yang kuat dan sehat secara bisnis makin banyak, tapi jumlah pemilik makin sedikit.

Pada gilirannya, hal itu melahirkan isu baru, yaitu kontrol terhadap isi siaran. Dalam kaitan berita, kontrol bisa berwujud penyeragaman informasi. Dalam konteks budaya, bisa bermakna penyeragaman gaya hidup, selera, dan nilai-nilai.

Dalam situasi seperti itu, bagaimana PRSSNI mengembangkan peran? Saya ingin fokus pada isu kompetisi, karena lebih dekat dengan tema Munas XIII PRSSNI, 8-10 Maret 2011, yaitu “Membangun Organisasi yang Berdaya Guna Bagi Industri”.

Karakteristik radio sebagai media publik sangat spesifik, yaitu hanya menjual suara. Ini adalah keterbatasan, namun bisa pula merupakan kekuatan. Kunci utama untuk bisa mengubah keterbatasan menjadi kekuatan ada pada dua hal, yaitu teknologi dan kualitas siaran.

Teknologi penyiaran telah berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Insan radio dituntut mampu memanfaatkan perkembangan tersebut untuk menjaga daya saing terhadap media publik lainnya. Dalam kaitan ini, saya menyambut baik kerja sama PRSSNI dan PT Telkom Tbk untuk memanfaatkan teknologi Radio 2.0. Ini adalah teknologi temuan anak negeri yang memungkinkan siaran radio bisa menjangkau pendengar lebih luas, real time, dalam format analog atau digital, internet, dan mobile.

Penerapan teknologi ini diharapkan meningkatkan kue iklan hingga mencapai 6-7 persen pada lima tahun mendatang. Lebih dari itu, dengan Radio 2.0, pekerjaan broadcaster lebih mudah dan sederhana sehingga mereka bisa lebih fokus pada kualitas isi siaran.

Kualitas siaran menjadi faktor kedua yang menentukan posisi radio dalam peta persaingan media. Kualitas adalah hasil kerja kreatif dan inovatif. Dua hal itu sejatinya bukan sesuatu yang asing bagi para broadcaster. Sebab, seorang penyiar yang baik tidak akan menggunakan logika awam, yaitu logika mengikuti dan meniru apa yang sedang menjadi tren. Real broadcaster selalu bisa menemukan sesuatu yang baru dan mengolahnya menjadi materi siaran yang menarik dan memikat pendengar.

Itulah yang ditekankan oleh pakar media dan periklanan Amerika Serikat, Rob Allyn, pada Asia Pacific Media Forum di Nusa Dua, tahun lalu. Ia membantah prediksi bahwa media konvensional, yaitu koran, televisi, dan radio, akan gulung tikar dengan hadirnya media baru berbasis teknologi informasi, yaitu internet, telepon seluler, dan media sosial. Media konvensional akan tetap diperhitungkan asalkan mampu terus mengembangkan kreativitas dan inovasi untuk menjawab kebutuhan masyarakat. “Contain is the king,” kata Rob Allyn.

Kreativitas akan membuka peluang bisnis, termasuk pangsa iklan baru. Sekadar contoh, dunia kini tengah dihadapkan pada isu-isu lingkungan terkait dengan global warming. Kepedulian terhadap isu ini bukan monopoli pemerintah, melainkan dunia usaha. Itulah sebabnya, Paul Krugman menyebut sekarang merupakan era bisnis global warming. Broadcaster andal akan menerjemahkan isu ini dalam paket-paket program yang bisa mendulang iklan.

Munas XIII PRSSNI diharapkan mampu merespons beragam tantangan yang dihadapi para anggota, internal maupun eksternal, sekaligus memberi panduan agar tantangan itu berubah menjadi peluang. PRSSNI harus menjadi melting pot, tempat menimba kreativitas dan saling berbagi-sharing idea, sharing experiences, dan sharing excellences.

Pareto era persaingan adalah kita tidak bisa menjadi besar dan kuat sendiri. Kita akan menjadi besar dan kuat karena sinergi, dan PRSSNI adalah wadah untuk itu. Selamat bermusyawarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar