Senin, 14 Maret 2011

infak vs Zakat vs Sedekah

"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" (Q.S. Al-Baqarah 2:195)

"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia; dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (Q.S.Al Hasyr 59:7)

Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.

Setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (at-Taubah: 103, dan ar-Rum: 39).

Persyaratan harta yang wajib dizakatkan itu:
1. Harta itu dikuasai secara penuh dan dimiliki secara sah, yang didapat dari usaha, bekerja, warisan, atau pemberian yang sah, dimungkinkan untuk dipergunakan, diambil manfaatnya, atau kemudian disimpan. Di luar itu, seperti hasil korupsi, kolusi, suap, atau perbuatan tercela lainnya, tidak sah dan tak akan diterima zakatnya. HR Muslim, Rasulullah bersabda bahwa Allah SWT tidak akan menerima zakat/sedekah dari harta yang ghulul (didapatkan dengan cara batil).

2. Harta yang berkembang jika diusahakan atau memiliki potensi untuk berkembang, misalnya harta perdagangan, peternakan, pertanian, deposito mudharabah, usaha bersama, obligasi, dan lain sebagainya.

3. Telah mencapai nisab, harta itu telah mencapai ukuran tertentu. Misalnya, untuk hasil pertanian telah mencapai jumlah 653 kg, emas/perak telah senilai 85 gram emas, perdagangan telah mencapai nilai 85 gram emas, peternakan sapi telah mencapai 30 ekor, dan sebagainya.

4. Telah melebihi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarganya yang menjadi tanggungan nya untuk kelangsungan hidupnya.

5. Telah mencapai satu tahun (haul) untuk harta-harta tertentu, misalnya perdagangan. Akan tetapi, untuk tanaman dikeluarkan zakatnya pada saat memanennya (Q.S. Al-An'am: 141).

Perbedaan antara infak, zakat dan sedekah :
Infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.

Jika zakat ada nisabnya, infak tidak mengenal nisab. Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf) maka infak boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk kedua orangtua, anak yatim, dan sebagainya (Q.S. Al-Baqarah: 215).

Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (Q.S Ali Imran: 134).

Pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang
bersifat non materiil.

HR Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-isteri, dan melakukan
kegiatan amar ma'ruf nahi munkar adalah sedekah.

Seringkali kata-kata sedekah dipergunakan dalam Al Qur'an, tetapi maksud sesungguhnya adalah zakat, (Q.S At-Taubah: 60 dan 103).

Jika seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat dianjurkan sekali untuk berinfak atau bersedekah.

Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa (al-Baqarah: 3 dan Ali Imran: 134), ciri mukmin yang sungguh-sungguh imannya (al-Anfal: 3-4), ciri mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (al-Faathir: 29). Berinfak akan melipatgandakan pahala di sisi Allah (al-Baqarah: 262).

"Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur'an, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Q.S.Al An'am 6: 55)

-------------
Sumber: Panduan Praktis tentang Zakat, Infak, Sedekah.
oleh : drs. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc.  
http://www.dudung.net/artikel-islami/infak-vs-zakat-vs-sedekah.html

M. Shiddiq al-Jawi
Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an namaa`) atau “pensucian” (at tath-hiir). Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan  pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah) (Zallum, 1983 : 147).
Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.
Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) –karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Ramadhan–, adalah termasuk infaq.  Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan– bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah,  tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus,  1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’   atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’:
“Al wasilatu ilal haram haram”
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :  
“Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah–  bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 :  148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang  fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat.  Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha”  (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’).  Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika  Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”)  beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah.  Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).
Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan :
“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”
“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya.  Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103) 
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah (Ibnu Katsir, 1989 : 400). As Sayyid As Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah Juz I (1992 : 277) juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’. [ Muhammad Shiddiq Al Jawi ]
REFERENSI
An Nabhani, Taqiyyudin. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III. tp. Al Quds. Cet. II. 1953
An Nabhani, Taqiyyudin. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Darul Ummah. Beirut cetakan IV, 1990
An Nabhani, Taqiyyudin. Muqaddimah Dustur. tp. t-tp. 1963
An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII.  Darul Fikr. Beirut. 1982
As Sabiq, As Sayyid. Fiqhus Sunnah Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992.
Az Zaibari, Amir Sa’id. Kiat Menjadi  Pakar Fiqih. Gema Risalah Press. Bandung. 1998
Az Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996
Ibnu Katsir. Tafsir al Qur`an Al Azhim Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989  
Ulwan, Abdullah Nasih. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
Usman, Muhlish. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta.  cetakan  I. 1996
Yunus, Mahmud. Al Fiqhul Wadhih  Juz II. Maktabah As Sa’diyah Putra. Padang. 1936
Zallum, Abdul Qadim. Al Amwal fi Daulatil Khilafah. Darul Ilmi lil Malayin. Beirut.  cetakan I, 1983


http://www.jurnal-ekonomi.org/2003/12/31/definisi-infaq-shadaqah-dan-zakat/

Infaq dan shadaqah adalah suatu ibadah sunnah yang di utamakan oleh Allah SWT. Infaq dianggap sebagai bentuk tanda bakti kita kepada Allah. Hal ini berarti bahwa dengan berinfaq maka bakti kita kepada Allah SWT, menjadi sempurna.
Firman Allah : ( Ali Imron ayat 92 )



Artinya :
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Program pancahasta dibuat untuk digunakan sebagai media atau wadah kita sebagai umat muslim untuk menyalurkan infaq atau sadakah. Yang akan di pergunakan oleh umat muslim yang lain di jalan Allah, khususnya dalam hal digunakan untuk ibadah haji. Sesuai dengan namanya program pancahasta adalah program saling transfer antara orang-orang yang ingin menunaikan ibadah haji. Pancahasta penguyuban calon haji saling transfer sesama umat muslim.

Rasulullah memberikan sabda kepada kaum muslimin mengenai infaq, yang menyatakan dengan jelas betapa perlunya kita berinfaq kerena akan memberi pertolongan kita di hari kiamat.

Sabda Rasulullah :

Innamaa yastazillul mu’minu yaumalkiyamati fii zilli shodakatihi

Artinnya :
Bahwasanya orang yang beriman itu berlindung di hari kiamat hanya dibawah lingkungan shadaqahnya. ( HR Thabrani )

Mengenai shadaqah Allah SWT akan menjanjikan pahala yang berlipat ganda sesuai dengan firman Allah SWT melalui surat Al-Baqarah ayat 261

Artinya :
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Program pancahasta adalah media kita dalam berinfaq, dan infaq yang diberikan digunakan dijalan Allah. Karena program ini adalah infaq untuk orang yang menunaikan ibadah haji. Insya Allah program pancahasta bentuk amal ibadah dijalan Allah. Dan langkah anda untuk bergabung dan infaq di jalan Allah ini akan di ridoi Nya. Apabila anda sudah berinfaq berarti insya Allah anda sudah mendapat pahala walaupun anda belum menerima dana infaq. Anda hanya cukup mengajak 5 donatur lain untuk bergabung di program pancahasta. Dan mereka ke 5 donatur tersebut sudah menyalurkan infaq langsung ke rekening anda.

Apabila setelah melakukan kegiatan infaq, anggota program pancahasta mau mengembangkan program ini dan mengajak orang lain berinfaq sesuai dengan petunjuk pelaksanaan program pancahasta, maka Insya Allah dana yang digunakan dalam berinfaq akan kembali berlipat ganda sesuai dengan keberhasilan masing-masing?

Apabila anda berhasil mengembangkan program pancahasta secara 100 % maka sungguh besar dana yang dapat anda gunakan, dan akan terkumpul dana 39 juta / keikutsertaan. Cukup untuk biaya ONH anda.
Oleh karena itu program pancahasta adalah solusi ONH bagi anda yang mengembangkannya.
Awalnya anda berinfaq kepada 4 orang melalui petunjuk dan tata cara program pancahasta. Pada tahap ini anda harus ikhlas memberikan infaq semata-mata atas dasar meminta keridoan Allah SWT. Sesuai dengan surat Al-baqarah ayat 261. anda harus meyakini isi surat Al-Baqarah ayat 261 ini dengan sedalam-dalamnya. Kerena ayat ini benar adanya.

Selanjutnya nama anda akan dimasukkan kedalam tabel orang menerima infaq dalam 5 formulir pedaftaran yang akan anda terima. Pada periode ini anda sudah terdaftar dalam tabel daftar haji penerima infaq, artinya anda siap menjadi aseptor/ penerima. dana infaq. kemudian anda diharapkan untuk mengembangkan program pancahasta kepada saudara-saudara anda. Mulai saat ini anda akan menerima infaq Rp. 50.000,- / orang donator yang anda rekrut secara estafet tersebut. infaq masuk langsung kerekening anda sampai total 780 orang. Jika anda berhasil mencari 5 donatur baru, maka nilai uang yang anda salurkan melalui infaq anda sebelumnya sudah kembali ke rekening anda.
Firman Allah dalam surah Al-maidah ayat 2 :



Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-y, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Beritahukan kebaikan manfaat program pancahasta kepada teman saudara sahabat dan keluarga anda, ajak mereka untuk berinfaq dan membelanjakan harta mereka di jalan Allah. Ajak mereka untuk menjadi donator program pancahasta. Dalam berifaq donator yang anda rekrut walaupun mereka saudara anda, dilarang memberi infaq secara cash langsung ke anda tanpa melalui rekening bank. Boleh melalui struk ATM

UNTUK MEMBUKTIKAN KEPADA KHALAYAK UMUM. SISTEM YANG ADA DI PROGRAM PANCAHASTA fair play DILARANG MEMBERI INFAQ SECARA CASH ATAU LANGSUNG KE ORANG TANPA MELALUI INSTITUSI BANK

Anda bisa setor langsung ke bank yang sama dengan bank penerima dana infaq anda. Anda juga bisa transfer melalui bank anda jika berbeda bank, atau anda bisa transfer melalui ATM anda kepada 4 orang aseptor dana infaq anda dan biaya administrasi atas brosur dan 5 formulir yang akan anda terima setelah anda mengirim formulir pendaftaran donator anda ke COLLECT POINT masing masing sesuai formulir pendaftaran yang anda terima anda.

Anda cukup mengajak 5 orang secara langsung berifaq, kemudian pada gilirannya orang yang anda ajak masing-masing mengajak orang berinfaq dan seterusnya secara estafet, sampai dengan empat tingkat nama anda masih tetap berada di table daftar orang-orang yang mendapat infaq.

Jika anda berhasil mencari 5 donatur baru, maka nilai uang yang anda salurkan melalui infaq anda sebelumnya sudah kembali ke rekening anda.

Apabila keberhasilan anda dalam mengembangkan program pancahasta 100% maka anda akan menerima infaq dari 780 orang, dengan demikian anda akan mendapatakan 780 X Rp. 50.000,- = Rp. 39.000.000,-ke 780 orang tersebut menyalurkan atau mentransferkan dananya langsung pada rekening anda. Dari hasil 39 juta kelak yang anda peroleh apabila anda sudah sukses 100% dalam mengembangkan program pancahasta .

Kami pengelola program pancahasta hanya memungut biaya administrasi dari anda sebesar
Rp. 50.000,- sepanjang perjalanan kesuksesan anda dalam satu paket keikutsertaan anda di dalam program pancahasta.

Janji Allah dalam firmannya di surah Al-Baqarah ayat 261 adalah benar adanya. Allah SWT akan melipat gandakan pahala dari orang-orang yang berinfaq.
Ingat sabda Rasullulah :

Taajjaluulhajja-ya’nilfariidata- fainna ahadakum laa yadri maa yafardalahu.

Artinnya :
Segeralah melakukan ibadah haji yakni wajib sebab kamu sekalian tidak tahu apa yang akan terjadi ( HR Ahmad dan Baihaqi )

http://pancahasta-hikmahinfaq.blogspot.com/

Urgensi dan Hikmah ZIS
Oleh: admin
March 23, 2010

Urgensi dan Hikmah ZIS
Zakat, Infaq dan Shadaqah merupakan satu paket kegiatan ibadah dalam rangka mensucikan harta dan jiwa setiap muslim yang taat terhadap ajaran I
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan ( Qaradhawi : Fiquzh Zakat), baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan ekonomi umat.
Infaq berarti mengeluarkan sebagian harta untuk kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Jika zakat ada nisabnya, infaq tak mengenal Nishab. Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit (Qs. Ali Imran : 134). Infaq boleh diberikan kepada siapapun, misalnya untuk kedua orang tua, anak yatim dan sebagainya. (QS. 2: 215)
Sedangkan Shadaqah jika ditinjau dari segi terminologi syari’at, pengertian shadaqah sama dengan infaq termasuk juga ketentuan dan hukumnya. Hanya saja, shadaqah memiliki arti luas, tak hanya menyangkut hal uang namun juga yang bersifat non materiil.
Hadits Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan bahwa jika tak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.
Adapun urgensi Zakat, infaq dan Shadaqah adalah:
1. Indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam (QS. 9: 5 & 11)
2. Ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan (QS. 23:4)
3. Mendapatkan pertolongan-Nya (QS. 9: 71 dan Qs. 22: 40-41)
4. Memperhatikan hak fakir dan Miskin serta para mustahik lainnya. (QS. 9: 60)
5. Membersihkan diri dan hartanya, menyuburkan, mengembangkan dan mensucikan jiwanya (QS. 9: 103 dan QS. 30: 39)
Sebaliknya Al Qur’an dan hadits memberikan peringatan keras terhadap orang yang enggan mengeluarkannya :
1. Berhak untuk diperangi (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
2. Harta bendanya hancur dan rusak (HR. Imam Bazzar dan Baihaqi)
3. Jika keengganan itu telah memassal, maka Allah SWT akan menurunkan azab-Nya dalam bentuk kemarau panjang (HR. Imam Thabrani)
4. Di akhirat nanti harta benda yang tidak dikeluarkan zakatnya akan berubah menjadi azab bagi pemiliknya (Qs. 9: 34-35 dan HR. Imam Muslim)
Abdullah bin Mas’ud menyatakan bahwa barang siapa yang melaksanakan shalat tetapi enggan melaksanakan zakat, maka tidak ada shalat baginya. Adapun hikmah Zakat, Infaq dan Shadaqah antara lain :
1. Menolong, membantu dan membina kaum dhuafa maupun mustahik ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, terhindar dari bahaya kekufuran, memberantas sifat iri, dengki dan hasad ketika melihat orang kaya yang berkecukupan tidak mempedulikannya.
2. Perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat, menumbuhkan akhlak mulia, ketenangan hidup sekaligus mengembangkan harta yang dimilikinya.
http://www.139center.unpad.ac.id/?p=55

by Nana Sudiana on Monday, August 2, 2010 at 4:54pm

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh….
Sahabat, minggu depan kita sudah memasuki bulan suci Ramadhan 1431 Hijriah, alhamdulillah…semoga kita semua diberikan panjang umur sampai di bulan Ramadhon tahun ini dan dapat melaksanakan ibadah puasa wajib sebulan penuh. Amiiin.
Salah satu keutamaan ibadah di bulan suci Ramadhon, selain melaksanakan ibadah shaum, kita diwajibkan pula untuk membayar Zakat (khususnya yag memakai HAUL setahun sekali sesuai tahun Hijriah – dari Ramadhon ke Ramadhon) plus Infaq, sadakoh dan wakaf (sukarela). Mengingat manusia tempatnya lupa dan semakin banyaknya FRIENDS saya di facebook ini, ada baiknya saya turunkan ulang catatan HIKMAH ZAKAT ini, semoga kita yang sudah cukup NISHAB-nya dapat melaksanakannya di bulan suci Ramadhon, yang insyaAllah pahalanya dilipat-gandakan. Amin Yaa Mujibas sa-iliiin.
Saya tidak lupa pula memohon dibukakan pintu maaf selebar-lebarnya, manakala terdapat kesalahan dan kekhilafan baik yang disengaja maupun tidak, baik yang zahir maupun yang batin.
Wassalamu’alaikum Waramatullahi Wabarakatuuh…
Kita mengetahui bahwa Zakat adalah salah satu bagian dari rukun Islam yang lima, yang terkait dengan harta kekayaan. Kalau kita boleh membagi ibadah kepada tiga kelompok ; Pertama adalah ibadah jasmaniyah, ini dapat dikerjakan oleh semua orang. Kedua, ibadah maaliyah, ibadah yang terkait dengan harta kekayaan. Ini tidak bisa dilakukan oleh semua orang, tetapi bisa dilaksanakan oleh orang yang berharta untuk disalurkan kepada orang yang miskin. Ketiga, gabungan dari keduanya, yakni mempunyai fisik yang kuat dan sehat dan kantong yang cukup tebal juga, misalnya menunaikan ibadah haji.
Kata (term) Zakat dinyatakan dalam Al-Qur’an puluhan kali, yang sebagian di antaranya disebut bersamaan dengan perintah shalat. Jadi perintah menunaikan Sholat dan Zakat dari Allah Azza Wa Jalla kepada seorang muslim, laksana perintah yang “kembar” atau laksana 2 sisi dari sebuah mata uang yang tak terpisahkan untuk mengukur nilai keimanan dan ketaqwaan seorang muslim. Tidaklah sempurna iman dan ketaqwaan seorang muslim yang tekun beribadah shalat (hablumminallah saja), namun mengabaikan perintah menunaikan zakat yang sangat besar manfaatnya untuk kemaslahatan ummat (hablumminannas).
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43)
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapa pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 110)
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mu’min, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Qur’an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” (QS. An-Nisaa’: 162)
“Sesungguhnya Aku beserta kamu, seseungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan mengahapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Ku-masukkan kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir diantaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus” (QS. Al-Maaidah: 12)
“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman:”Siksaku akan Ku-timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (QS. Al-A’raaf: 156)
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At-Taubah: 11)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Allah yang mewajibkan kita menunaikan zakat.
Secara etimologis zakat memiliki banyak arti yaitu bersih, baik, berkah, bertambah, suci, tumbuh, tanpa cacat dan terpuji. Zakat dalam pengertian etimologis ini digunakan baik oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Sedangkan menurut istilah fiqih zakat didefinisikan dengan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT untuk diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) dengan beberapa syarat yang ditentukan. Oleh sebab itu, melaksanakan kewajiban membayar Zakat plus ber-Infaq dan ber-Shadaqoh menjadi suatu keharusan bagi seorang muslim untuk memantapkan kriteria bagi dirinya agar selalu berada pada jalan yang lurus, Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah Ayat 277, yang artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Secara umum zakat dapat dikelompokan ke dalam dua golongan besar, yaitu:
1. Zakat Harta (al-maal), misalnya zakat emas, perak, hewan ternak, hasil tumbuh-tumbuhan (termasuk biji-bijian), harta perniagaan, stock barang dagangan, hasil tambang, penemuan harta terpendam. Di zaman sekarang, simpanan kekayaan dalam bentuk saham, deposito, tabungan, reksadana, emas batangan, bahkan penghasilan tetap (zakat profesi) wajib ditunaikan zakatnya.
2. Zakat diri / per-kapita (al-nafs) yang di Indonesia populer dengan sebutan Zakat Fitrah, bagi setiap pribadi muslim dari bayi baru lahir (sebelum Idul Fitri) sampai orang tua jompo dan pembantu (hamba-sahaya) yang wajib ditunaikan zakatnya di bulan Ramadhan menjelang shalat Idul Fitri.
Pelaksanaan Zakat punya arti penting bagi seorang muslim agar ia tidak terlalu cinta kepada harta, meskipun harta itu dia sendiri yang mencarinya secara halal dan susah payah. Sikap cinta kepada harta memang merupakan salah satu sikap yang sangat sulit diatasi, hal itu karena sifat kikir telah mendarah daging pada diri suatu makhluk yang dinamakan manusia.
Allah berfirman dalam Surah Al-Ma’aarij Ayat 19-21 :
“Sesunguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.”
Bagi kita, yang terbaik adalah berupaya menghilangkan sikap kikir itu, sehingga kita memperoleh keuntungan hidup, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hasyr Ayat ke 9 yang memuji kebaikan dan kedermawanan kaum Anshar kepada kaum Muhajirin sebagai pendatang baru di Madinah:
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Sebaliknya bila seseorang tidak menunaikan zakat, maka ancaman dari Allah SWT amat mengerikan, sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Taubah Ayat ke 34 – 35 :
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat)siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu di dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka lalu dikatakan kepada mereka : “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari yang kamu simpan itu.”
Kalau perintah Zakat sedemikian ditekankan untuk kita laksanakan dalam kehidupan ini, itu menunjukkan ada banyak hikmah yang amat penting bagi diri kita maupun bagi muslim yang lain dalam arti manfaatnya akan bisa dirasakan oleh muslim lainnya, bahkan bagi pencapaian tegaknya nilai-nilai Islam di muka bumi pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya yang dewasa ini keadaannya sangat menyedihkan. Dalam kesempatan yang baik ini, kita bisa menyimpulkan sekurang-kurangnya ada minimal tujuh hikmah Zakat yang bisa diperoleh.
Pertama adalah membersihkan jiwa, ini berarti orang yang melaksanakannya akan bersih dari ikatan duniawi dan tersucikan dari noda dan dosa yang berkaitan dengan harta, Allah berfirman :
“Ambillah zakat dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka.Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS : At-Taubah Ayat 103).
Karena itu ibadah zakat ini merupakan cara mendidik rohani yang sangat efektip dan pelakunya bisa memperkokoh kedekatan dirinya dengan Allah SWT. bukan dengan harta yang dimilikinya.
Kedua yang merupakan hikmah zakat adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial. Persoalan umat sekarang ini terasa semakin besar dan sulit, salah satu sebabnya adalah semakin banyaknya masyarakat kita yang miskin, bahkan hidup dibawah garis kemiskinan. Desakan kebutuhan hidup karena kemiskinan dapat menimbulkan semakin terkikisnya keimanan dan taqwa. Rasulullah mengingatkan dalam salah satu hadits beliau : “Kefakiran itu cenderung mendekati kepada kekufuran”, maka tidaklah heran dalam kondisi krisis multi-dimensi dewasa ini, semakin banyak saja kasus-kasus kriminalitas yang terjadi, terpaksa menjual iman demi memperoleh makanan bagi anak dan isterinya. Bila saja kewajiban menunaikan zakat dilaksanakan dengan baik dan konsekuen, maka banyak persoalan umat dapat diatasi. Allah berfirman dalam Surah At-Takaatsur Ayat ke 1 – 3 ) :
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).”
Dengan adanya tanggung-jawab sosial yang besar, maka orang yang berkemampuan tidak segan-segan membantu dan menolong orang yang susah, fakir miskin dan golongan lemah lainnya.
Hikmah ketiga dari Zakat adalah memperkokoh kesempurnaan pribadi, hal ini karena, dengan zakat seorang muslim memberikan manfaat yang begitu besar bagi orang lain, sehingga dari segi ekonomi dan tanggung jawab sosial, seorang muzzaki (yang memberi zakat) sangat dirasakan manfaat keberadaannya oleh orang lain. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda :
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”.
Hikmah keempat dari zakat adalah menumbuhkan kesadaran dalam diri kita bahwa harta yang dicari dan dimiliki bukanlah tujuan akhir, tapi justru harta itu merupakan wasilah atau sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, bagi seorang muslim harta semestinya bukan faktor yang justru menyebabkan diri kita jauh dari Allah, tapi justru merupakan alat yang seyogyanya digunakan untuk lebih mendekatkan diri kita kepada Allah. Itulah yang terjadi pada diri Siti Khadijah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Usman Bin Affan dan lain-lain. Dengan harta yang berkecukupan tapi di-infak-kan di jalan Allah, seorang muslim akan memperoleh pahala yang begitu besar, sehingga hubungannya dengan Allah akan semakin dekat. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah Ayat 261 :
“Perumpamaan (nafkah yang dibelanjakan) orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat-gandakan (ganjaran)bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui”.
Kelima yang merupakan hikmah dari zakat adalah menumbuhkan sikap tawwakal atau berserah diri kepada Allah. Hal ini merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap insan muslim, apalagi dalam perjuangan menegakkan agama Allah. Seorang muzzaki yang sejati akan percaya sepenuh hati kepada Allah dan lebih mempercayai apapun yang ada pada Allah ketimbang yang ada pada dirinya sendiri. Secara lahiriah, harta orang yang ber-infaq memang berkurang, tapi pada hakikatnya orang yang berinfaq dengan penuh keikhlasan justru meyakini sebaliknya. Lain halnya dengan harta riba yang nampaknya bertambah namun pada hakikatnya justru meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan.
Allah berfirman :
“Dan sesuatu riba (tambahan)yang kamu berikan agar ia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)itulah orang-orang yang melipat-gandakan (pahalanya). (QS:Ar-Ruum : 39)
Keenam yang merupakan hikmah zakat adalah sarana untuk melahirkan dan memperkokoh masyarakat yang Marhamah, yang berdiri di atas prinsip Ukhuwah Islamiyah, sesuatu yang mutlak untuk diwujudkan bagi penegakkan nilai-nilai islami dalam kehidupan. Kesenjangan hubungan antara yang berkemampuan secara materi (harta) dengan orang-orang miskin perlu dijembatani. Bila tidak, maka ukhuwah yang sangat didambakan akan sangat sulit terwujud. Dengan menunaikan zakat, infaq dan shadaqah, Insya Allah kesenjangan sosial yang kian melebar dapat diatasi. Begitulah memang yang telah dicontohkan Rasulullah SAW di Al-Madinah Al-Munawaroh, beliau mempersaudarakan orang-orang Muhajirin (Makkah) dengan kaum Anshar (Madinah). Ini bukan berati yang miskin harus selalu bergantung kepada yang kaya, tapi yang kaya justru harus mampu mengangkat yang miskin ke derajat kehidupan yang lebih tinggi, hingga pada akhirnya si miskin bahkan mampu menjadi seorang muzzaki, bukan lagi menyandang predikat mustahik yang kekal abadi.
Hikmah ketujuh dari zakat juga adalah menumbuhkan dzikrul maut, atau ingat akan mati, hal ini karena perintah menunaikan zakat harus dilakukan se-segera mungkin bila sudah waktunya, jangan sampai ditunda-tunda. Bila pelaksanaannya ditunda-tunda, lalu kita sampai kepada ajalnya, maka yang timbul adalah penyesalan yang tiada terkira. Allah memperingatkan kita akan hal ini dalam salah satu firman-Nya :
“Dan belanjakanlah sebahagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang diantara kamu, lalu dia berkata : “Ya Tuhanku, mengapa engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh”. Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS : Al-Munaafiquun : 10-11).
Dari beberapa hadits diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah melakukan mi’raj dari Masjid Al Aqsa ke Sidratul Muntaha (bagian teratas dari langit yang ke 7), beliau melihat langsung ada segolongan orang-orang yang hanya bercelana dalam sedang memakan buah berduri dan menelan api neraka jahanam beserta batu-batunya yang merah membara. Ketika Rasulullah bertanya kepada Malaikat Jibril ihwal yang dilihatnya, Jibril menjawab bahwa itulah keadaan orang yang semasa hidupnya melalaikan kewajibannya membayar Zakat.
Kemudian siapa-siapa yang berhak menerima Zakat?
Menurut Surah At-Taubah Ayat 60, ada 8 (delapan) golongan manusia yang berhak menerima zakat, mereka adalah : Fakir, Miskin, Amil Zakat, Muallaf, Riqab (budak yang akan dimerdekakan), Gharim (orang yang banyak hutang), Sabilillah dan Ibnu Sabil(musafir yang kehabisan bekal).
Khusus mengenai golongan (ashnaf) Fi Sabilillah, kalangan ulama besar yang diakui eksistensinya di dunia Islam semacam Syaikh DR. Yusuf Qadrawi dari Mesir, memberikan pendapat bahwa di zaman sekarang Fi Sabilillah dapat diqiyaskan sama dengan perjuangan di jalan Allah yang tidak sekadar melakukan perang secara fisik, namun setiap amalan untuk melaksanakan dan mempertahankan dienul haq yaitu Islam dari serangan musuh-musuh Allah berupa “ghazwul fiqri” (perang pemikiran/perang kebudayaan) yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Itu memerlukan usaha dan biaya untuk meredam dan melawannya. Maka tidak mengapa bagian untuk Fi Sabilillah dipergunakan untuk hal demikian.
Bila kematian kita sudah sampai dan hal itu memang suatu kepastian, maka salah satu yang harus mampu kita pertanggung-jawabkan di hadapan Allah SWT. adalah soal harta, dari mana harta itu kita peroleh, bagaimana cara mendapatkannya, halal apa tidak, dan untuk apa saja harta itu dibelanjakan, untuk hal-hal yang dibenarkan atau sebaliknya. Dan yang terpenting apakah atas harta itu sudah ditunaikan zakatnya atau belum.
Kewajiban membayar zakat yang belum dilaksanakan tidak pula bisa hapus meskipun kita direnggut kematian sekalipun, bahkan hal ini berlaku bagi para syuhada yang mati menegakkan agama Allah (syahid), sebagaimana hadits yang diriwayatkan Muslim dan Ibn Umar “Semua dosa orang yang mati syahid diampuni, kecuali hutangnya.” Dan hutang zakat adalah hutang kepada Allah Azza Wa Jalla.
Akhirnya marilah kita berusaha meningkatkan iman dan taqwa kita termasuk melaksanakan perintah Allah SWT untuk menunaikan zakat, infaq dan shadaqah teruma di bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan maghfirah ini yang pada hakikatnya adalah untuk kepentingan kita pribadi untuk bisa meraih kebahagiaan dan kedamaian hidup baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti.
Semoga Amal Shalih dan amal jariyah yang telah ditunaikan oleh Bapak/Ibu akan mendapat balasan yang berlipat-ganda dan melimpah ruah dari Allah Azza Wa Jalla. Amin Yaa Robbal Alamiin.
Jatiwaringin, 12 Ramadhan, 1424 Hijriah.
(Kultum ba’da Sholat Tarawih yang dibawakan oleh H. Nana Sudiana selaku Ketua Panitia ZIS Masjid Jami’ Al-Abraar, Yayasan Hajran Jamilan – Jatiwaringin).

http://hsudiana.wordpress.com/2010/08/15/hikmah-zakat-pentingnya-zakat-infaq-shadaqah/

Hadiah diambil dari kata bahasa Arab, dan definisinya, pemberian seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan.

Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud, "Berhadiah-hadiahlah antara
kamu kerana dengan itu dapat menambahkan kasih sayang antara kamu." (Riwayat Tabrani)

Amalan memberi hadiah menjadi sunnah hidup dan terjadi di mana-mana sejak zaman dahulu hingga sekarang. Kita maksudkan hadiah di sini termasuklah sedekah, pemberian 'athiyyah dan seumpamanya.

Sebenarnya, amalan memberi hadiah memberi sumbangan yang positif dalam hubungan di antara individu dan individu seterusnya antara masyarakat dimana ia merupakan salah satu cara untuk mengeratkan silaturahim, bahkan ianya dapat meringankan beban mana-mana individu dan anggota masyarakat yang berhajat dan memerlukan bantuan. Dengan demikian hubungan dan jurang diantara orang yang berada dan orang yang tidak berada dapat dirapatkan.

Salman bin 'Amir r.a., Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: "Sedekah kepada golongan miskin, ganjarannya hanyalah sekadar pahala sedekah; sedangkan sedekah kepada mereka yang mempunyai hubungan silaturrahim terdapat dua ganjaran, iaitu pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan silaturrahim." (Hadis
riwayat al-Tirmizi)

Rasulullah SAW sangat menggalakkan sikap suka memberi, samada atas nama sedekah, hadiah, hibah atau sebarang bantuan dan pertolongan. Hal ini disebutkan dalam sabda baginda yang bermaksud, "Nabi SAW suatu hari keluar untuk mengerjakan sembahyang hari raya, lalu baginda bersembahyang dua rakaat. Dan baginda tidak pernah melakukan sembahyang (hari raya) sebelum ia
diperintahkan dan sekalipun selepasnya.

Kemudian baginda dan bersamanya Bilal pergi ke tempat sekumpulan perempuan dan menyuruh mereka agar bersedekah, maka (atas perintah itu) seorang perempuan menanggalkan gelang dan kalungnya untuk disedekahkan." (Hadis riwayat Al-Bukhari)

Sabda baginda lagi ketika di atas mimbar yang bermaksudnya: "Dan baginda menyebutkan tentang sedekah, menjaga kehormatan diri, dan tentang meminta-minta. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Maka tangan di atas itu adalah yang memberikan nafkah sedang tangan yang dibawah adalah yang meminta." (Hadis riwayat Al-Bukhari)

Perbezaan Di antara Sedekah, Hadiah Pemberian dan 'Athiyyah
Pemberian itu merangkumi sedekah, hadiah dan 'athiyyah yang mempunyai definisi atau maksud yang hampir sama, cuma yang membezakannya ialah tujuan si pemberi ketika menyampaikan pemberiannya itu. Jika pemberian itu dimaksudkan sebagai satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka ia adalah sedekah, jika ia dimaksudkan sebagai satu penghargaan, tanda kasih sayang atau pujian, maka ia disebut sebagai hadiah dan jika sebaliknya maka ia hanyalah satu pemberian biasa. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah: 26/324)

Sementara yang dikatakan sebagai 'athiyyah itu ada dua macam iaitu pemberian seseorang yang dalam keadaan maradh al-maut atau sakit yang membawa kematian disebut sebagai wasiat, dan 'athiyyah ketika masih hidup sama ada bentuk wakaf, hibah atau hadiah. (Al-Tahzib: 4/509)

Di dalam istilah syara' pula, pemberian itu bolehlah diertikan sebagai suatu perjanjian (aqad) yang memberikan kuasa pemilikan kepada seorang lain tanpa mengharapkan sebarang gantian atau pertukaran ('iwadh), pada ketika orang yang memberi itu masih hidup.

Hukum Memberi Hadiah

Menurut Ijmak ulama hukum segala jenis pemberian itu adalah sunat kerana pemberian itu suatu kebajikan, ketaatan, belas kasihan dan ia memberikan pengaruh yang positif di masyarakat; baik bagi yang memberi mahupun yang menerima. Di samping itu ia juga dapat menzahirkan sikap kasih sayang, mengeratkan hubungan persahabatan dan mengukuhkan tali persaudaraan sesama manusia.

Hal ini ada dijelaskan dalam Al-Qur'an, (Mughni Al-Muhtaj: 2/537)
sebagaimana firman Allah yang bermaksud, "Hendaklah kamu bertolong-tolong untuk membuat kebajikan dan bertaqwa." (Surah Al-Maidah, ayat 2)

Bagi yang memberi, itu sebagai cara melepaskan diri dari sifat bakhil. Saranan untuk saling menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai salah satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya kecemburuan dan kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan persatuan dengan sesama... TAPI hati-hati, hadiah tak boleh disamakan dengan suapan(rasuah)!

Galakkan Sikap Suka Memberi

Galakkan suka memberi itu juga ada disebutkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis-hadis baginda supaya umatnya sentiasa berkasih sayang sesama mereka.

Hal ini digambarkan oleh gaginda dalam sabdanya yang bermaksud, "Bersalam-salamlah kamu nescaya ia akan menghilangkan perasaan dengki (iri hati), dan beri-memberilah antara kamu, nescaya kamu akan saling cinta mencintai antara sesama kamu dan ia akan menghilangkan permusuhan." (Hadis riwayat Malik)

Sikap saling memberi juga melahirkan kasih sayang sekalipun pemberian itu kecil, kerana pemberian yang kecil atau sedikit bukanlah suatu kehinaan disisi Allah, bahkan ia akan tetap mendapat ganjaran pahala yang berlipat ganda daripada-Nya. Perkara yang penting bahawa pemberian itu hendaklah
dilakukan dengan ikhlas kerana ikhlas itu roh pemberian.

Pemberian yang tidak ikhlas dalam makna berpura-pura atau riya' adalah tidak berguna. Perkara pemberian walau kecil itu disebut melalui sabda baginda yang bermaksudnya: "Janganlah engkau menghina seorang jiran yang menghadiahkan kepada jirannya walaupun hanya dengan kuku kambing." (Hadis riwayat Muslim)

Kalau dianjurkan untuk dijadikan amalan masyarakat, kenapa tidak dimulakan dalam masyarakat yang lebih kecil, contohnya, mulakan di kalangan keluarga sendiri.

Rasulullah SAW amat menggalakkan amalan memberi hadiah dalam
rumahtangga kerana dengan cara ini, kasih akan bertambah kerana hadiah merupakan tanda kasih atau simbol kepada kasih sayang suami terhadap isteri. Seorang suami tidak perlu menunggu isterinya memberi hadiah, sebaliknya suami hendaklah melakukan amalan ini terlebih dahulu. Ini sesuai dengan jiwa wanita yang sukakan sesuatu yang halus dan menggembirakan emosinya.

Sketsa Rumahtangga Rasulullah

Daripada Ummu Kaltsum binti Abu Salamah, beliau berkata: "Ketika Nabi bernikah dengan Ummu Salamah, baginda bersabda kepadanya, 'Sesungguhnya aku pernah hendak memberi hadiah kepada Raja Najasyi sebuah pakaian berenda dan beberapa botol minyak kasturi, namun aku mengetahui ternyata Raja Najasyi meninggal dunia dan aku mengira hadiah itu akan dikembalikan. Jika hadiah
itu memang dikembalikan kepadaku, aku akan memberikannya kepadamu.

Beliau (Ummu Kultsum) berkata: Ternyata keadaan Raja Najasyi seperti yang disabdakan Rasulullah dan hadiah itu dikembalikan kepada baginda, lalu baginda memberikan kepada masing-masing isterinya satu botol minyak kasturi, sedang sisa minyak kasturi dan pakaian itu beliau berikan kepada Ummu Salamah." (Hadis riwayat Ahmad)

Rasulullah juga suka memberi hadiah kepada isteri-isteri baginda. Apabila pulang dari mana-mana perjalanan, baginda sering membawa pulang hadiah untuk isteri-isteri baginda. Pernah suatu ketika, baginda terlupa membawa pulang hadiah, baginda berpatah semula ke pekan lalu membelikan hadiah untuk isteri
baginda.

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a., "Pada suatu ketika Rasulullah menghadiahkan aku sebuah gelang yang amat cantik buatannya. Kemudiah aku bertanya kepada baginda, "Ya Rasulullah, siapakah di antara kami (isteri) yang paling kamu sayang?" Jawab Rasulullah, "Siapa yang ada gelang di lengannya." Keesokkan
harinya aku dapati kesemua isteri baginda memiliki gelang yang sama."

Kepentingan memberi hadiah

1. Simbol kasih suami terhadap isteri
2. Menggembirakan hati isteri
3. Mencetuskan rasa hormat dan taat dalam hati isteri terhadap suami
4. Mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.

Sabda Nabi,
"Hendaklah kalian saling memberi hadiah kerana hadiah itu dapat menwariskan rasa cinta dan membersihkan berbagai kekotoran hati/jiwa."

5. Mendatangkan rasa saling cinta-mencintai, menyatukan hati dan memunculkan kasih sayang.

Imam Tabrani meriwayatkan daripada Aisyah r.a. bahawa Rasulullah SAW bersabda, "Biasakanlah kamu saling memberi hadiah, nescaya kamu akan saling mencintai." Juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594.

Ibnu Hajar berkata, "Sanadnya shahih."

Melakukan kebaikan kepada isteri adalah sebahagian tanda Muslim sejati. Suami baik sedar bahawa dirinya menanggung amanah besar dalam soal menjaga kepentingan isteri.

Sabda Rasulullah saw bermaksud: "Orang yang baik di antara kamu ialah orang paling berlaku baik terhadap isterinya dan akulah orang paling baik terhadap isteri daripada kamu." (Hadis Riwayat at-Tarmizi).

Hadis lain Riwayat at-Tarmizi bermaksud: "Mukmin yang paling sempurna imannya ialah mukmin yang paling baik akhlaknya dan paling lemah lembut terhadap isterinya."
http://www.carigold.com/portal/forums/archive/index.php?t-73350.html

Umar bin Qais pernah mengungkapkan : “Bila engkau mendapatkan kesempatan berbuat baik, lakukanlah kebaikan itu meski sekali, niscaya engkau akan menjadi ahlinya.”
Aku menyelesaikan studiku di sebuah sekolah kesehatan setelah bersusah-payah. Aku sama sekali tidak fokus pada pelajaran. Namun Allah memudahkan juga jalanku untuk menyelesaikan kuliahku. Lalu aku ditempatkan di sebuah rumah sakit yang dekat dengan kotaku. Alhamdulillah, segala urusanku berjalan lancar, dan aku pun masih tetap bisa tinggal bersama kedua orang tuaku .. Aku berniat mengumpulkan harta mahar untuk calon istriku kelak. Dan itulah yang selalu ditekankan oleh ibuku setiap hari. Pekerjaanku berjalan mudah, karena kulakukan dengan sungguh-sungguh dan telaten, terutama karena pekerjaanku itu adalah di rumah sakit tentara.
Aku senang beraktivitas, -itu sebabnya secara medis- aku mendapatkan sukses besar dalam pekerjaanku tersebut. Bila dibandingkan dengan pelajaran teori yang membosankan yang pernah kupelajari.
Rumah sakit tersebut mengumpulkan berbagai tenaga medis dari berbagai bangsa. Demikian kira-kira. Hubunganku dengan mereka, sebatas hubungan kerja saja. Sebagaimana mereka juga mengambil manfaat dari kehadiranku, sebagai penduduk asli negeri ini. Saya sering menjadi guide mereka mengunjungi berbagai tempat bersejarah dan pasar-pasar. Sebagaimana aku juga sering mengantarkan mereka ke sawah-sawah kami. Hubunganku dengan mereka amat erat. Dan seperti biasa, di akhir ikatan hubungan kerja, kami mengadakan pesta perpisahan ..
Pada suatu hari, salah seorang dokter dari Inggris berniat melakukan perjalanan pulang ke negerinya, karena masa kerjanya sudah habis. Kami bermusyawarah untuk mengadakan pesta perpisahan baginya. Tempat yang kami tentukan adalah sawah kami, kemudian didekorasi seperti biasanya. Namun yang menguras pikiranku adalah: hadiah apa yang akan kuberikan kepadanya? Terutama karena aku sudah bekerja bersamanya dalam waktu yang lama ..
Akhirnya aku temukan sebuah hadiah berharga dan sesuai untuk saat itu. Dokter yang satu ini dikenal suka mengumpulkan barang-barang tradisional. Tanpa perlu bersusah-payah, kebetulan ayahku menyimpan banyak barang-barang semacam itu. Maka akupun meminta kepada beliau. Aku memilih sebuah benda tradisional hasil karya daerahku, di masa lampau. Seorang di antara saudara sepupuku turut hadir untuk kuajak berdiskusi tentang hal itu.
Saudaraku itu menyela: ‘Kenapa tidak engkau beri hadiah buku tentang Islam?’ Aku lebih memilih barang tradisional itu. Tak kuindahkan pendapat saudaraku tersebut dengan anggapan bahwa sulit untuk mendapatkan buku yang cocok untuknya. Namun Allah memudahkan diriku untuk mendapatkan barang tersebut tanpa bersusah-payah. Esok harinya, aku pergi untuk membeli beberapa mushaf dan majalah dari toko buku. Ternyata aku dapatkan sebuah buku tentang Islam berbahasa Inggris.
Kembali kata-kata sepupuku itu terngiang di telingaku.
Pikiran untuk membeli buku itu menjadi pertimbangan khusus bagiku saat itu, karena kebetulan harganya murah sekali. Akupun membeli buku tersebut.
Datanglah saat pesta perpisahan dengan sahabatku itu. Aku meletakkan buku tersebut di tengah barang tradisional tersebut. Seolah-olah aku menyembunyikannya. Akupun menyerahkan hadiahku tersebut. Sungguh itu merupakan perpisahan yang amat berkesan. Dokter itu memang amat disukai oleh rekan-rekan kerjanya …
Sahabat kami pun pergi meninggalkan kami. Hari demi hari pun berlalu. Bulan demi bulan juga berlalu demikian cepat. Aku pun menikah dan dianugerahi seorang putra.
Suatu hari, datanglah surat dari Britania (Inggris). Aku segera membacanya dengan perlahan. Surat itu ditulis dalam’ bahasa Inggris. Pada mulanya, aku memahami sebagian isinya. Namun aku tidak bisa memahami sebagian kata-katanya. Aku tahu bahwa surat itu berasal dari teman lama yang beberapa saat bekerja bersama kami. Namun kuingat-ingat, baru kali ini kudengar namanya. Bahkan nama itu terdengar aneh di telingaku. Difullah, demikian namanya.
Kututup surat tersebut. Aku berusaha mengingat-ingat sahabat bernama Difullah. Namun aku tidak berhasil mengingat seorang pun dengan nama itu. Kubuka lagi surat itu, dan kembali kubaca isinya dengan tenang. Huruf demi huruf mengalir dengan mudah dan lancar. berikut sebagian isi surat tersebut:
Saudara yang mulia, Dhaifullah …
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Allah telah memudahkan diriku memahami Islam dan memberiku petunjuk melalui kedua belah tanganmu. Tak pernah kulupakan persahabatanku denganmu. Aku selalu mendoakanmu. Aku teringat dengan buku yang pernah engkau hadiahkan kepadaku di hari kepergianku. Suatu hari kubaca buku itu, sehingga bertambahlah kesungguhanku untuk lebih banyak mengenal Islam. Termasuk di antara taufik Allah kepadaku, di sampul buku tersebut aku mendapatkan nama penerbit buku itu.
Aku pun mengirim surat kepada mereka untuk meminta tambahan buku. Mereka segera mengirimkan buku yang kuminta. Segala puji bagi Allah yang telah menyalakan cahaya Islam dalam dadaku. Aku pun pergi menuju Islamic Center dan mengumumumkan ke-Islamanku. Aku ubah namaku dari Jhon menjadi Dhaifullah. Yakni seperti namamu, karena engkau orang yang memiliki keutamaan dari Allah. Aku juga melampirkan surat resmi ketika aku mengumumkan syahadatku. Aku akan mengusahakan pergi ke Mekah Al-Mukarramah untuk menunaikan haji.
Dari saudaramu seiman, Dhaifullah.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Akupun menutup surat tersebut. Namun dengan cepat kubuka kembali. Aku membacanya untuk kesekian kali.
Surat itu demikian menggetarkan diriku. Karena aku merasakan ikatan persahabatan pada setiap huruf-hurufnya. Aku pun menangis terus. Bagaimana tidak?
Allah telah memberi hidayah kepada seseorang menuju Islam melalui kedua belah tanganku, padahal selama ini aku lalai dalam memenuhi hakNya. Hanya dengan sebuah buku yang tidak sampai lima Riyal harganya, Allah memberi hidayah kepada seseorang … Aku sedih sekaligus bahagia.
Bahagia, karena tanpa usaha yang keras dariku, Allah menunjukkannya kepada Islam. Namun aku juga merasa sedih, karena penasaran terhadap diriku sendiri: Kemana saja aku selama ini ketika masih bersama para pekerja tersebut?
Aku belum pernah mengajaknya kepada Islam?
Bahkan belum pernah mengenalkannya dengan Islam?
Tak ada satu kata pun tentang Islam yang akan menjadi saksi buat diriku pada hari Kiamat nanti.
Aku banyak mengobrol bersama mereka dan sering bercanda dengan mereka, namun aku tidak pernah membicarakan Islam, banyak ataupun sedikit Allah telah memberi hidayah kepada Dhaifullah untuk masuk Islam, dan juga memberiku petunjuk untuk berintrospeksi diri akan keteledoranku dalam menaati Allah. Aku tidak akan meremehkan kebajikan sedikit pun, meski hanya dengan sebuah buku berharga satu Riyal saja …
Aku berfikir sejenak:
Seandainya setiap muslim menghadiahi sebuah buku saja kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, apa yang akan terjadi?
Namun aku tertegun karena hal yang aku takuti dari berita yang kubaca, dari benua Afrika ….
Beberapa kenyataan itu menyebutan:
Telah berhasil dikumpulkan dana sebesar satu juta dolar Amerika untuk tujuan gereja.
Berhasil kaderisasi 3.968.100 penginjil selama satu tahun..
Telah berhasil dibagi-bagikan sebanyak 112.564.400 eksemplar Injil.
Jumlah stasion radio dan televisi Nashrani telah mencapai 1.620 buah.
Aku bertanya-tanya:
Di manakah kita berada, dalam kondisi demikian ?
Berapa banyak supir di negeri kita ini yang bukan muslim ?
Dan berapa banyak pembantu di negeri kita ini yang juga bukan muslimah ?
Berapa, berapa dan berapa ?
Sungguh rasa sakit yang didahului linangan air mata. Namun tetap bergayut satu pertanyaan:
Mana usaha kita ?
Mana usaha kita ?
Semoga Bermanfaat..
Sumber: Az-Zaman Al-Qaadim
Shared By Catatan Catatan Islami

Akankah da’wah Islam ini melemah sedangkan saya masih hidup?[Abu Bakar Ash-Shidiq ra]
“Da’wah ini tidak mengenal sikap ganda. Ia hanya mengenal satu sikap totalitas. Siapa yang bersedia untuk itu, maka ia harus hidup bersama da’wah dan da’wah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barangsiapa yang lemah dalam memikul beban ini, ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tertinggal bersama orang-orang yang duduk. Lalu Alloh swt akan mengganti mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan lebih sanggup memikul beban da’wah ini.” [Hasan Al Banna]
Da’wah memang tidak mudah. Butuh orang-orang pemberani dan bermental baja. Jalan da’wah juga tidak ditaburi bunga-bunga indah dan wewangi kesturi, tapi ia terjal dan berliku, akan banyak kerikil-kerikil tajam dan duri-duri yang melukai tapak-tapak kaki sang pejuang.
Tapi, DA’WAH adalah ANUGERAH. Hanya orang-orang pilihan yang mampu mengembannya. Da’wah adalah kado terindah dan nikmat terbesar yang wajib kita syukuri. Terima kasih Ya Alloh, Kau izinkan kami mengenalnya, dan semoga Kau istiqomahkan kami untuk tetap bersamanya, bersama da’wah, selalu dan selamanya. Ah, apalah arti hidup ini tanpa da’wah??
http://virouz007.wordpress.com/2010/04/28/hadiah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar