Selasa, 08 Maret 2011

Hollywood dan Budaya Kita

Prima M Agustini
Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Unpad,
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung

Hollywood sebagai industri film terbesar di dunia memutuskan untuk berhenti mengirimkan filmnya di Indonesia, bahkan film yang sudah telanjur diputar pun akan ditarik dari peredaran. Ini sebagai reaksi atas kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai, yang memberlakukan beban bea masuk atas hak distribusi film impor.
 
Film tak bisa dianggap sepele. Film memiliki dampak yang luar biasa. Film dapat mempengaruhi penonton dalam keadaan sadar penuh, tetapi menelan segala macam pesan, yang belum tentu kebenarannya. Film seringkali sebagai imaji yang ditampilkan sutradara di alam mimpi penontonnya, justru ketika penonton dalam keadaan sepenuhnya sadar.

Film bisa dijadikan alat propaganda, alat komunikasi massa yang mampu mengubah pikiran, pendapat, bahkan nilai dan budaya yang dianut penontonnya untuk berubah seperti apa yang dipikirkan pembuat film. Film dapat menjadi alat imperialisme budaya. Meniadakan budaya yang sudah lama ada atau menanamkan budaya baru, budaya dominan para kreator film.

Sebagai contoh, Film Pretty Woman, yang diperankan oleh Julia Roberts, merepresentasikan perempuan yang dianggap cantik dalam budaya Amerika, dan nilai kecantikan itu diinternalisasi dan diimitasi oleh publik film Indonesia. Sehingga wanita cantik didefinisikan sebagai wanita berkulit putih, tinggi, kurus, dan berwajah "bule", serta berpakaian seksi "ala Amerika". Maka tak heran, perempuan Indonesia berlomba mengubah warna rambut menjadi kecokelatan, memutihkan kulit, menguruskan badan, dan menggunakan sepatu bertumit tinggi, untuk masuk dalam kategori cantik.      

Berbicara film saat ini, tidak dapat dilepaskan dari aspek ekonomi yang mencakup hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber produksi, distribusi, dan konsumsi. Perkembangan global telah menjadikan film sebagai industri. Para pengusaha yang berinvestasi, tentu berharap mendapatkan profitabilitas. Oleh karena itu, segala upaya dilakukan untuk merebut publik dan pengiklan. Sebagai institusi ekonomi, tak jarang film dibuat hanya untuk meraih keuntungan finansial.

Seperti dijelaskan Dennis Mc Quail dalam Media Policy (2002), saat ini media lebih dipandang sebagai institusi ekonomi yang memusatkan pada struktur ekonomi daripada muatan ideologis media. Ideologi bergantung pada kekuatan ekonomi, yakni struktur kepemilikan media dan mekanisme kerja dari kekuatan pasar media.

Institusi media dipandang sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga berkaitan erat dengan sistem politik. Media dipandang sebagai proses komunikasi yang menghasilkan komoditas. Begitu pun dengan film, tak jarang bioskop hanya menayangkan film-film yang sekiranya berujung pada profitabilitas semata.

Pendekatan ekonomi politik, melihat film dari aspek penguasa sumber-sumber produksi, pemegang rantai distribusi film, dan pencipta pola konsumsi publik film. Meminjam terminologi Vincent Mosco dalam The Political Economy of Communications (1996), dikenal tiga istilah yang sangat kental dengan media, yakni komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi.

Komodifikasi adalah upaya mengubah apa pun menjadi komoditas sebagai alat mendapatkan keuntungan. Film akhirnya dipandang hanya sebagai komoditas yang siap dijual untuk mendapatkan profit. Tiga hal yang saling terkait, yakni isi media, jumlah penonton, dan iklan.

Konten film yang sesuai dengan keinginan penonton adalah komoditas untuk menaikkan jumlah penonton. Jumlah penonton juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi industri film. Ekspansi ini akan menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat.

Kehidupan sosial tanpa disadari telah banyak berubah hanya dengan menonton film. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan kekuatan modal besar untuk berinvestasi telah memunculkan banyak cara untuk mengatasi hambatan jarak dan waktu. Mosco menyebutnya sebagai spasialisasi. Film yang disaksikan di negara belahan bumi manapun, dalam waktu yang bersamaan dapat ditonton oleh publik film di Indonesia.

Bergulirnya keputusan Hollywood untuk berhenti mengedarkan hasil produksi filmya di Indonesia, tentu mengejutkan banyak pihak. Internalisasi dan pengimitasian budaya yang telah berlangsung lama, seolah kehilangan 'pegangan'. Memang tak dapat dimungkiri, tampilan audio visual dan konten yang dibuat, memikat publik film Tanah Air.

Menilik kekuatan film yang dapat memudahkan internalisasi dan pengimitasian budaya dominan para kreator film, tampaknya keputusan Hollywood untuk tidak mengedarkan filmnya di Indonesia memberikan peluang sekaligus tantangan pada perfilman nasional. Selain ruang bagi para kreator film Indonesia semakin luas untuk menyampaikan nilai-nilai filosofis pada tataran kehidupan masyarakat Indonesia, juga memberikan tantangan untuk dapat membuat film-film "sekelas" Hollywood.

Untuk memajukan perfilman nasional, perlu peran berbagai pihak terkait. Publik film perlu diedukasi agar lebih melek film. Bioskop bukan hanya menjadi lembaga komersial, tetapi justru menjadi lembaga kebudayaan. Filterisasi penayangan film menjadi hal utama.

Perkembangan film di Indonesia tentu tak bisa lepas dari peran pemerintah. Pemerintah perlu memperbaiki sarana dan prasarana untuk produksi film, meringkas birokrasi pembuatan film, memotivasi insan perfilman untuk menciptakan film yang bermutu, mengedukasi pemilik bioskop untuk hanya menayangkan film berkualitas, mengedukasi publik film untuk lebih mencintai film Indonesia, dan memberikan kesadaran akan imperialisme budaya yang ti -dak sesuai dengan nilai-nilai bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar