Selasa, 01 Maret 2011

Korupsi di Daerah, Ironi Desentralisasi

Dr M Umar Syadat Hasibuan
Staf Khusus Menteri Dalam Negeri

Cita-cita utama desentralisasi dan otonomi daerah adalah memberikan peluang yang besar kepada daerah untuk mengelola dirinya agar lebih mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pembangunan daerah. Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah dalam perspektif pemerintah lebih cenderung dimaknai sebagai otonomi administrasi dan otonomi finansial yang telah mengabaikan desentralisasi dalam kerangka politik.

Dampaknya, dua hal penting dalam desentralisasi demokratis, yakni partisipasi dan akuntabilitas tidak menjadi visi praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desentralisasi tanpa desentralisasi demokratis melahirkan monopoli atas sumber daya ekonomi daerah oleh elite lokal (legislatif dan eksekutif) mengandung bahaya, yakni penyelewengan kekuasaan dan korupsi.

Kecenderungan ini pada akhirnya berpeluang menguatnya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah (otda). Pertama, program otda hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan, dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah tanpa disertai pembagian kekuasaan dan pengawasan secara kuat dari masyarakat.

Kedua, kurangnya kapasitas institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Ketiga, kegagalan legislatif dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol dalam penyelenggaraan kekuasaan. Akibatnya, sejumlah kasus korupsi terus bermunculan di berbagai kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia.

Ledakan korupsi
Mengacu pada data ICW 2010, sejak tahun 2004, sejumlah kasus korupsi terus meluas di Indonesia. Terdapat empat kategori pelaku korupsi di daerah. Pertama, korupsi yang dilakukan oleh gubernur. Sejak tahun 2004-2011, kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah provinsi menunjukkan angka yang cukup serius, baik dari jumlah maupun tingkat kerugian negara. Ada belasan gubernur yang menjadi tersangka kasus korupsi.

Ada lima modus utama kasus korupsi yang dilakukan oleh gubernur. Pertama, kasus korupsi yang dilakukan akibat penyalahgunaan APBD. Kasus ini seperti yang terjadi di Sumbar untuk APBD 2002, di Banten, terkait dengan pembangunan perumahan anggota dewan di mana negara dirugikan 14 miliar, kasus korupsi APBD NTB tahun 2001 dan 2004, kasus dugaan penyelewengan anggaran belanja rutin Pemerintah Provinsi Kalsel, dan dugaan korupsi APBD Kabupaten Langkat tahun 2000-2007.

Kedua, kasus korupsi proyek pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran (Riau, Jabar, dan Kepri). Ketiga, kasus suap dalam proyek alih fungsi lahan, korupsi pembukaan lahan sawit, dan kasus perpanjangan HGB lahan (Sulsel, Kaltim, Sulteng). Keempat, kasus korupsi terkait dengan penyaluran dan penggunaan Pajak PBB/BPHTP (Bengkulu). Kelima, kasus mark up proyek pembangunan dan pengadaan barang (NAD dan Manado). Keenam, kasus dugaan kredit macet di bank (Kalbar).

Kategori pelaku korupsi jenis kedua adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh wali kota/bupati. Sejak tahun 2004-2011, tercatat 16 wali kota/Plt wali kota menjadi tersangka, 1 wali kota menjadi saksi, dan 8 wakil wali kota terkait dengan dugaan kasus korupsi di masing-masing daerah kekuasaannya. Pada kurun waktu tersebut, 84 bupati dan 19 wakil bupati tersangkut dengan kasus korupsi. Keseluruhan kepala daerah/wakil kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dalam kurun waktu 2004-2011 adalah 128 orang.

Ketiga, kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat daerah di level provinsi dan kabupaten/kota. Jumlah pejabat daerah yang tersangkut kasus korupsi dalam kurun waktu 2004-2011 jumlahnya 17 orang dengan masing-masing jabatan dan kasus yang beragam. Pejabat dari lingkungan kejaksaan yang tersangkut kasus korupsi adalah yang terbanyak dan berjumlah delapan orang, sedangkan yang lainnya empat dari lingkungan pejabatan kepolisian di daerah.

Keempat, kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif/DPRD. Sepanjang 2004-2009, terdapat 1.432 anggota dewan yang menjadi tersangka kasus korupsi (ICW, 2010). Peran legislatif sebagai pengawas eksekutif ternyata tidak diimbangi dengan adanya pengawas terhadap legislatif itu sendiri. Akibatnya, perilaku korupsi di lembaga legislatif di daerah kian tak terbendung.

Ironi desentralisasi
Desain besar desentralisasi diharapkan mampu menjadi persemaian demokrasi di tingkat lokal. Merebaknya kasus-kasus korupsi selama pelaksanaan kebijakan otonomi dan desentralisasi menjadi dilema serius di Indonesia. Haruskah desentralisasi politik dalam wujud pemberian otonomi yang besar kepada daerah selalu dibarengi dengan munculnya perilaku korupsi?

Tentu saja tidak. Kebijakan otonomi dan desentralisasi dirancang sebagai mekanisme pendalaman demokrasi di level lokal. Harapannya tentu saja untuk memperkuat kapasitas demokrasi dan pemerintahan di level lokal. Bukan sebaliknya, melahirkan ledakan kasus-kasus korupsi yang kian membusukkan kapasitas demokrasi dan pemerintahan di level lokal.

Dalam konteks otonomi daerah saat ini, perilaku korupsi kian begitu masif dan menyebar ke hampir semua daerah. Perilaku korupsi ini tampak mengalami perpindahan lokus yang luar biasa serta melibatkan aktor-aktor lokal, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, hingga unsur DPRD.

Menguatnya kasus-kasus korupsi di daerah merupakan sebuah ironi desentralisasi. Padahal, sejumlah studi empiris di beberapa negara menunjukkan bahwa sistem desentralisasi memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan. Maraknya korupsi atas anggaran daerah tentu memprihatinkan. Karena itu, era otonomi daerah yang diperlukan adalah pemimpin yang tidak hanya representatif, tetapi juga mampu memerintah dan kapabel dalam mengawal pendalaman demokrasi di berbagai daerah di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar