Jumat, 04 Maret 2011

Konfllik Agama

Umar Sholahudin
Mahasiswa S-2 Sosiologi FISIP Unair,
Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya


Perselisihan yang berujung konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama sebagaimana yang terjadi di Cikeusik-Banten, Temanggung-Jateng, dan terakhir penyerangan dan perusakan pondok pesantren di Pasuruan, Jawa Timur, telah mengusik rasa solidritas dan rasa kemanusiaan kita, serta tentunya kerukunan hidup beragama di Indonesia. Perbedaan dalam hidup bermasyarakat adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari, baik perbedaan agama, kultural, maupun politik. Dalam konteks inilah, kita diuji dengan sikap, kedewasaan, dan rasaionalitas kita dalam menghadapi keragaman sosial tersebut.

Anarkisme dan kekerasan atas nama apa pun dan dalam bentuk apa pun sangat tidak dibenarkan dalam kehidupan sosial kita yang demokratis. Dialog interaktif dengan niatan yang positif adalah cara yang paling elegan meminimalisasi ketegangan dan menyelesaikan persoalan perbedaan di antara kita.

Direktur Pelaksana Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Masdar Mas'udi, pernah mengatakaan, "saya lebih suka hidup dengan orang yang berbeda agama tetapi tidak tertekan, daripada hidup bersama dengan orang yang seagama tetapi tertekan". Pernyataan ini setidaknya bisa menjadi introspeksi dan koreksi ke internal kita masing-masing sebagai pemeluk agama. Anarkisme dan kekerasan bukanlah inti dasar ajaran agama.

Menurut Mark Taylor, sebagaimana dikutip Bambang Sugiarto (1998), seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan agama sering dihadapkan pada tantangan dan kendala yang sering kali terus berproduksi tanpa adanya solusi yang tuntas. Beberapa tantangan dan kendala itu di antaranya kemelut dalam tubuh masing-masing agama sendiri sering kali memproyeksi keluar. Sikap agresif berlebihan terhadap pemeluk agama lain sering kali merupakan ungkapan yang tak disadari dari /chaos dan ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri.

Kedua, paham tentang kemutlakan Tuhan-yang umumnya dianut hampir semua agama besar-juga memudahkan orang untuk mengidentikkan kemutlakan itu dengan kemutlakan agamanya. Keyakinan macam ini, biarpun masuk akal, secara psikologis memudahkan orang untuk melegitimasi segala bentuk tindakan kekerasan sebagai hal yang dikehendaki oleh Tuhan.

Ketiga, ada keyakinan suci di internal pemeluk agama. Bahwa segala tindakan macam itu justru akan diganjar pahala oleh Tuhan. Keyakinan mutlak ini kemudian menyebabkan kekeraan terharap pemeluk agama lain yang justru merupakan bagian dari kekuatan moral. Tentunya, ini adalah sebuah ironi yang bukan saja kontradiktif, tetapi juga berbahaya bukan hanya bagi pemuluk agama lain, tetepi juga bagi agamanya sendiri.

Citra agama sebagai ajaran yang damai, santun, lemah-lembut, kasih saying, dan nilai-nilai moral dan suci lainnya menjadi terkontaminasi oleh perilaku sebagian pemeluk agama yang keliru, puritan, dan skriptualistik.

Keempat, dengan naik daunnya posisi agama dalam konstalasi peradaban kini, agama pun menjadi rawan untuk ditunggangi kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, dan kultural kelompok-kelompok tertentu atau pribadi. Bila ini terjadi, bahaya akan segera datang, yakni integrasi agama terancam akan hancur. Alih-alih akan menjadi suatu terapi solutif bagi kemelut ingar-bingar modernitas, agama justru akan dirasa sebagai penyakit berbahaya. Alih-alih menjadi berkah, ia tampil justru sebagai kutukan.

Kondisi krusial tersebut tentu saja perlu dicari solusi yang tepat dan komprehensif. Salah satunya adalah perlu adanya dialog intrareligious maupun interreligious dialog ke dalam maupun ke luar perspektif agama masing-masing. Perlu ada dialog interaktif yang setara, dan tentunya didasari pada niat dan prasangka positif. Selain upaya ini, perlu adanya gerakan di internal agama untuk melakukan gerakan revitalisasi peran organisasi agama yang lebih aktual.

Revitalisasi peran ormas
Belum hilang dan semakin menjamurnya aksi kekerasan dan radikalisasi atas nama dan legitimasi agama, tentu saja menohok eksistensi lembaga organisasi kemasyarakatan dan keagamaan (ormas). Realitas ini setidaknya bisa menjadi otokritik bagi institusi keagamaan. Pertama, beralihnya para aktivis Islam yang moderat ke aktivis yang radikal dan keras dalam pemahaman agama yang tekstual dan skiptualis. Itu bisa saja karena ormas keagamaan yang ada tidak mampu memberikan kebutuhan spiritual yang memadai bagi umatnya.

Kedua, maraknya para elite agama dalam ormas yang banyak keluar kandang dan lebih banyak mengejar aktivitas politik. Banyaknya para elite agama yang menyibukkan diri dengan urusan politik-dengan masuk parpol dan ikut partisipasi dalam momentum politik seperti Pilkada, menjadikan umat (baca: konstituen) terabaikan dan tidak terawat. Ummat sudah tidak lagi mendapatkan sentuhan dakwah Islam yang sejuk dan mencerahkan. Kondisi internal inilah yang menjadikan para aktivis Islam lepas dan mencari sentuhan dakwah Islam yang menurutnya menenangkan dan memberikan harapan masa depan ukhrowi yang menjanjikan.

Ketiga, ormas keagamaan dinilai gagal dalam membangun dialog yang konstruktif antarkelompok atau aktivis Islam yang berbeda pandangan dalam memahami teks agama. Nihilnya dialog ini yang kemudian memunculkan masing-masing kelompok atau aktivis Islam melakukan justifikasi atas pemahaman agama yang tekstual dalam tataran praksis.

Karena itu, saat ini perlu adanya gerakan revitalisasi peran ormas keagamaan. Organisasi seperti NU dan Muhammadiyah didorong untuk kembali ke khitah atau kembali ke kandang, yakni mengembalikan jati dirinya sebagai ormas keagamaan yang memang memiliki peran utama dan tugas suci melakukan dakwah Islam dan sosial kepada umatnya yang rahmatan lil a'lamin.

Konsekuensinya, elite ormas keagamaan harus menanggalkan baju politiknya dan meninggalkan gelanggang politik. Para elite agama dituntut untuk lebih berkonsentrasi mengurusi kondisi umatnya agar memiliki pemahanan dan praktik keagamaan yang ramah, sejuk, toleran, dan damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar