Jumat, 11 Maret 2011

Kegaduhan Politik Pascaangket

Dian A Syakhroza
Anggota DPR RI

"Apa yang sudah disepakati secara politis jangan pernah diperdebatkan secara estetis". Bung Karno, the founding father. Sejalan dengan pemikiran the founding father, dalam berbagai kesempatan Presiden SBY memaparkan pentingnya tiga hal untuk bisa mencapai tatanan kehidupan yang ideal secara bersama-sama.

Tiga hal itu, yakni logika, etika, serta estetika. Ketiga hal itu sejatinya adalah intisari dari moral dan karakter bangsa yang menjadi cita-cita bersama sejak negeri ini diwujudkan oleh founding fathers, dan dilanjutkan oleh para pemimpin bangsa mulai dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati hingga sekarang.

Tetapi sayangnya, dalam banyak situasi kita sering lupa, bahkan sengaja mengabaikan ketiga nilai tersebut. Ini terjadi karena sengaja atau tidak, kita sering kali mengotak-kotakkan diri ke dalam dikotomi-dikotomi, yang bermuara pada berbagai kepentingan pragmatis. Panggung politik niretika yang mendominasi diskusi belakangan ini telah menjauh dari substansi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan negara yang kuat. Negara kuat yang kita inginkan bermaksud menciptakan kesejahteraan rakyat, membutuhkan diskusi yang berkualitas antara pemerintah dan DPR tentang substansi permasalahan pembangunan.

Namun, yang terjadi selama ini, panggung politik heboh oleh diskusi yang tidak substansial sehingga agenda kesejahteraan rakyat semakin jauh. Buktinya, dari sekitar 70 RUU yang ditargetkan selesai sepanjang 2010 hingga akhir Desember 2010, baru selesai 14 RUU yang menjadi undang-undang. Padahal, dalam kerangka negara demokrasi, undang-undang adalah instrumen negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Sepanjang 2010 hingga Maret 2011, kita banyak terjebak dalam perdebatan yang kurang produktif. Tidak sedikit energi yang dihabiskan anak bangsa untuk ingar-bingar kegaduhan politik, yang sebenarnya bisa diselesaikan secara arif dan penuh kebersamaan. Perhelatan demokrasi pada 2014, hendaknya disikapi secara matang oleh para pihak yang berkepentingan sehingga tidak menimbulkan gesekan-gesekan yang kurang sehat.

Spirit koalisi
Hiruk-pikuk itu memberi kita banyak pelajaran. Keran demokrasi yang terbuka lebar membuka peluang bagi ruang ekspresi dan perbedaan. Tapi, demokrasi pun sebenarnya membutuhkan koridor agar efektif. Karena bila demokrasi diartikan sebagai kebebasan untuk selalu berbeda, kita akan terjebak dalam diskusi dan debat yang tidak produktif. Untuk menjalankan praktik demokrasi yang sehat dan efektif membutuhkan prasyarat bahwa pelaku demokrasi harus matang dan dewasa. Itu ditandai dengan sportivitas menerima kekalahan dan kesediaan mendukung sang pemenang. Namun, tampaknya kita sedang mempraktikkan demokrasi yang berbeda sehingga demokrasi yang kita usung, belum mampu menghasilkan kerja-kerja produktif bagi kesejahteraan rakyat.

Pemerintahan koalisi saat ini diharapkan mempraktikkan demokrasi yang efektif dalam program kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, melalui program pembangunan yang transparan dan terukur. Itu hanya bisa dicapai jika di dalamnya terjadi diskusi dan debat yang sehat tentang apa yang seharusnya dilakukan (prioritas program), berapa anggaran yang dibutuhkan dan bagaimana melakukannya. Jika ada sesuatu yang tidak disepakati, harusnya diselesaikan terlebih dahulu di dalam rumah tangga koalisi. Tidaklah etis jika ketidaksetujuan terhadap sesuatu mengobrak-abrik substansi yang telah disepakati. Sebaliknya, seluruh anggota seyogianya bekerja bersama-sama dan mengawalnya untuk mencapai tujuan nasional mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Koalisi pemerintahan dituntut mampu menggunakan energinya untuk melakukan hal-hal terbaik, demi keberhasilan jalannya program dan kebijakan pemerintah dengan cara saling dukung sesama mitra koalisi. Gesekan tajam antarmitra koalisi yang tidak disebabkan oleh hal-hal substansial, akan memberikan pelajaran buruk bagi sejarah perjalanan bangsa dan generasi penerus. Mereka akan bertanya tentang kemampuan para pemimpin saat ini untuk bekerja dalam sebuah tim dan berpegang teguh pada komitmen. Kemampuan bekerja dalam tim sebenarnya adalah karakter bangsa yang diistilahkan oleh the founding father sebagai gotong-royong. (Soekarno dalam pidato perumusan Pancasila, 1 Juni 1945).

Jika gagal mengelola karakter dasar ini, kita akan mewariskan perilaku politik yang buruk bagi generasi penerus di masa depan. Lebih jauh lagi, kegagalan memegang komitmen dalam berkoalisi ini akan memberikan sinyal bagi para mitra luar negeri bahwa kita tidak bisa dipercaya. Tentu hal ini fatal jika dikaitkan dengan kebutuhan kita dalam menarik investasi asing dalam menggerakkan ekonomi.

Bukankah hakikat koalisi adalah membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable)? Pemerintahan yang kuat berarti pemerintah yang mampu mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan di parlemen. Pemerintahan yang mandiri adalah pemerintah yang mampu mengimplementasikan kebijakan yang populer ataupun yang tidak populer tanpa harus didikte pihak lain. Sedangkan, pemerintah yang tahan lama adalah pemerintahan yang mampu mempertahankan kekuasaannya dalam periode tertentu (5 tahun), tanpa harus khawatir diturunkan oleh elite tandingannya dengan seenak hati. Untuk itu, upaya membentuk pemerintahan yang kuat harus menjadi spirit setiap mitra dalam koalisi.

Tantangan besar
Ada tiga tantangan besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Pertama, membangun demokrasi tanpa meninggalkan jati diri bangsa, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Kedua, menciptakan kemakmuran. Ketiga, mewujudkan keadilan yang merata bagi seluruh rakyat. Pada 2011, politik di Indonesia harus semakin sehat, dewasa, dan produktif. Para pemimpin bangsa di tempatnya masing-masing, para pimpinan eksekutif dan lembaga negara serta para pemimpin parpol diharapkan fokus pada upaya memajukan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Politik tahun 2011, sebaiknya bermakna kerja terbaik untuk menunaikan mandat Pemilu 2009. Dengan demikian, iklim politik menjadi lebih teduh, sehat, dan menjanjikan kemaslahatan bagi rakyat.

Di luar tantangan dari dalam, gelombang demokratisasi di Tunisia, Mesir, dan Libya menciptakan tantangan global baru dengan efek langsungnya berupa kenaikan harga minyak menembus 115 dolar AS per barel, jauh di atas asumsi harga APBN sebesar 85 dolar AS. Sulit membayangkan jika hal yang sama, misalnya terjadi di Cina dan negara-negara lain yang juga sedang menghadapi tuntutan dibukanya keran demokrasi. Jelas jika hal itu terjadi akan memberikan dampak yang sangat dahsyat terhadap stabilitas keuangan global. Siapkah kita menghadapi situasi seperti ini? Tentu kita tidak ingin bangsa Indonesia terlibas dalam dinamika internasional ini hanya karena kita tidak mengantisipasinya. Karena itu, seluruh komponen bangsa harus bersatu menahan gelombang dampak ekonomi dari kejadian-kejadian tersebut.

Demikian juga, tantangan geopolitik regional. Perkembangan pesat di Malaysia, Vietnam, dan Kamboja patut diperhitungkan. Di dalam negeri, mereka mampu fokus pada pembangunan ekonomi dengan mengesampingkan debat politik yang kurang substansial bagi kemajuan perekonomian. Dalam kerja sama ekonomi internasional, hubungan mereka dengan Cina, Jepang, dan Korea yang semakin erat akan membuat Indonesia tertinggal jika kita tidak mampu menonjolkan keistimewaan yang kita miliki. Untuk itu, saat ini negeri ini benar-benar membutuhkan sikap kenegarawanan dari para pemimpinnya yang memegang teguh logika, etika, dan estetika dalam praktik politiknya. Para pemimpin yang berkarakter kuat memajukan bangsanya, dan bekerja keras mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Marilah kegaduhan politik pasca-hak angket ini kita jadikan momentum untuk membangun karakter bangsa, yang menjunjung tinggi komitmen dan piawai bekerja secara tim (team work).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar