Rabu, 23 Maret 2011

Bom Buku, Terorisme?

Nasir Abas
Pengamat Teroris

Kebetulan pada Selasa, 15 Maret 2011 saya menghadiri seminar di IAIN Walisongo Semarang. Temanya, "Mengantisipasi Munculnya Terorisme di Kalangan Pelajar Melalui Peningkatan Peran Bimbingan dan Konseling Islam". Setelah acara itu, saat sore hari saya kaget melihat breaking news bom buku di Utan Kayu, Jakarta. Saya langsung jadi teringat ilmu yang saya dapatkan di Afghanistan yang di antaranya adalah pembuatan booby trap (perangkap bom), bagaimana memanfaatkan peralatan rumah menjadi wadah atau pemicu bom, termasuk buku.

Jenis explosive yang digunakan untuk booby trap bisa jenis berdaya ledak tinggi dan bisa juga berdaya ledak rendah. Maksud dari booby trap itu dibuat adalah bertujuan memberi jebakan kepada korban untuk melukai atau membunuh, serta memberi efek takut. Operasi bom dengan cara ini selalu menjadi misi operasi asasinasi. Untuk kasus bom buku di Jakarta, bahan peledak yang digunakan adalah yang berjenis daya ledak rendah.

Operasi booby trap sudah pernah terjadi di Poso pada sekitar September 2006, yaitu bom senter, bom tarmus, bom pintu, dan lainnya. Operasi ini bertujuan menteror warga Nasrani di Poso dalam rangka melanjutkan aksi membalas dendam dengan membunuh warga sipil Nasrani. Tetapi, apakah benar ini aksi terorisme atau aksi sakit hati? Lalu, mengapa Ulil Abshar Abdalla? Mengapa kantor radio 68H?

Ketika saya masih berpikir mencari apa motif pelaku, lalu tidak lama kemudian muncul berita bom buku ditemukan di BNN Cawang yang ditujukan kepada Gorries Mere. Dan setelah Maghrib, ditemukan bom buku di rumah Ketua Umum Pemuda Pancasila Japto S Soerjosoemarno di Jagakarsa.

Ada apa ini sebenarnya? Saya yakin semua bertanya-tanya dan berusaha memecahkan puzzle ini. Apakah ini benar aksi terorisme, pengalihan isu, aksi vandalisme, dendam, ataukah karena sakit hati di ranah politik?

Definisi terorisme
Memang belum ada definisi terorisme yang disepakati dunia, tetapi paling tidak ada dasar yang dapat dipegang dalam melihat sesuatu tindakan itu aksi teror atau bukan. Di antaranya, teror adalah menciptakan ketakutan, kengerian, atau kekejaman oleh seseorang atau golongan, sedangkan teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.

Menurut hukum positif di Indonesia, terorisme dijelaskan dalam pernyataan berikut ini: "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional".

Maka, berdasarkan Kamus Besar dan Undang-Undang No 15 Tahun 2003, dapat dipahami bahwa aksi kekerasan yang bisa menimbulkan rasa takut yang meluas baik itu bertujuan politik maupun tujuan perorangan, dapat dikategorikan sebagi aksi terorisme. Oleh karena itu, bom buku itu bisa saja dilakukan oleh perorangan atau beberapa orang, tidak semestinya oleh sebuah kelompok yang terorganisasi dengan rapi. Bisa saja bermotif politik dan bisa juga tidak.

Pilihan sasaran
Kalau melihat aksi bom itu hanya pada satu sasaran, bisa muncul berbagai tebakan seperti bernuansa politis, sakit hati, dan dendam. Tetapi, jika melihat dari ketiga sasaran, ada satu kesamaan pada ketiganya, yaitu mereka sebagai tokoh masyarakat. Kesamaan lainnya adalah mereka bertiga dimusuhi dan dibenci baik disadari atau tidak.

Ulil Abshar Abdalla adalah pendiri Jaringan Islam Liberal. Pemikiran dan pendapat Ulil Abshar Abdallah dinilai bertentangan dengan Islam dan merusak citra Islam, menimbulkan pertentangan di antara aktivis Muslim lainnya, bahkan pernah ada yang mengeluarkan fatwa membunuh Ulil.

Komjen Gorries Mere pernah menjabat Kepala Satgas Bom Polri yang menangkap para pelaku bom di Indonesia. Kebencian di antara pelaku dan pendukung pelaku terorisme sampai-sampai menjadikannya sebagai buronan, seperti yang pernah ada di salah satu spanduk 'Buronan Mujahidin' di salah satu sidang pengadilan kasus terorisme.

Japto S Soerjosoemarno adalah ketua umum Pemuda Pancasila. Umumnya, para aktivis jihadiy tidak suka dengan Pancasila atau anti-Pancasila. Ada yang menganggap bahwa Pancasila adalah sistem kafir yang tidak boleh ditaati.

Dari keyakinan para pelaku terhadap latar belakang sasaran bom buku, barangkali mereka meyakini bahwa tiga sasaran ini harus dihentikan atau diapa-apakan. Karena mereka bertiga adalah pemimpin atau tokoh penting dalam urusan antiteror, paham liberal, dan penerapan Pancasila. Barangkali ketiga-tiganya dianggap sebagai pemimpin musuh Islam dan musuh umat Islam yang harus dihabisi duluan.

Maksud saya, bom buku itu bermotif agama berdasarkan keyakinan pelaku, bukan keyakinan Islam yang sebenarnya. Bukan menuduh sembarangan, tetapi melihat kesamaan dengan modus aksi teror sebelumnya yang menggunakan dalih agama berdasarkan pemikiran pelaku bom.

Semua operasi bom dilakukan secara terencana, hanya waktu yang membedakan, yaitu ada yang hasty (perencanaan waktu singkat) dan ada yang deliberate (perencanaan panjang). Hal ini berdasarkan keperluan dan misi. Maka, bom buku itu dilakukan dengan penuh perencanaan, tetapi oleh sedikit orang, pasti sudah direncanakan lama oleh orang yang memiliki pengalaman merakit bom menjadi booby trap.

Akibat dari bom buku, pelaku sudah merasa berhasil, walaupun tidak mengenai sasaran yang diinginkan. Yaitu, berhasil menebar teror di kalangan pejabat dan masyarakat sehingga menjadi trauma dan takut untuk menerima kado atau bingkisan. Masyarakat juga turut menjadi korban gara-gara bom buku, maka penjagaan keamanan menjadi ketat dan membuat tidak nyaman. Siapa pun pelakunya, yang jelas kita sudah merasakan efek takut dan peningkatan kewaspadaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar