Aries Musnandar
Kandidat Doktor Manajemen PI-PPs UIN Maliki Malang,
Staf Pengajar Kewirausahaan UB Malang
Usaha kecil dan menengah (UKM) telah terbukti sepanjang sejarah muncul sebagai motor penggerak dan penyelamat perekonomian Indonesia. UKM mampu menopang sendi-sendi perekonomian bangsa di masa sulit dan krisis ekonomi menerjang. Perusahaan besar ternyata banyak yang tidak berdaya dan malah bangkrut, sebagian lagi memperoleh fasilitas pinjaman dari pemerintah yang dikenal dengan BLBI.
Senyatanya, UKM amat sangat berperan tidak hanya ikut meredam gejolak sosial akibat angka pengangguran yang kian membesar, tetapi juga secara makro turut menumbuhratakan ekonomi negara. Dalam konteks ini, kiranya penting disimak data BPS mengenai sumbangan UKM pada peningkatan produk domestik bruto (PDB).
UKM kita berhasil menyumbang secara signifikan pertumbuhan PDB di negara ini lebih dari setengah, atau tepatnya 53,6 persen dari total PDB di Indonesia pada 2008. Oleh karena itu, kepedulian pemerintah atas tumbuh kembang UKM dengan segala dinamikanya adalah langkah tepat dan relevan, terutama pada fokus pengembangan sektor riil.
Menurut Keputusan Presiden RI No 99 Tahun 1998, disebutkan bahwa kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan menengah, perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat. Merujuk hal ini, kiranya para pemangku kebijakan dan peraturan tidak perlu ragu memusatkan perhatian dan kepedulian di lapangan agar berkembangnya bisnis UKM yang merupakan andalan pemerintah dan masyarakat menjadi keniscayaan.
Upaya pengembangan UKM terkendala dua hal, yakni bantuan permodalan dan kualitas manajemennya. Dalam hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa perbankan lebih suka berbisnis dengan pengusaha besar yang beromzet miliaran bahkan triliunan rupiah. Secara logika, tentu berbisnis dengan pengusaha besar seperti ini dapat membawa keuntungan cukup besar. Namun, sayang yang dilihat tampaknya lebih pada keuntungan semata, padahal risiko kerugiannya juga besar apabila kerja sama perbankan dengan pengusaha besar itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Bahkan, kondisi seperti ini terjadi di Indonesia. Kita masih ingat, betapa perbankan terpuruk saat terjadi krisis moneter tahun 1998. Banyak usaha besar gulung tikar sehingga juga memengaruhi sektor perbankan. Sementara itu, saat krisis tersebut, UKM relatif tahan banting karena memang tingkat risiko dan spekulasinya tidak setinggi usaha besar. Sehingga, sebagian besar UKM yang tidak didukung pendanaan perbankan tetap berkibar hingga saat ini. Pertumbuhan jumlah UKM terus mengalami peningkatan secara kuantitatif.
Di samping itu, kita ketahui bahwa kegiatan bisnis UKM berada di lingkungan masyarakat menengah ke bawah yang keberadaannya merupakan mayoritas, sehingga memperkuat fondasi perekonomian bangsa. Dengan jumlah penduduk 238 juta jiwa, tentu Indonesia perlu memperkukuh basis sektor riil agar perekonomian tumbuh secara kuat dan meyakinkan.
Apalagi, populasi UKM sangat banyak dan menyebar di seluruh pelosok Indonesia (data BPS 2008 jumlah UKM di Indonesia mencapai 99,98 persen dari total unit usaha yang ada), sehingga memperhatikan keberlangsungan dan kemajuan UKM suatu hal wajar bahkan tepat. Dari sektor inilah, perekonomian Indonesia mulai dibangun.
Kredit usaha rakyat (KUR) tengah gencar dikampanyekan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membantu pihak UKM. Program ini memang baik, namun akan lebih baik lagi jikalau pihak pemerintah (perbankan) siap menyediakan tenaga-tenaga pendamping UKM dalam upaya meningkatkan kinerja manajemennya. Karena berdasarkan pengalaman empiris, banyak pelaku UKM yang memiliki potensi pengembangan usaha dan peluangnya cukup menjanjikan namun kurang memahami akan arti penting laporan keuangan dan teknis manajemen pengembangan usaha.
Demikian banyaknya usaha kecil yang cukup lama berjalan dan memiliki prospek luar biasa. Namun, karena kurang menguasai teknik-teknik manajemen profesional, usaha-usaha mereka lambat berkembang. Sejatinya, pihak perbankan di samping menyalurkan kredit kepada UKM diharapkan juga berupaya mempertajam manajemen bisnis mereka.
Tentu perbankan dapat menggandeng sejumlah pihak yang dipercaya mampu memperkaya pemahaman pelaku bisnis ini dalam menumbuhkembangkan usahanya. Jika bisnis usahanya berkembang besar, pihak perbankan pun akan memperoleh keuntungannya. Menurut saya, perbankan lebih baik bekerja sama dengan jutaan UKM yang memang tumbuhnya dari bawah daripada dengan satu-dua usaha besar yang rentan terpengaruh krisis ekonomi secara global karena memang jaringan bisnisnya seperti itu.
Perguruan tinggi
Dalam hal penyuluhan dan bantuan teknis manajerial terhadap UKM, pihak perbankan bisa merangkul berbagai pihak, mulai dari kalangan pebisnis atau usahawan yang sukses dengan manajemen usahanya hingga kalangan perguruan tinggi. Dalam hal ini, perguruan tinggi dapat membantu sistem pembukuan dan laporan keuangan khusus usaha kecil dan menengah yang berbasis pada Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP).
Standar akuntansi keuangan ini diberlakukan efektif per 1 Januari 2011 mendatang di kalangan UKM. Pihak UKM akan memiliki laporan keuangan yang khas namun akurat dan terstandardisasi. Hal ini memudahkan pelaku UKM tidak hanya untuk mengembangkan bisnis, tetapi juga untuk keperluan konsolidasi usahanya. Dengan demikian, pelaku UKM bisa menjalankan bisnis secara efisisen dan professional, serta tentunya perbankan akan lebih mudah dalam bekerja sama dengan pihak UKM.
Keterlibatan berbagai kalangan seperti yang penulis sebutkan di atas akan mampu menjadikan UKM kita tumbuh kembang secara progresif namun proporsional. UKM yang kukuh dan profesional merupakan dambaan bagi sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk luar biasa besarnya, dan secara historis memang sudah terbiasa bekerja keras mencari nafkah melalui kegiatan perdagangan dalam wadah sektor informal dan UKM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar