Selasa, 08 Maret 2011

Buku dan Peradaban

Artawijaya
Panitia Islamic Book Fair,
Editor Pustaka Al-Kautsar

Perhelatan Islamic Book Fair yang diselenggarakan IKAPI Jakarta kali ini memasuki tahun ke-10. Pameran yang akan berlangsung pada 4-13 Maret 2011 ini mengambil tema "Khazanah Islam untuk Peradaban Bangsa". Tema ini sangat relevan di saat umat Islam di negeri ini terus dipojokkan dengan berbagai isu dan stigmatisasi negatif, terutama terkait dengan berbagai konflik kekerasan dan aksi terorisme.

Citra Islam sebagai penggerak dan napas bagi peradaban yang mengedepankan keluhuran ilmu dan nilai-nilai mulia seolah tercoreng dengan beragam peristiwa tersebut. Umat Islam seperti digambarkan sebagai sekelompok orang yang tidak cerdas, barbar, dan tidak mempunyai kontribusi dalam upaya membangun masyarakat madani (civil society), masyarakat berperadaban yang menjadikan ilmu sebagai landasan dalam beramal. Ilmu yang berasal dari tuntunan wahyu mulia berisi beragam universalitas ajaran Islam untuk rahmat bagi semesta alam.

Padahal, jika kita memutar jarum sejarah pada masa keemasan Islam, peradaban Islamlah yang justru banyak memberikan kontribusi besar bagi kemanusiaan dan peradaban manusia. Peradaban Islam adalah sebuah nilai yang dibangun di atas keilmuan yang kokoh. Keilmuan yang melahirkan beragam kontribusi besar bagi peradaban dunia dari ujung barat sampai timur. Tradisi mewariskan ilmu mengakar kuat dalam sejarah peradaban Islam. Untuk melestarikan khazanah keilmuan Islam, para ulama salaf pada masa lalu menjadikan menulis sebagai tradisi dalam mentransfer ilmu dan menjadikan tradisi membaca sebagai upaya membangun masyarakat yang cerdas.

Khazanah Islam dalam upaya membangun masyarakat berperadaban tecermin dalam ribuan warisan literatur keilmuan Islam yang tersimpan di rak-rak pustaka. Manuskrip-manuskrip keilmuan para cendekiawan Muslim tersebut sampai hari ini masih bisa kita rasakan manfaatnya, apalagi dengan banyaknya karya-karya mereka yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.

Beberapa disiplin ilmu modern lahir dari rahim khazanah keilmuan Islam yang digagas dan ditulis oleh para cendekiawan Muslim. Sebut misalnya, Ibnu Khaldun (bidang sosiologi modern), Al-Khawarizmi (ilmu hitung atau aljabar), Al-Kindi (filsafat dan kedokteran), Al-Farabi (filsafat dan musik), Ibnu Haitsam (penemu ilmu tentang mata/optik), Jabir bin Hayyan (ilmu kimia), Az-Zahrawi (ilmu bedah), Al-Biruni (ilmu astronomi), Ibnu Sina (kedokteran dan hukum gravitasi), Ibnu Rusyd (filsafat dan kedokteran), Al-Idrisi (peta dan geografi), Al-Mas'udi (geologi dan meteorologi), dan Ar-Rais (geografi dan topografi).

Para ilmuwan tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan keilmuan dan peradaban modern, jauh sebelum bangsa-bangsa lain melakukannya. Kontribusi mereka diakui oleh para ilmuwan di Eropa sebagai warisan dari kecemerlangan peradaban Islam.

Peran pemerintah
Baghdad, Kairo, Istanbul, dan Cordova pada masa lalu adalah wilayah kekuasaan Islam di mana keberadaan buku-buku begitu terjaga dan dilestarikan dalam perpustakaan-perpustakaan yang megah. Pemerintahan Islam yang berkuasa pada masa lalu adalah mereka yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap warisan peradaban Islam, terutama khazanah keilmuan Islam yang terhimpun dalam ribuan manuskrip yang berisi gagasan-gagasan keilmuan para cendekiawan Muslim.

Kita ambil contoh pada masa Daulah Abbasiyah di Baghdad. Khalifah Bani Abbasiyah, Harun Al-Rasyid, mendirikan perpustakaan megah yang terkenal dengan sebutan Baitul Hikmah. Perpustakaan ini dikelola oleh sejumlah mudir (direktur) yang terdiri dari para ilmuwan yang mencintai buku dan mempunyai komitmen terhadap upaya menjaga warisan peradaban Islam. Para ilmuwan yang mengelola perpustakaan itu mendapat gelar dari khalifah sebagai "shahibul maktab" dengan segala fasilitas dan kecukupan hidup yang dijamin oleh pemerintah.

Selain mendirikan perpustakaan, khalifah juga membentuk sebuah divisi kepenulisan dan penerjemahan. Para ilmuwan yang menulis dan menerjemahkan buku mendapat penghargaan yang layak berupa terpenuhinya kebutuhan hidup dan fasilitas yang memadai. Khalifah juga kerap mengirim utusan untuk mencari naskah-naskah kuno dari berbagai macam ilmu milik bangsa Yunani dan Persia untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Bahkan diceritakan, terkadang syarat perjanjian dalam perdamaian perang adalah dibolehkannya pasukan kaum Muslimin untuk mendapatkan buku-buku yang ada dalam perpustakaan milik musuh dari bangsa lain. Terkadang juga, tawanan musuh ditukar dengan setumpuk buku.

Khalifah Abbasiyah sesudahnya, Al-Ma'mun, juga melakukan kebijakan yang sama terhadap perbukuan. Al-Ma'mun memfokuskan revolusi besar-besaran yang menakjubkan terkait kitab-kitab peninggalan zaman kuno sehingga terbentuklah badan penerjemah dan pensyarah serta para penjual kertas untuk menjaga agar naskah kuno itu tidak sampai punah. Ia menentukan penanggung jawab dalam urusan ini dan memberikan gaji kepada mereka dengan jumlah yang besar. Setiap bulan, mereka digaji 500 dinar atau setara dengan dua kilogram emas. Ia juga memberikan gaji yang besar dan menarik bagi para penerjemah dengan menimbang apa yang telah diterjemahkan itu senilai dengan emas.

Para ilmuwan Muslim yang cukup terkenal seperti Al-Biruni, Al-Idrisi, Al-Khawarizmi, Al-Batani, dan Ibnu Sina adalah orang yang merasakan manfaat dari keberadaan Perpustakaan Baitul Hikmah di Baghdad. Dari sanalah mereka menggali berbagai macam ilmu, kemudian mengembangkannya menjadi sebuah gagasan yang mempunyai kontribusi besar dalam peradaban Islam.

Peran para ilmuwan pada masa  itu tidak terbatas hanya dalam bidang penerjemahan. Mereka juga memberikan ta'liq (komentar) atas kitab-kitab yang ada dan menukilnya, menyesuaikan dengan konteks, menyempurnakan kekurangan, dan mengoreksi setiap kesalahan. Inilah yang pada masa sekarang disebut dengan tahqiq (penelitian).

Sikap pemerintahan Islam pada masa lalu patut dicontoh oleh pemerintah kita saat ini. Upaya mencerdaskan bangsa lewat buku yang dilakukan oleh para penulis dan penerbit seharusnya diiringi dengan kebijakan pemerintah yang berpijak pada upaya memberikan kemudahan, keluasan, dan aturan yang berpihak pada upaya mencerdaskan bangsa.

Jika kebijakan untuk memberikan kesejahteraan bagi para ilmuwan yang menulis buku mungkin dianggap terlalu jauh, masih banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk berperan dalam hal ini, di antaranya memberikan subsidi harga kertas kepada para penerbit yang nantinya berakibat pada kompensasi terjangkaunya harga beli buku untuk pembaca. Bagi para penerbit, sudah saatnya memiliki komitmen ke depan yang bisa dirumuskan dalam kata-kata sederhana: menerbitkan buku, membangun peradaban!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar