Selasa, 08 Maret 2011

Indonesia tanpa Hollywood

Daniel Rudi Haryanto
Koordinator Pelaksana Lembaga Kajian Cinema Society

Polemik yang terjadi antara Grup 21, MPA (Motion Picture Asociation), dan pemerintah telah menyeret polemik pendapat dan sikap para penggiat perfilman Indonesia. Pro dan kontra terjadi antara mereka yang membela kepentingan Grup 21 dan mereka yang membela kepentingan pemerintah, dalam hal ini Dirjen Pajak dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Masyarakat penonton penikmat film Hollywood di Indonesia dan sebagian penggiat perfilman menganggap penarikan film Hollywood di Indonesia sebagai pembunuhan terhadap dua hal: pertama, pembunuhan apresiasi film. Hal ini beralasan karena masyarakat penonton telah terbiasa dengan kuantitas, kualitas teknis, dan kualitas isi cerita film Hollywood.

Sementara itu, film Indonesia belum sepenuhnya mampu bersaing memenuhi kualitas dan kuantitas sekaliber film Hollywood. Film Indonesia tidak menumbuhkan apresiasi yang bermutu pada penonton karena film yang beredar hanya menyuguhkan kualitas teknis yang rendah dan cerita yang berkutat pada kisah hantu dan seks. Realitas ini memunculkan kondisi ketidakpercayaan masyarakat penonton terhadap film Indonesia.

Kedua, pembunuhan film Indonesia. Bagi penggiat produksi film Indonesia, studio 21 merupakan ruang distribusi vital. Penarikan film Hollywood dari peredaran pada satu sisi dapat dilihat sebagai peluang bagi penggiat perfilman Indonesia untuk lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat penonton, tetapi pada sisi lain, ketidakpercayaan publik terhadap film Indonesia akan menciptakan ruang ambiguitas untuk bisnis film Indonesia di bioskop 21. Selama ini, posisi film Indonesia masih sebatas "pendamping" film Hollywood.

Dua hal di atas memberikan gambaran yang nyata akan kondisi perfilman Indonesia yang belum memiliki pijakan kuat untuk bangkit dari keterpurukan. Kualitas dan kuantitas film Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri apalagi bersaing di percaturan perfilman global.

Thailand dapat menjadi contoh yang tepat dalam pelaksanaan kebijakan perfilman. Sebagai contoh selama tahun 2001 hingga 2002, Thailand mengalami peningkatan signifikan dalam produksi film. Kebijakan progresif otoritas perfilman Thailand membuka peluang bisnis film yang mampu meningkatkan anggaran produksi dari 450 juta baht mencapai 1,5 miliar baht. Sekitar 400-480 judul film diproduksi di Thailand pada periode itu.

Negara tersebut berorientasi pada pasar global untuk mengedepankan kepentingan masyarakat perfilman di dalam negeri sehingga dalam bulan kedua pada tahun 2003, sekitar 80 judul film diproduksi di negeri Gajah Putih tersebut.

Kebijakan progresif tersebut merupakan hasil ketegasan Pemerintah Thailand sebagai garda depan pemangku kebijakan dan masyarakat penggiat perfilman yang mendukung kebijakan pemerintahnya. Selain itu, Pemerintah Thailand mendukung penuh potensi perfilman dalam negerinya untuk meraih prestasi global.

Munculnya film-film Thailand yang meraih penghargaan dan pengakuan di berbagai festival film internasional membuka prospek bagi bisnis film pada tataran global. Jika dibandingkan dengan pencapaian Thailand, pada tahun 2010, data perfilman Indonesia hanya mencatat kuantitas produksi 100 judul film. Dari jumlah tersebut, kualitas teknis dan isi belum mampu bersaing di tataran internasional.

Apa yang terjadi di Thailand tidak terjadi di Indonesia, modal pembangunan perfilman dari pajak film impor tidak terkelola dengan bijak. Indonesia sangat tertinggal dalam pelaksanaan kebijakan di bidang perfilman. Jika melongok perfilman Thailand, semestinya Indonesia berpeluang  membangun perfilmannya dengan lebih baik. Pajak tontonan dan pajak keuntungan dari para pelaku bisnis film seperti Grup 21 semestinya dapat menjadi modal besar untuk mengembangkan potensi perfilman dalam negeri. Namun, hingga saat ini, pelaku perfilman harus berjuang sendiri untuk menghidupkan perfilman Indonesia dengan segala keterbatasan dana, teknis dan isi.

Jika Indonesia tanpa film Hollywood, potensi apa yang dapat dikembangkan untuk mendukung perfilman Indonesia supaya menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Pertanyaan ini menjadi kekhawatiran di kalangan penggiat perfilman di Indonesia mengingat Grup 21 dan MPA adalah penyedia jasa ruang distribusi dan ekshibisi utama di Indonesia.

Dari kenyataan tersebut, posisi tawar pemerintah sebagai penentu kebijakan perfilman pun menjadi dilematis. Dengan ketiadaan film Hollywood, pemerintah menghadapi pekerjaan rumah yang sangat besar dan berisiko tinggi. Pekerjaan rumah tersebut adalah membangun infrastruktur dan suprastruktur perfilman Indonesia.

Thailand merupakan negara yang luas wilayahnya hanya seperempat luas Indonesia. Jumlah penduduknya sangat kecil dibandingkan dengan Indonesia yang telah mencapai 235 juta penduduk. Dengan demikian, persebaran bioskop di Indonesia dan animo masyarakat penonton akan jauh lebih besar di Indonesia dibandingkan dengan Thailand. Semestinya, kenyataan ini menjadi pijakan awal bagi negara untuk menentukan langkah ke depan yang lebih konkret untuk membangun perfilman di Indonesia sehingga slogan film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri menjadi keniscayaan.

Pemerintah Thailand mampu "mengendarai" Hollywood dan mengawinkan strategi bisnis dan strategi budaya untuk mengembangkan perfilman. Indonesia yang memiliki  potensi wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang besar semestinya mampu mengelola perfilmannya secara mandiri dengan atau tanpa film Hollywood sekalipun jika strategi bisnis dan strategi budaya dimiliki penentu kebijakan perfilman.

Kita sama-sama menunggu strategi apa dan langkah-langkah konkret apa yang akan dikerjakan pemerintah untuk menyelamatkan perfilman Indonesia berikut potensi yang ada. Seberapa siap dan seberapa berhasil pemerintah mengonsolidasikan potensi perfilman Indonesia. Dengan demikian, jika MPA dan Grup 21 benar-benar menarik distribusi film Hollywood di Indonesia, dengan gagah berani, kita dapat lantang bicara seperti halnya Usmar Ismail, Bapak perfilman Indonesia pernah berseru, Sinema Indonesia, Bung!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar