Jumat, 04 Maret 2011

Kue Legit Reshuffle Kabinet

Thomas Koten
Direktur Social Development Center


Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid 2 telah menjadi sebuah isu hangat dalam beberapa hari belakangan ini. Berbagai alasan determinan menyembul di balik isu yang diembuskan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Sebelumnya, isu reshuffle diembuskan dalam kaitan dengan hasil evaluasi yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto yang mengatakan terdapat sejumlah pos kementerian yang performanya kurang memuaskan. Dikatakannya, ada sejumlah menteri yang mendapat rapor merah.

Dalam perkembangan yang paling mutakhir, isu reshuffle diembuskan oleh Partai Demokrat yang merasa terganggu dengan perilaku sejumlah parpol, khususnya Golkar dan PKS, yang dinilai kurang konsisten dalam berkoalisi. Bahwa di satu sisi mereka menempati posisi sebagai bagian dari pemerintah dalam gerbong koalisi dengan kompensasi mendapatkan jatah kekuasaan sebagai menteri dalam KIB jilid 2, tetapi di sisi lain mereka kerap berperilaku sebagai oposan. Ini terlihat dalam proses Pansus Bank Century dan dalam pengajuan hak angket mafia pajak belum lama ini.

Di samping itu, masih ada alasan lain yang mengatakan perlunya reshuffle disebabkan oleh sejumlah menteri yang dari awal sudah salah posisi di mana pos-pos yang ditempati tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Beberapa menteri yang dinilai, diangkat lebih pada pertimbangan balas budi, "dagang sapi" politik, membagi-bagi "kue legit" kekuasaan daripada pertimbangan profesionalisme dan kapabilitas.

Persoalan KIB Jilid 2
Adapun tujuan reshuffle adalah untuk meningkatkan kinerja kabinet agar dapat menaikkan citra suatu pemerintahan (administration) sehingga dapat terlampaui ambang batas harapan rakyat. Karena, siapa pun yang mendapat amanah sebagai kepala pemerintahan, yaitu bekerja sesuai dengan kehendak rakyat. Sejatinya, demokrasi juga bertumpu pada apa yang menjadi kehendak dan harapan rakyat.

Dengan demikian, merujuk pada pengalaman umum di berbagai negara, ada sejumlah alasan umum untuk melakukan reshuffle. Pertama, bertolak dari ketidakpuasan publik atas kinerja pemerintah, terutama sejumlah menteri yang dinilai berkinerja buruk. Dengan demikian, reshuffle dilakukan untuk memperbaiki kinerja pemerintah dan memberi kepuasan bagi publik.

Kedua, reshuffle dilakukan karena ada menteri yang kehadirannya menimbulkan kontroversi, baik karena kebijakan yang diambil sebelumnya yang dinilai kontroversial maupun karena ada isu atau persoalan pribadi yang senantiasa mendapat sorotan publik. Dengan demikian, keberadannya lebih mengganggu daripada membantu kelancaran kerja pemerintahan yang ada.

Ketiga, alasan seperti yang diangkat oleh Partai Demokrat di atas, yakni demi menciptakan keseimbangan kinerja yang saling mendukung antara parlemen dan eksekutif. Artinya, reshuffle dilakukan untuk mengakomodasi atau menciptakan keseimbangan baru dari partai-partai pendukung pemerintah di parlemen. Ini untuk menghindari sejauh mungkin isu pemakzulan terhadap pemerintah dari gedung parlemen atau segala isu lain yang menyangkut kebijakan politik di parlemen yang mengganggu kinerja pemerintah.

Alasan terakhir inilah yang menjadi alasan yang paling heboh menyembul di sekitar pusat kekuasaan Indonesia, baik pada masa pemerintahan Yudhoyono sekarang ini maupun pada masa pemerintahan presiden-presiden sebelumnya di zaman reformasi. Ini pula yang menjadi persoalan pemerintahan Indonesia yang menganut sistem politik multipartai, yang personalia kabinetnya disusun berdasarkan suatu kompromi politik yang sangat kental dengan mempertimbangkan berbagai macam kepentingan politik dan ekonomi.

Kepentingan politik terjadi antara presiden dan parpol koalisi pendukung pemerintah yang menitipkan kader-kadernya untuk duduk di kursi menteri dengan pesan-pesan tertentu sebagai garansi politik. Sedangkan, kepentingan ekonomi, terjadi antara presiden dan tokoh-tokoh bisnis yang merupakan penyandang dana buat presiden dan wakilnya ketika kampanye pemilu berlangsung.

Memang, sistem politik multipartai seperti di Indonesia seolah telah menjadi persoalan permanen dalam pembentukan kabinet. Karena, sistem presidensial tidak compatible dengan sistem multipartai. Penggabungan kedua sistem itu, selalu melahirkan presiden yang sial atau minority president-meminjam istilah Denny Indrayana, yaitu pemerintahan terbelah (divide government), presiden yang tidak mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Akibatnya, bukan saja program presiden tidak berjalan, melainkan pengalaman sistem presidensial di Amerika Latin menunjukkan banyak presiden yang jatuh karena dimakzulkan oleh parlemen.

Artinya, modal politik awal yang belum cukup dari kebutuhan menguasai suara mayoritas mutlak di parlemen, Presiden Yudhoyono, misalnya, selalu mengalami persoalan setiap kali mengambil keputusan politiknya. Seperti, idealnya, kabinet disusun berdasarkan keahlian dengan tidak semata-mata melakukan politik dagang sapi, garansi, dan balas budi dalam membagi-bagi "kue legit" kekuasaan. Namun realitasnya, konsep ideal tersebut bagaikan barang yang terlalu mewah di tengah parpol yang syahwat kekuasaan yang begitu kuat. Maka, hingga kapan pun kabinet tetap dijadikan "dagang sapi" politik untuk membeli dukungan parpol di parlemen.

Mengikuti kehendak rakyat
Bagi seorang kepala pemerintahan, saat akan mengambil keputusan untuk melakukan reshuffle selalu tidak mudah. Karena, dia harus berhitung dari berbagai aspek dan mengacu pada berbagai macam pertimbangan, baik yang bersifat objektif maupun subjektif. Karena di balik kursi kabinet, bertaburan berbagai kepentingan dan beragam keinginan yang berpengaruh baik atau buruk terhadap keputusan yang diambil beserta hasil-hasilnya, yang tentu berpengaruh langsung pada kinerja pemerintah dan citra presiden sendiri. Namun, semua itu menjadi mudah apabila ada keberanian dan ketegasan dalam mengambil keputusan, setelah mempertimbangkan secara matang semua masukan yang disodorkan ke meja presiden.

Di atas semua itu, satu hal yang mesti dijadikan pijakan dasar dalam melakukan reshuffle adalah dengan selalu berpijak pada pertimbangan bahwa legitimasi kekuasaannya itu dibangun di atas pemilihan langsung. Presiden harus tangkas menjalankan pemerintahan di atas kerangka itu, sekaligus harus dalam prinsip yang kuat agar tidak terombang-ambing isu dan tekanan politik dari mana pun.

Prinsip itu adalah mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan politisi. Karena, siapa pun yang menerima mandat amanah sebagai kepala pemerintahan harus bekerja sesuai dengan kehendak rakyat, bukan kehendak para politisi atau pihak-pihak yang memiliki agenda kepentingan lain. Dalam hal mana demokrasi bertumpu pada apa yang dikehendaki rakyat.

Dan, sesuatu yang tidak bisa diabaikan, yakni bahwa apa pun alasannya, reshuffle harus tetap dijadikan sebagai solusi untuk perbaikan kinerja pemerintah, bukan merupakan komoditas politik dengan para pedagang politik yang terus-menerus mencari celah untuk mendapatkan "kue legit" reshuffle itu. Maka, di sana kompetensi dan kapabilitas menjadi sosok-sosok yang tepat dalam menempati kursi-kursi menteri, bukan tokoh-tokoh pragmatis politik dan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar